LIPUTAN9.ID – Sudah setahun lebih polemik nasab belum juga reda, sebulan menjelang pemilihan umum memang sedikit agak mereda tapi oleh para pendukung klan ba Alawi yg dikenal habib disangkakan akan hilang dan tidak akan lagi terjadi perdebatan baik di medsos maupun dunia nyata, tapi setelah pemilu justru kembali terasa polemik nasab menghangat dan bertambah masif.
Bagi kaum Muhibbin Habaib mereka menyangka niat dari kyai Imadudin dkk yang mempertanyakan nasab habaib punya muatan politik untuk mendongkrak suara salah satu pasangan capres-cawapres, ternyata semua dugaan mereka salah. Tentunya, bagi kelompok yang mempermasalahkan nasab habaib tidak ada sedikitpun kepentingan politik, ini adalah murni sebagai kajian ilmu dalam upaya memurnikan dan memuliakan nama Nabi Muhammad SAW.
Ada catatan yang penulis ingin sampaikan, kalau polemik nasab yang mempertanyakan keberadaan habaib dari Yaman yang selama ini mengaku-ngaku sebagai dzuriyah Rosulullah adalah munqothi’ (terputus). Namun jika memang ada salah satu habib yang diutus oleh lembaga resmi perhabiban (robithoh Alawiyah) sanggup menjawab pertanyaan tesis Kiai Imadudin dengan argumentasi dan referensi yang kuat, barulah kemunqothian habib sebagai dzuriyah Rasul Saw., akan bisa berubah menjadi mutashil bihi (bersambung). Walaupun demikian keputusan Bahtsul Masail yang dilaksanakan di Ponpes Benda Kerep yang diinisiasi oleh para dzuriyah walisongo menghasilkan kesimpulan yang cukup bijaksana dengan kesimpulan kalau habaib nasabnya mukhtalafun fiih (diperselisihkan).
Sepatutnya para habaib berterimakasih kepada para dzuriyah Walisongo yang masih berpikir antara husnudzon dan suudzon sehingga menghasilkan kajian ilmiyah, jika para klan ba Alawi dalam hal ini mengaku sebagai habib mendengar hasil keputusan Bahtsul Masail yang diadakan di benda kerep, Cirebon dengan kepala dingin, hati yang sehat serta ilmu yang cukup, lebih elok hasil dari keputusan mukhtalafun fiih tersebut mesti dijawab dengan tawaquf yaitu diam sambil merenung dengan menghentikan cerita-cerita khurofat, kalau memang ada cerita lama diputar kembali seharusnya mereka protes kepada publik kalau hal itu adalah “bukan ajaran kami”, tidak membalas dan membiarkan para Muhibbinnya untuk menyerang dengan kata-kata mencaci dan mencibir bahkan memfitnah kyai Imadudin dkk sebagai pemecah belah ummat.
Selanjutnya, mereka mendekat dan tabayun kepada kyai immadudin dkk dengan mengadakan pertemuan resmi agar dilihat oleh semua pihak bahwa “selama ini apa yg mereka lakukan salah dan tidak ada ajaran dari agama Islam”, mereka habib-habib yang selama ini membanggakan diri punya kedudukan tinggi, dan sosial bagus seharusnya manfaatkan posisi tokoh mereka dengan baik. Misalnya posisi habib Luthfi bin Yahya yang sedang punya posisi sebagai tokoh sentral dan dekat dg penguasa ajak semua ulama yg alim-alim untuk diskusi dan adu data, kalau perlu RA kerjasama dengan NAAT minta dipasilitasi oleh Kemenag asal tidak jadi proyek cari-cari duit, untuk apa? Yaitu untuk mengadakan debat ilmiyah agar mempertemukan RA dan Kiai Imadudin dan kawan-kawan dalam rangka mencari kebenaran dan mengangkat ilmu.
Hal sebagaimana di atas apakah mau dan mampu para habaib yang a’lamuhum (paling alim) diantara mereka yang resmi diutus oleh Robithoh Alawiyah untuk menjawab tesis Kiai Imadudin, jika memang mereka berniat untuk mencerahkan umat dan berdakwah untuk tegaknya amar makruf nahi Munkar.
Kiai Ahmad Suhadi, S.Pd.I, Ketua Ikatan Mubaligh-mubalighoh Nusantara (IMMAN) DPD Kabupaten Bogor dan Katib JATMAN Kabupaten Bogor.