LIPUTAN9.ID – Visi misi dan tawaran program kampanye Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di pilpres Indonesia 2024 lalu sangat menarik untuk kita cermati. Terlebih kesan yang timbul bagi publik pasangan tersebut identik sebagai penerus kebijakan presiden Jokowi.
Diantara program dan janji kampanye Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka itu yang menurut hemat penulis cukup menarik adalah makan siang gratis untuk mempersiapkan SDM Indonesia dan mengurangi stunting. Juga janji mereka untuk meneruskan program hilirisasi presiden Jokowi, dan yang kedua inilah yang menarik untuk kita cermati.
Pada tahun 2022, Prabowo Subianto menerbitkan buku Paradoks Indonesia dan Solusinya. Buku itu merupakan mapping (pemetaan) persoalan, tantangan dan sejumlah tawaran solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk mengatasi ragam persoalan dan tantangan Indonesia ke depan.
Buku itu merupakan pandangan ekonomi dan visi pembangunan Indonesia menurut Prabowo Subianto yang tidak sepenuhnya sejalan dengan liberalisme atau pun neoliberalisme, melainkan sebagaimana ditegaskan penulisnya, Ekonomi Pancasila. Hanya saja saat ini, seiring dengan pengalamannya bergabung dalam kabinet yang dipimpin Joko Widodo dan visi misi pencapresannya beberapa waktu lalu, yaitu Indonesia Emas 2045, pandangannya bergeser ke konsep kebersamaan untuk keberlanjutan.
Barangkali karena Prabowo Subianto juga berjanji untuk melanjutkan program dan kerja yang telah dicapai dan dilakukan Joko Widodo. Dan saat ini, program yang menjadi sorotan publik yang ditawarkannya adalah makan siang gratis, yang menjadi bahan sinisme para pendukung lawan-lawannya di Pilpres 2024 lalu.
Paradoks Indonesia yang menjadi judul bukunya itu diantaranya menyampaikan ironi dan paradoks negeri kita: Sumber Daya Alam dan kekayaan potensial yang melimpah, tapi masih banyak kemiskinan yang menyebar di seluruh negeri kita, Indonesia. Dengan potensi dan kekayaan melimpah yang dimiliki, Indonesia seharusnya menjadi Negara dan bangsa kelas atas, bukan malah terperangkap menjadi Negara menengah.
Menurutnya bangsa kita telah melakukan kekeliruan pandangan dan haluan ekonomi. Ideologi dan haluan ekonomi yang menurutnya justru menghkhianati amanat Pasal 33 UUD 1945: 66 persen kekayaan Indonesia dikuasai oleh 10 persen orang terkaya. Selain itu, menurutnya anggaran Negara juga jauh dari ideal, baru sekitar 10 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sejalan dengan komitmen dan janji kampanyenya untuk melanjutkan program dan kerja yang telah dirintis Joko Widodo menuju cita-cita Indonesia Emas, maka Indonesia hanya akan bisa menjadi negara maju bila Indonesia bisa mencapai pertumbuhan ekonomi dua digit atau di atas 10 persen secara berkelanjutan. Karena hanya dengan pertumbuhan dua digit selama 10 tahun berturut-turut, yang diawali dengan pertumbuhan rata-rata 7 persen selama lima tahun-lah, Indonesia bisa keluar dari perangkap negara menengah (middle trap).
Bila hendak mewujudkan hal itu, maka ada dua masalah besar yang harus diselesaikan. Pertama, menghentikan kekayaan negara mengalir ke luar negeri karena kebijakan (policy) yang tidak tepat. Dan kedua, demokrasi tidak boleh hanya dikuasai oleh pemodal besar saja.
Diantara indikator yang menunjukkan kekayaan negara mengalir ke luar negeri bisa dilihat dari ”kebocoran” data ekspor dalam neraca perdagangan, terjadi kesalahan dalam pembukuan nilai dan volume ekspor (misinvoicing). Selama 2004-2013, sebagai contoh, total kebocoran akibat kesalahan ini mencapai 167,7 miliar dollar AS atau dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS setara dengan Rp 2.300 triliun. Begitu juga banyak pengusaha yang menempatkan dana mereka di luar negeri. Pada 2016, contohnya, ada Rp 11.400 triliun uang milik pengusaha Indonesia yang parkir di luar negeri.
Menurut Prabowo Subianto, hal itu menjadi masalah besar dan harus dihentikan serta dicarikan solusinya. Karena jika uang yang sangat besar tidak tinggal di Indonesia, maka pemerintah tidak punya cukup dana untuk pembangunan dan membiayai program-program yang akan bermanfaat bagi banyak orang. Tidak terjadinya efek berganda atau ragam dampak untuk menggerakkan perekonomian bangsa kita.
Buku Paradoks Indonesia dan Solusinya sebenarnya revisi dan cetak ulang dari buku berjudul Paradoks Indonesia Pandangan Strategis Prabowo Subianto yang diterbitkan di tahun 2017 oleh Koperasi Garudayaksa Nusantara. Buku itu diawali dengan kutipan (ringkasan) ironis atau paradox (Indonesia):
“Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sangat besar. Namun, jika dulu kekayaan Indonesia hanya dinikmati penjajah, sekarang kekayaan Indonesia hanya dinikmati segelintir orang saja. Kita juga terancam selamanya hanya jadi Negara berpenghasilan menengah karena strategi ekonomi kita saat ini gagal mengatasi middle income trap atau perangkap pendepatan menengah.
Fakta bagaimana, di tahun 2016 hampir setengah kekayaan dikuasai oleh 1% populasi terkaya. Bagaimana ada 11.000 triliun milik orang dan perusahaan Indonesia, jumlah yang 5x lebih banyak dari anggaran Negara, parker di luar negeri. Bagaimana 40% dari angkatan kerja hanya lulusan SD, dan 1 dari 3 anak Indonesia mengalami gagal tumbuh atau stunting. Juga mengapa ekonomi kita harus segera tumbuh 2x lebih cepat, atau double digit (di atas 10%) selama 12 tahun berturut-turut untuk mengejar kemajuan bangsa lain.”
Kutipan itu merinci beberapa masalah yang dihadapi Indonesia untuk bisa maju, seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, kebijakan ekonomi yang keliru dan tidak terserapnya kekayaan orang kaya Indonesia untuk memajukan Negara mereka sendiri selain masalah stunting yang merupakan dampak ekonomi dan ketidakmerataan kemakmuran, yang barangkali juga berkenaan dengan tidak maksimalnya pengelolaan dan pengurusan potensi besar pertanian kita yang berakibat pada ketergantungan impor pangan pokok dan komoditas pangan lainnya.
Akhir kutipan menunjukan untuk mengatasi hal itu diperlukan strategi pembangunan dan kebijakan yang tepat. Peningkatan pendidikan untuk sumber daya manusia Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang besar secara cepat bila bangsa kita ingin menyejajarkan diri dengan Negara-negara maju yang telah lebih dulu maju dan cerdas.
Masalah Hilirisasi
Diantara solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan ekonomi, pendapatan Negara serta membuka lapangan pekerjaan itu adalah dengan tidak lagi mengandalkan ekspor bahan mentah, tapi mengubah potensi sumber daya alam kita menjadi barang jadi atau komoditas jadi yang lebih menguntungkan. Tentu saja program ini membutuhkan kesiapan sumber daya manusia dan karenanya harus pula diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan dan alih tekhnologi.
Seperti kita tahu, hilirisasi merupakan strategi meningkatkan nilai tambah suatu produk atau komoditas dengan cara mengubahnya menjadi produk yang lebih kompleks atau memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dan lebih besar yang akan memberikan dampak kompleks bagi terciptanya pasar dan pendapatan negara. Hilirisasi memang bertujuan meningkatkan nilai ekonomi dari suatu produk dengan menghasilkan produk yang lebih bervariasi, berkualitas, dan diminati oleh pasar secara luas, semisal yang telah berhasil dilakukan China yang kini menguasai pasar dunia dan menjadikannya sebagai salah-satu Negara maju dan kaya, bahkan konon menggeser Jepang yang sebelumnya lebih dulu maju dan kaya.
Hilirisasi juga dapat menciptakan lapangan kerja, mengurangi ketergantungan berlebihan kepada impor, dan tentu saja dengan sendirinya akan meningkatkan daya saing suatu Negara dalam kompetisi pasar dunia. Singkatnya, hilirisasi adalah upaya dan strategi kita untuk menjadikan kita sebagai produsen, bukan cuma konsumen besar barang-barang atau produk-produk jadi dalam ragam bentuk dan bidang. Sudah dengan sendirinya, strategi dan program ini pada akhirnya membutuhkan kesiapan sumber daya manusia yang unggul. Sumber daya manusia yang inovatif dan punya kapasitas kreatif daya cipta.
Tak salah, bila kemudian Prabowo Subianto pun memandang sangat penting peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan kita. Sampai-sampai yang bersangkutan menambah fakultas di Universitas Pertahanan dan lainnya. Bila demikian, strategi hilirisasi meniscayakan kuantitas dan kualitas yang maju di sektor dan bidang pendidikan sebagai kawah candradimuka pembangunan sumber daya manusia.
Adapun terkait program susu dan makan siang gratis yang rencananya bertahap itu bisa dijalankan secara adil dan maksimal, tepat sasaran dan merata, terutama sekali bagi kalangan kelas bawah. Dan tentu juga semoga pendanaannya bisa diambil dari kemungkinan kreatif baru pendapatan, sehingga tidak mengganggu pendanaan program lain yang juga dirasa sangat penting dan mendesak, terutama sekali, seperti telah ditegaskan: peningkatan kualitas SDM Indonesia melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sektor pendidikan.
Sulaiman Djaya, penyair di Kubah Budaya