Jakarta, Liputan9.id – Said Aqil Siroj (SAS) Institute mengucapkan Selamat Hari Santri yang ke-8, Sabtu (22 /10/2022). Sejak ditetapkan oleh Bapak Presiden Joko Widodo melalui Keppres Nomo 22 Tahun 2015, setiap tahun kaum santri selalu merayakan Hari Santri sebagai hari istimewa, sebuah pengakuan negara kepada kaum santri atas kiprah dan jasa mereka terhadap Tanah Air.
Menurut Direktur Ekskutif SAS Institute Dr. H. Sa’dullah Affandy, M.Ag., M.Si., santri sebagaimana kita ketahui bersama, merupakan lulusan pesantren, sebuah intitusi pendidikan pertama dalam komunitas Islam Nusantara dan diyakini sebagai institusi Pendidikan keislaman yang genuine hasil kreasi para ulama Nusantara.
“Dengan kata lain, pesantren, lahir dari akar tradisi yang kuat, bukan saja hanya membawa dan mengajarkan kelimuan keislaman, namun juga mengakomodir sekaligus merawat tradisi lokal. Tidak mengherankan jika Pesantren mampu eksis menjadi kawah candradimuka bagi kaum intelektual Islam selama berabad-abad, bertahan menghadapi beragam gelombang perubahan zaman. Bahkan, pesantren tidak jarang menjadi aktor penggerak bagi perubahan itu sendiri, baik di masa Kolonial, hingga reformasi dewasa ini,” ucapnya dalam release yang dibagikan kepada awak media.
Tantangan kaum santri saat ini, tentu tidaklah sama dengan era sebelumnya. Kesenjangan politik nyaris tidak lagi terjadi di era keterbukaan ini. Setiap orang bebas untuk menyampaikan aspirasi politik dan pendapatnya masing-masing selama tidak mengganggu ketertiban umum atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Meski demikian, kesenjangan ekonomi dan kerentanan social masih kita saksikan bersama, dimana jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin semakin menganga.
“Inilah salah satu tantangan kaum santri, dan pesantren, dewasa ini. Bagaimana memberdayakan kaum santri secara ekonomi, bukan hanya mandiri untuk dirinya sendiri, namun juga mampu menjadi penggerak bagi lingkungannya,” ujar Doktor Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Kaum santri (pesantren) dewasa ini, harus mulai bergerak kembali dengan paradigma ekonomi kerakyatan sebagaimana dicita-citakan para founding father seperti Muhammad Hatta maupun KH. Wahab Chasbullah yang menggagas Nahdlatul Tujjar, sebuah wadah persatuan bagi para saudagar muslim dan ulama karena tergugah dengan kondisi kemiskinan rakyat akibat kolonialisme Belanda lebih dari satu abad yang lalu (1918).
“Nahdlatul Tujjar sendiri kemudian menjadi salah satu embrio bagi lahirnya organisasi kaum santri terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU),” paparnya singkat.
Dengan demikian, pada Hari Santri yang ke-8 ini, sangatlah tepat kiranya jika kaum santri dan pesantren, memusatkan pandangan pada kebangkitan ekonomi santri. Secara politik, kaum santri telah memiliki panggung yang cukup terbuka untuk pentas, meski tentu belum sebanding dengan jasanya selama berabad-abad dalam membangun peradaban bangsa.
“Secara pemikiran, santri juga telah banyak memiliki professor apalagi doktor dalam berbagai bidang, baik lulusan dalam negeri maupun luar negeri. Namun, kalangan santri-pesantren, secara ekonomi dewasa ini, masih menjadi penghuni kelas menengah ke bawah. Inilah pekerjaan besar kaum santri ke depan. Sebuah tugas yang tidak lebih ringan dari perjuangan kaum santri dalam mengusir penjajah dan merebut kemerdeaan Indonesia,” pungkasnya.