Dilihat dari atas, gugus kepulauan Nusantara, panggung bagi banyak hal yang akan dituturkan selanjutnya dalam buku ini, membentang dari Teluk Benggala ke Samudra Pasifik. Begitu pula, Semenanjung Melayu sudah lama merupakan bagian tak terpisahkan dari Nusantara. Bandar-bandarnya, dan bandar-bandar daratan utama dari Teluk Thailand hingga Tiongkok Selatan, terhubung erat dengan berbagai negara yang terletak di pulau-pulau besar seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku yang lebih jauh ke timur. Di utara pulau-pulau itu, sebagai bagian dari jaringan perdagangan yang sama, terdapat Pulau Jawa serta pulau-pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa.
Sejak awal Masehi para penguasa di kawasan barat Nusantara berbagi budaya istana yang bercorak India dan mendapat keuntungan dari kehadiran para pedagang asing. Hal ini terjadi karena Asia Tenggara berada di persimpangan dua zona perdagangan kuno yang penting. Yang pertama meliputi Samudra Hindia, sedangkan yang lain menyusuri Laut Tiongkok Selatan. Bahkan, pengetahuan kita mengenai kerajaan-kerajaan Asia Tenggara paling awal berasal dari berbagai catatan berbahasa Tiongkok yang merekam kedatangan para utusan dengan nama-nama yang tampaknya merupakan nama muslim.
Dari arah lain, kita memiliki laporan-laporan berbahasa Arab mengenai berbagai rute pelayaran dari Teluk Persia ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok Selatan dengan titik tumpu di Selat Malaka. Di sana, para kapten menunggu perubahan angin monsun untuk membawa mereka melanjutkan perjalanan atau kembali pulang, sementara perdagangan dalam kepulauan memasok rempah-rempah, getah, bulu burung langka, dan wewangian yang mahal ke kapal yang sudah dipenuhi muatan kain, keramik, dan barang pecah belah.
Walaupun ada beberapa petunjuk mengenai orang-orang Muslim awal yang singgah di kawasan ini, Islam sebagai sebuah agama negara terbentuk belakangan. Selama paruh kedua milenium pertama, pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Selat Malaka tampaknya membayar upeti pada Kerajaan Sriwijaya (atau kepada yang mengklaim sebagai pewarisnya). Para penguasa Sriwijaya yang berpusat di sekitar bandar-bandar di Sumatra Timur menyokong Buddhisme Mahayana dan meninggalkan warisan keagamaan hingga sejauh Biara Nalanda di Bihar, India. Mereka mengirimkan misi ke Tiongkok melalui Guangzhou dan kemudian Quanzhou, bandar besar di selatan yang didirikan di bawah pemerintahan Dinasti Tang (618–907).
Di sisi lain, laporan-laporan Arab, yang menyebut Quanzhou sebagai tujuan terakhir Zaytun, tampaknya sekadar menyadari keberadaan Sriwijaya secara samar dan hanya menyebut seorang “Maharaja” besar yang mengklaim pulau-pulau di sebuah kawasan yang dinamakan “Zabaj”. Ibu kotanya bisa dikenali berdasarkan sebuah bandar kosmopolitan dan “gunung api” yang selalu membara di dekatnya.
Hal yang jauh lebih misterius adalah identitas orang muslim pertama yang mapan di Asia Tenggara. Hal ini sebagian merupakan akibat pengingatan terus-menerus akan Islamisasi yang kerap tak cocok dengan jejak-jejak fisik yang tersisa. Marco Polo dalam laporannya mengenai Sumatra (sekitar 1292) menyebut sebuah komunitas Muslim baru yang didirikan oleh para pedagang “Moor” di Perlak. Salah satu batu nisan muslim bertarikh pertama (yang berpadanan dengan tahun Gregorian 1297) menyebut “Malik al-Salih” sebagai penguasa sezaman di bandar terdekat, Samudra Pasai. Namun, ada bukti mengenai komunitas-komunitas yang lebih awal jauh ke barat di Lamreh, tempat penanda-penanda makam yang telah terkikis parah menunjukkan adanya hubungan dengan India Selatan dan Tiongkok Selatan.
Kita tak banyak tahu tentang mekanisme yang mendasari permukiman mereka, apakah mereka adalah perantara yang bekerja untuk perdagangan Tiongkok ataukah untuk raja-raja Chola di India Selatan. Pada awal abad ketiga belas para pedagang rempah Aden, di Yaman, akhirnya menyadari keberadaan orang-orang Muslim yang menghuni sebuah tempat yang sekarang mereka sebut “Jawa”. Pada abad keempat belas, para penguasa Samudra Pasai bersaing, atau sebaliknya bersekongkol, dengan para penguasa Benggala memperebutkan hak agar nama mereka disebut dalam khotbahkhotbah Jumat di Calicut, tempat orang-orang Jawi (demikian bangsa-bangsa Asia Tenggara dikenal oleh para penutur bahasa Arab) kerap berjumpa dengan sesama muslim berkebangsaan India, Persia, dan Arab.
Petunjuk mengenai Jawa Islam muncul dalam berbagai tulisan seorang mistikus kelahiran Aden, ‘Abdallah b. As‘ad al-Yafi‘i (1298–1367), yang mengabdikan hidupnya untuk mencatat pelbagai keajaiban ‘Abd al-Qadir al-Jilani (1077–1166), sang wali dari Bagdad yang dianggap oleh banyak persaudaraan mistis sebagai guru tertinggi. Dikenal sebagai tarekat, pada masa al-Yafi‘i persaudaraan-persaudaraan ini telah tumbuh menjadi berbagai kelompok di bawah kepemimpinan para guru, atau syekh, yang diinisiasi secara khusus, yang mengklaim posisi berurutan dalam sebuah mata rantai silsilah para guru yang terentang tanpa putus hingga Nabi.
Apa pun garis keturunan spiritual mereka, entah Qadiriyyah, yang kembali ke ‘Abd al-Qadir al-Jilani, atau Naqsyabandiyyah dari Baha’ al-Din Naqsyaband (1318–89), tarekat memberikan pengajaran teknik-teknik untuk mengenal Tuhan—entah melalui perenungan, tarian yang spektakuler, atau penyangkalan diri—yang lazim disebut “mengingat” (dzikr). Barangkali salah satu dari bentuk dzikr paling terkenal adalah ritual “Dabus” yang disukai oleh tarekat Rifa‘iyyah, yang mengambil nama Ahmad al-Rifa‘i dari Irak (w. 1182), yaitu para jemaah menusuk-nusukkan jarum ke dada mereka tanpa mengalami luka. Tarekat-tarekat yang lain, seperti berbagai cabang Naqsyabandiyyah, dikenal dengan perenungannya yang hening. Apa pun cara dzikr yang digunakan, diyakini bahwa aktivitas semacam itu, jika dibimbing oleh seorang guru yang berpengetahuan, dapat menghasilkan visi ekstatik dan momen “penyingkapan” tabir misteri yang memisahkan hamba dari Tuhan disisihkan.
Menulis pada abad keempat belas, al-Yafi‘i mengenang bahwa sebagai seorang pemuda di Aden dia mengenal seorang lelaki yang sangat cakap dalam komunikasi mistis semacam itu. Lelaki ini bahkan membaiat al-Yafi‘i ke dalam persaudaraan Qadiriyyah. Lelaki ini dikenal sebagai Mas‘ud al-Jawi; Mas‘ud si orang Jawi. Di sini kita tampaknya memiliki bukti bagi teori A.H. Johns yang terkenal mengenai adanya hubungan antara perdagangan dan penyebaran Islam ke Nusantara di tangan para syekh tarekat. Meskipun karya al-Yafi‘i memainkan peranan dalam penyebaran kisah-kisah ‘Abd al-Qadir al-Jilani di Asia Tenggara, tidak ada ingatan lokal mengenai proses ini, jika memang terjadi di Sumatra dengan cara yang sama seperti di Aden. Sebaliknya, kita kerap mendapati kisah-kisah istana tentang bagaimana cahaya kenabian sampai ke kawasan ini.
Dalam beberapa kasus, seorang penguasa pada zaman leluhur konon berjumpa Nabi dalam mimpi, meminta pengakuan seorang utusan dari Mekah atas perpindahan agamanya dalam mimpi itu, atau pernah dikunjungi oleh seorang guru asing yang mampu menyembuhkan penyakit tertentu. Barangkali contoh yang paling terkenal ditemukan dalam Hikayat Raja Pasai: Raja Merah Silu (yang kemudian menjadi Malik al-Salih yang dikenang dengan batu nisan bertarikh 1297) bermimpi bahwa Nabi meludahi mulutnya. Begitu terbangun dia seketika bisa membaca Al-Quran. Kisah ini sangat mirip ‘Abd al-Qadir yang berbahasa Persia digambarkan fasih bertutur bahasa Arab dalam karya al-Yafi‘i, Khulasat al-Mafakhir (Ringkasan Tindakan-Tindakan yang Membanggakan).
Lebih jauh, Merah Silu dikisahkan menerima seorang syekh dari Mekah untuk mengesahkan perpindahan agamanya, sebuah kisah yang semula tampaknya menunjuk pada sebentuk hubungan tarekat. Walaupun begitu, penekanan pada pengesahan dari Mekah lebih mencerminkan perhatian istana terhadap genealogi kekuasaan dan kekaguman sejak lama terhadap kota tersebut sebagai kediaman abadi keluarga Nabi. Barangkali yang paling masyhur di antara banyak silsilah kerajaan Melayu adalah Sulalat al-Salatin (Silsilah Para Sultan) milik Kesultanan Malaka, yang memasukkan beberapa bagian dari Hikayat Raja Pasai dan mendahului garis keturunan Muhammad dengan menegaskan bahwa pendiri dinasti memiliki darah Alexander Agung.
Bagaimanapun kondisi sebelum atau sesudahnya, Islamisasi kian mendekatkan kekuatan berbagai koneksi internasional yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Tiongkok. Meskipun mengklaim sebagai keturunan Alexander dan Pasai, para penguasa Malaka menganggap diri mereka sebagai kerajaan bawahan Ming sampai ditaklukkan oleh Portugis pada 1511. Tentu saja, ada banyak hal yang tetap misterius mengenai Malaka. Sementara itu, Ibn Battuta (1304–77) yang kelahiran Tangiers mengklaim pada sekitar 1345 bahwa penguasa Samudra Pasai menganut mazhab Syafi‘i (sebuah aliran penafsiran Hukum Islam yang dihubungkan dengan Muhammad b. Idris al-Syafi‘i [767–820]). Navigator yang lebih belakangan, Sulayman al-Mahri (bertugas 1500-an), malah meragukan keislaman orang-orang Malaka. Dia pasti punya alasan tertentu bagi keraguannya. Meskipun Undang-undang Melaka mendudukkan “hukum Tuhan” sebagai yang lebih tinggi ketimbang adat setempat, mereka kerap lebih menyukai yang terakhir.
Sulalat al-Salatin tidak banyak bicara tentang kekhasan hukum ataupun teks-teks yang digunakan di kesultanan. Isinya hanya memuat beberapa pertanyaan ke Pasai mengenai keabadian pahala dan hukuman Tuhan serta permintaan khusus untuk menjelaskan sebuah naskah yang dibawa ke Malaka oleh “Mawlana Abu Bakr”. Pertanyaan tersebut tampaknya terkait dengan perdebatan yang sedang terjadi mengenai pandangan mistikus Andalusia Ibn al-‘Arabi (1165–1240), yang menyatakan bahwa meski neraka itu kekal, akan ada akhir bagi penderitaan mereka yang disiksa di sana karena rahmat Tuhan melampaui murka-Nya.
Sementara itu, naskah yang dibawa oleh Mawlana Abu Bakr, yang konon diajarkan secara langsung kepada Sultan Mansur Shah (berkuasa 1456–77), menyebutkan al-Durr al-Manzum (Mutiara yang Teruntai), sebuah judul yang oleh cendekiawan G.W.J. Drewes (1899–1993) dihubungkan dengan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058–1111).
Di sisi lain, tidak ada sebuah naskah ataupun kesepakatan. Versi lain Sulalat al-Salatin yang diterbitkan oleh penulis Singapura ternama, Munsyi Abdullah (‘Abdallah b. ‘Abd al-Qadir, 1796–1854), menyatakan Durr alManzum sebagai karya “Mawlana Abu Ishaq” dari “negeri atas angin” dan menjelaskan kandungannya sebagai sebuah risalah mengenai Esensi (dzat) Tuhan dan berbagai Atribut-Nya (sifat), yang ditambahi satu bagian lain mengenai Tindakan-Tindakan-Nya (af ‘al). Pernah disampaikan bahwa hal ini menunjukkan sebuah karya tentang mistisisme, meski lebih mirip sebuah buku pengantar mengenai akidah (yang tentu saja merupakan landasan bagi karya-karya mistis).11 Apa pun rahasia yang terkandung di balik Durr alManzum, yang jelas Malaka, bersama bandar Pahang dan Patani di wilayah utara semenanjung, memainkan peranan dalam perubahan Kepulauan Maluku dan proses tersebut terkait dengan penarikan rempah-rempah untuk pasar global yang tengah berlangsung.
DARI TIONGKOK KE JAWA?
Raja-raja Kepulauan Maluku tidak hanya berhubungan dengan muslim Melayu pada abad kelima belas. Perdagangan dengan Tiongkok tetap menjadi kunci bagi kesuksesan yang terus berlanjut di Asia Tenggara, seperti halnya perpindahan ke agama terakhir dari agama-agama dunia ini. Dengan demikian, bangsa Tiongkok dan muslim Jawa juga hadir di panggung, berlayar dari bandarbandar yang baru saja mengalami perubahan seperti Tuban dan Gresik, yang berhasil masuk ke jalur pelayaran Arab. Kemunculan Patani sebagai sebuah kota muslim juga adalah jasa dari kontak Tiongkok-Jawa. Hal ini dikenang melalui nama pelabuhannya, yang juga dikenal sebagai Gresik. Naturalis Jerman Rumphius (1627–1702; lihat Bab 4) belakangan juga berkomentar bahwa orang Jawa di Ambon dikenal sebagai “orang-orang Tuban”.
Bandar-bandar seperti Gresik dan Tuban muncul di pesisir utara Jawa di bawah pengaruh orang-orang kuat yang sekarang dikenang sebagai para wali, berasal dari kata bahasa Arab yang menyiratkan kedekatan kepada Tuhan. Tak diragukan lagi diskusi tentang sejarah Islam di Indonesia tak akan lengkap tanpa menyebut “Sembilan Wali” (Wali Sanga), yang dihubungkan dengan Islamisasi Jawa. Mereka meliputi Malik Ibrahim dan “Tuan” (Sunan) Bonang, Ampel, Drajat, dan Kalijaga. Yang disebut pertama, juga dikenal sebagai Mawlana Maghribi, merupakan orang Arab yang tiba sekitar 1404 dari Champa (Vietnam masa kini) dan meninggal di Gresik pada 1419.
Beberapa wali yang lain juga merupakan orang Arab. Barangkali yang paling terkenal adalah murid Mawlana Maghribi yang cakap, Sunan Kalijaga, yang dianggap sebagai perwujudan arketipe muslim Indonesia, yang “lentur, tentatif, sinkretis, dan, yang paling penting, multisuara”, berbeda dari tanah yang dijadikan nama gurunya, yang digambarkan Geertz sebagai “pemujaan wali dan kekakuan moral, kekuatan magis dan kesalehan yang agresif”.
Kerap disebut sebagai contoh kelenturan Indonesia, sebagian dari Wali Sanga disebut telah menciptakan berbagai bentuk kesenian untuk menjelaskan Islam dalam idiom lokal. Sunan Kalijaga disebut telah menciptakan teater bayangan boneka (wayang); Sunan Drajat dianggap menggubah sebuah melodi untuk orkestra perkusi tradisional (gamelan), dan Sunan Bonang dinyatakan menciptakan bentuk pengajaran puitis yang dikenal sebagai suluk, sebuah istilah yang berasal dari kata bahasa Arab yang berarti ‘perjalanan’ seseorang dalam mencari pengetahuan Ilahiah.
Selain itu, terdapat beberapa cerita Jawa mengenai Mawlana Maghribi dan para sahabatnya yang menunjukkan bahwa mereka mengandalkan jaringan perdagangan yang sama yang akan memperkaya Patani, tempat Mawlana Maghribi juga diklaim sebagai seorang wali pendiri. Sebuah laporan dari Cirebon, di perbatasan Jawa Barat, menunjukkan bahwa Laksamana Zheng He (1371–1433) dari Dinasti Minglah yang berjasa menyemai komunitas-komunitas Muslim yang bermazhab Hanafi di pulau ini.
Di sisi lain, beberapa silsilah Arab yang lebih belakangan, seperti yang disusun oleh ‘Abd al-Rahman al-Masyhur dari Tarim (1834–1902), menyatakan bahwa seluruh Wali Sanga adalah keturunan Nabi (Ar. sayyid). Secara lebih khusus silsilah al-Masyhur menegaskan bahwa mereka, seperti sang ahli silsilah sendiri, berasal dari keluarga seorang lelaki bernama ‘Alawi, yang kakeknya hijrah ke Hadramaut pada 951.16 Namun, bangsa Tiongkok tetap tidak terhapus dari sejarah Indonesia, seperti terlihat dalam kisah Sunan Gunung Jati, seorang Melayu yang dilahirkan di Pasai dengan nama Nur Allah, yang pergi ke Mekah setelah Portugis menaklukkan kota kelahirannya pada 1521. Menurut berbagai legenda Indonesia, dia kembali ke Nusantara dan menikahi adik perempuan Sultan Trenggana dari Demak sekitar 1523, lalu pindah ke Banten sekitar 1527, dan akhirnya menetap di Cirebon. Di sana dia menikahi seorang Tionghoa setempat yang warisannya ditunjukkan secara mencolok dengan pola awan di pintu-pintu makamnya dan gaya kain batik khas yang terkenal di kota itu.
Semangat berbagai pihak yang datang belakangan untuk menguasai berbagai sejarah suci Jawa mengingatkan kita bahwa para pendiri memiliki arti penting politik yang besar, tanpa memandang apakah mereka datang ke Nusantara sebagai petualang Arab atau sebagai pengelola bisnis Tionghoa. Dari mana pun asal usul mereka, masing-masing wali kini memiliki sebuah kompleks pemakaman, yang kerap merupakan tanda kemasyhuran mereka. Misalnya, puncak Bukit Giri, di Gresik di pesisir timur Jawa, terdapat situs makam Sunan Giri yang cemerlang, yang klannya menghasilkan para pemimpin yang oleh Belanda dikenal sebagai “paus” Jawa. Makam-makam semacam itu menjadi situs peziarahan dan dikunjungi oleh orang-orang beriman yang mencari berkah Tuhan, atau perantaraan aktif sang wali untuk kepentingan mereka.
Baik dalam berbagai silsilah yang diyakini sebagai silsilah Wali Sanga, yang ditemukan dalam pamflet-pamflet yang dibagikan kepada para peziarah, maupun dalam karya-karya kecendekiawanan mengenai warisan Islam Indonesia, kebanyakan penulis sangat yakin terhadap kontribusi para wali itu terhadap pembentukan Jawa. Warisan tersebut, sebagaimana akan kita lihat, sebagian dihidupkan kembali berkat campur tangan para cendekiawan Belanda, melalui riset yang mengantar mereka pada berbagai manuskrip yang akhirnya sampai ke koleksi Eropa. Melalui naskah-naskah inilah kita memperoleh pengetahuan tertentu mengenai ajaran para wali dalam dua abad pertama sejak kedatangan mereka.
Meskipun Wali Sanga lazim dikenal memiliki kelenturan kultural, perhatian mereka lebih diarahkan untuk menanamkan norma-norma perilaku secara keras dalam masyarakat yang tidak semua orang di dalamnya adalah muslim. Seorang apoteker Portugis, Tomé Pires, misalnya, mencatat pada awal abad keenam belas bahwa kawasan pesisir Jawa barangkali sudah memeluk Islam, tetapi wilayah pedalaman belum.
Salah seorang perwakilan Islam pesisir adalah Seh Bari, yang mewariskan kepada murid-muridnya serangkaian ajaran yang dirumuskan sebagai “dasar-dasar menempuh jalan mistis”. Dinilai dari ajarannya, Islam yang dikembangkan pasti bukan sebuah ajaran sinkretis yang mengakomodasi praktik-praktik lokal. Sebaliknya, Seh Bari mengajukan dalil-dalil bagi sebuah komunitas elite yang mencari pengetahuan mengenai:
- hakikat Tuhan berdasarkan penafsiran Qurani;
- Apakah Tuhan berbeda dari makhluk; dan
- Bagaimana seorang hamba bisa mengenal transendensi-Nya. Dalam menjelajahi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Seh Bari merujuk kepada alGhazali, yang dia gunakan untuk melawan teologi esoteris Ibn al-‘Arabi, terutama menentang gagasan “kesatuan wujud” (wahdat al-wujud) yang dikembangkan para pengikut Ibn al-‘Arabi yang beranggapan bahwa Tuhan dan makhluk pada dasarnya identik.
Begitu pula, seorang guru lain dari masa awal, Seh Ibrahim, mendorong murid-muridnya untuk menjaga jarak dari berbagai godaan duniawi, dan untuk mengambil inspirasi dari Khidr, sosok nabi yang disebutkan secara samar dalam Al-Quran (18:65–82) dan banyak hikayat Alexander. Banyak pertanyaan sudah diajukan mengenai penentuan tarikh naskah Seh Ibrahim, tetapi pandangannya barangkali bisa dianggap mewakili sikap pada periode formatif Islamisasi di Jawa. Karya-karya al-Ghazali dan al-Yafi‘i dikutip untuk menentang contoh-contoh heterodoksi ekstrem, dan pelanggaran Syari‘ah. Hal ini ditegaskan dalam sebuah teks tambahan yang menggambarkan pertemuan delapan wali yang masing-masing menjelaskan pemahamannya mengenai ma’rifat. Salah seorang dari mereka, Siti Jenar, berani menyatakan, “Akulah Allah. Siapa lagi aku kalau bukan Dia?” Siti Jenar dikecam karena mengungkapkan doktrin Ibn al-‘Arabi kepada publik.
Karena tetap bersikukuh, Siti Jenar pun dieksekusi. Nasib serupa konon menimpa para guru lain yang tidak hati-hati. Walaupun sulit untuk diverifikasi, kisah-kisah ini biasa dianggap sebagai katalis bagi diskusi mengenai perjumpaan mistisisme Jawa (dan secara otomatis, Indonesia) dengan Arab. Dalam kecendekiawanan Eropa, digambarkan beberapa kesamaan antara eksekusi Siti Jenar dan Mansur al-Hallaj dari Bagdad (858–922) yang terkenal. Menariknya, perbandingan serupa dengan kisah al-Hallaj mudah ditemui di Indonesia masa kini, tetapi patut dicatat bahwa perbandingan demikian mendahului publikasi karya-karya Barat mengenai persoalan ini. Juga patut ditunjukkan bahwa meskipun Siti Jenar dan al-Hallaj bernasib sama karena kejahatan yang sama, tidak harus ada hubungan dengan silsilah tarekat mana pun, atau setidaknya tidak dengan tarekat yang berakar dalam masyarakat di luar elite istana.
Selengkapnya Download dengan KLIK disini
SEJARAH ISLAM DI NUSANTARA
Diterjemahkan dari The Makings of Indonesian Islam, terbitan Princeton University Press, 2011 Karya Michael Laffan
Cetakan Pertama, September 2015
Penerjemah: Indi Aunullah & Rini Nurul Badariah
Penyunting: Munawir Azis & Agus Hadiyono
Perancang sampul: Adit H. & Fahmi Ilmansyah
Pemeriksa aksara: Fitriana & Akhmad Zulkarnain
Penata aksara: Adfina Fahd Foto isi: Koleksi pribadi penulis Digitalisasi: Rahmat Tsani H.
Copyright © 2011 Princeton University Press
All rights reserved. No part of this book may be reproduced or transmitted in any form or by any means, electronic or mechanical, including photocopying, recording or by any information storage and retrieval system, without permission in writing from the publisher.
Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada Penerbit Bentang.
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Anggota Ikapi
Jln. Plemburan No. 1, Pogung Lor,
RT 11 RW 48 SIA XV, Sleman, Yogyakarta 55284
Telp.: (0274) 889248, Faks.: (0274) 883753
Surel: bentang.pustaka@mizan.com Surel redaksi: redaksi@bentangpustaka.com http://bentangpustaka.com