BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Judul tulisan ini diambil dari tagar yang digunakan banyak akun dan postingan di media sosial. Kita memang harus menyimak pandangan dan argumen mereka yang menolak penganugerahan pahlawan nasional kepada Soeharto oleh pemerintah. Sebagai contoh, akun Jejak Rasio dalam postingannya di media sosial membeberkan bahwa track record Soeharto tidak menunjukkan spirit pengorbanan (pengabdian) dan berkorban untuk bangsa dan rakyat Indonesia, yang ada adalah mengorbankan rakyat (menurut sejumlah buku sejarah mencapai jutaan nyawa) untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Lalu dari mana kategori pahlawan untuk Soeharto, toh saat serangan umum di Yogya juga ia malah asik makan soto di saat pasukannya bertempur?
Hal itu berbeda misalnya dengan Gus Dur dan Bung Karno yang rela tergusur dan terguling dari kekuasaan, asal tidak terjadi perang saudara. Tapi Soeharto justru meniti karir awal kekuasaannya dan mempertahankan kekuasaannya saat berkuasa dengan menghilangkan nyawa warga sipil, hidup rakyat. Belum lagi kalau kita bicara kekuasaannya ternyata hanya instrumen Amerika untuk mengeruk kekayaan Indonesia, yang berdasarkan laporan Bank Dunia (World Bank) dan IMF, 90 persen kekayaan Indonesia di masa Soeharto berkuasa, dibawa ke Amerika.
Kalau diabsen, memang cukup panjang juga daftar kekerasan atau pelanggaran HAM berat orde baru, dari mulai kasus Tanjung Priok hingga Talangsari, Lampung. Dari mulai Tragedi Santa Cruz hingga Daerah Operasi Militer Aceh. Wajar jika banyak penulis sejarah menjulukinya sebagai jagal manusia, pemimpin politik yang menjadi jagal rakyatnya sendiri. Ini belum bicara tentang pemborosan uang Negara, korupsi, dan mark up yang dilakukan anak-anaknya. Membangun binis pribadi dan keluarga dengan menggunakan uang Negara. Soeharto menurut mereka hanya membajak Indonesia demi kekuasaan semata dan demi memperkaya keluarga (anak-anaknya), selain menjadi instrumen Amerika untuk merampok (menjarah) kekayaan Indonesia.
Tak cuma itu, pernyataan Menteri Kebudayaan Indonesia Fadli Zon yang menyatakan tidak adanya bukti bahwa Soeharto terlibat genosida (pembantai massal nyawa manusia) langsung menjadi bahan olok-olok dan tertawaan, yang karena banyak bukti benda, dokumen, dan tulisan yang membuktikan keterlibatan Soeharto atas genosida rakyat Indonesia di bulan-bulan akhir tahun 1965, dari September hingga Desember, di Jawa Tengah, Bali dan Jawa Timur dan di sejumlah tempat lainnya di Indonesia. Di media online, sebagai contoh, kita tinggal membaca tulisan Faisal Irfani di https://www.bbc.com/indonesia/articles/c620x3kyl9qo sekedar untuk menyela kenaifan Menteri Kebudayaan:
“Soeharto dengan sadar memerintahkan pembersihan—berujung pembantaian—kepada anggota, simpatisan, hingga yang dituding Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu dokumen yang dikirim Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta ke Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tertanggal 30 November 1965 menyatakan ‘TNI hendak melanjutkan kampanye represi PKI atas perintah Jenderal Soeharto.’ Temuan lainnya menyebut segala yang dilakukan Soeharto pada Oktober 1965 menunjukkan bahwa dia sedang melaksanakan rencana serangan antikomunis—bukan sekadar merespons kematian enam perwira di TNI Angkatan Darat. Sementara riset intensif peneliti Australia mengemukakan Soeharto, tidak lama usai para jenderal dibunuh, mengirimkan telegram di lingkup internal militer yang berpesan “PKI perlu ditumpas.”
Soeharto menghalalkan darah rakyat dengan begitu entengnya hanya demi mempertahankan kekuasaan dan berkuasa. Ia bukan pahlawan karena tidak menunjukkan bukti memuliakan rakyat Indonesia, justru menganggap nyawa rakyat Indonesia tidak punya harga ketika dengan gampangnya membunuhi rakyat Indonesia yang bersuara dan menyuarakan aspirasi mereka. Anaknya-anaknya menggunakan uang Negara untuk bisnis dan kemanjaan mereka, bisnis yang justru kerapkali gagal atau tidak memberikan keuntungan, semisal mobil Timor-nya Tommy Soeharto, apalagi memberi pemasukan bagi Negara. Kekayaan SDA dari bagi hasil dengan Amerika atau perusahaan asing lainnya acapkali juga malah masuk ke kantong keluarga cendana, bukan ke kas Negara.
Soeharto, demikian menurut mereka yang menolak penganugerahan gelar pahlawan nasional kepadanya, tidak memberi kepada bangsa ini, tapi justru mengambil dan mengkorupsinya, selain membiarkan kekayaan Indonesia dirampok Amerika dalam skala yang gila-gilaan. 32 tahun dia berkuasa, niscaya Indonesia telah menjadi Negara maju jika dia sungguh-sungguh melahirkan Sumber Daya Manusia Indonesia yang banyak, sebab kemajuan itu linear. Yang justru ia lakukan adalah menakuti-nakuti rakyat yang sadar dengan perilaku dan tindakan korupnya, sadar dengan kejahatan politiknya. Menangkap dan membunuh rakyat. Soeharto menjadikan atau membajak Indonesia hanya ladang (korupsi) keluarga belaka.
Orde Baru Soeharto pula yang menyebarkan wabah mematikan bangsa ini: menjadikan korupsi sebagai kewajaran, mengajarkan politik sebagai modus menghalalkan penjagalan, dan menanamkan kepercayaan bahwa kejujuran adalah ancaman. Dengan demikian, menurut mereka yang sangat tidak setuju penganugerahan gelar pahlawan nasional untuknya, tidak ada yang bisa diteladani secara moral dan politik dari sosok Soeharto, justru yang menggunung adalah jejak (track record) pelanggaran HAM berat atau kejahatannya.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan
























