LIPUTAN9.ID – Stigmatisasi merupakan tindakan tidak bertanggungjawab dan tanpa pengetahuan mendalam dalam mendeskripsikan atau menganggap seseorang seperti karakteristik atau sekelompok orang yang dianggap salah, buruk bahkan telah diblacklist dengan cara menunjukkan ketidaksetujuan yang kuat.
Stigmatisasi biasanya berbentuk prasangka yang selalu mendiskreditkan atau menolak seseorang atau kelompok yang dianggap berbeda dari banyak orang secara umum.
Kemunculan stigmatisasi dalam lingkungan sosial akan menimbulkan ketidaksetaraan sosial. Stigmatisasi ini tidak hanya merugikan penerimanya, tetapi juga orang di sekitar penerima stigma tersebut. Umumnya, stigma mengakibatkan penolakan, penyangkalan, dan penyisihan dari orang sekitar.
Ketika stigma diberikan, orang cenderung akan menerima perlakuan diskriminatif dari masyarakat sekitar karena kekhawatiran akan suatu hal, entah khawatir terpengaruh, tersaingi atau perasaan lainnya.
Budaya stigmatisasi ini biasanya suka muncul dan terulang kepada seseorang atau kelompok tertentu saat ada momentum politik atau siklus perubahan kepemimpinan di tingkat nasional maupun lokal, seperti pemilihan presiden, pemilihan kepala desa, pemilihan rektor dan lainnya.
Stigmatisasi yang dilakukan seseorang dalam setiap siklus perubahan kepemimpinan biasanya bertujuan untuk menjatuhkan lawannya. Tindakan stigmatisasi ini merupakan sikap tidak bermoral dan tidak waras karena selalu menghilangkan pikiran objektif dan banyak mengandung fitnah.
Semisal, di setiap negara, termasuk di Indonesia terdapat sejarah orang atau kelompok-kelompok yang dianggap buruk, cacat sosial, menyimpang dan bahkan disebut pemberontak. Kadang seseorang dengan mudahnya menyematkan identitas orang dengan sejarah tersebut tanpa data dan fakta yang valid.
Mungkin penyematan itu tanpa beban karena tidak memiliki pretensi politik. Akan tetapi dampaknya bisa jadi merusak masa depan dan peluang orang yang disematkan tersebut. Oleh karena penyematan itu bisa dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu demi ambisi meraih kekuasaan politiknya dengan cara mengkapitalisasi info bias tentang penyematan tersebut. Begitulah, realita kadang mengambarkan jahatnya dunia perebutan kekuasaan atau politik. Stigmatisasi dengan cara penyematan tidak benar kepada seseorang dan digunakan untuk mencemarkan atau menjatuhkan nama baik seseorang sepertinya telah menjadi hal biasa dilakukan sebagian orang. Bahkan orang yang baik, polos atau lugupun bisa ikut-ikutan mengamininya.
Seorang Pengacara dari London, David Hunt, pernah mengatakan banyak orang yang baik jatuh reputasinya karena berurusan dengan pencemaran nama baik oleh lawan-lawan politiknya. Informasi-informasi hoaks disematkan kepada mereka yang baik dan berkompeten dengan cara menuduh berafiliasi pada gerakan-gerakan anti pemerintah, kelompok kriminal, pelacur, dan lainnya. Faktanya, kadang semua penyematan merupakan berita palsu, tidak objektif, tidak mendalam dan tidak memiliki bukti apa-apa. Semuanya tidak lain hanya fitnah yang dibuat-buat oleh orang yang hatinya busuk hanya untuk menjatuhkan para saingannya.
Albert Einsten pernah mengungkapkan, hanya sikap moral suatu masyarakat yang didukung oleh nilai-nilai agama secara benar akan selalu bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kewarasan dan vitalitas masyarakat dan individu-individunya. Bagi Einsten, jika terlepas dari basis moral dan nilai agama secara benar maka yang terjadi adalah masyarakat akan binasa karena hanya diisi oleh orang-orang yang menghormati kebohongan, pencemaran nama baik, penipuan, dan pembunuhan karakter satu sama lainnya.
Sepakat dengan Imanuel Kant, bagi orang-orang yang sering mendapatkan stigmatisasi bersabarlah sebentar. Stigmatisasi berupa kebohongan atau fitnah tidak akan berumur panjang. Menurut Kant, kebenaran adalah anak waktu walau lama tetapi ia akan muncul untuk membelanya.
Bergeraklah dalam hening ketika menyikapi derasnya stigmatisasi. Sepakat dengan Gordon Hempton, seorang Acoustic ecologist dalam “Silence and the Presence of Everything”, bahwa gerak keheningan bukanlah ketiadaan sesuatu, tetapi kehadiran segalanya. Kadang keheningan mampu menembus hal-hal yang tak biasa dinilai dan diukur oleh orang lain. Keheningan kadang mampu membuka nomena dari setiap fenomena yang hadir dan seringkali tidak benar.
Kata Rumi, biarkan keheningan membawa ke inti kehidupan. Keheningan akan melahirkan sikap hati-hati dalam menyimpulkan sesuatu sebelum benar faktanya. Keheninganlah, yang akan membawa seseorang pada reputasi kebijaksanaan. Jika seseorang bertanya, “kenapa harus keheningan?” Jawab bunda Teresa, seseorang butuh keheningan agar bisa menyentuh inti jiwanya. Yang kata Pythagoras, inti jiwa adalah kuil kebijaksanaan.
Dr. H. Dudy Imanuddin Effendi, M.Ag, Wakil Dekan 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.