LIPUTAN9.ID – Salah satu rujukan tasawuf Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah seorang Sufi dari Iran, al-Junaid al-Baghdadi (w. 910). Ia lahir di Baghdad, Irak, pada tahun 830 M., ketika Abu Yazid al-Busthomi sudah remaja berusia 26 tahun. Namun, asal keluarganya adalah dari kota Nahawan, Persia. Jadi, Junaid al-Baghdadi dan Abu Yazid masih sama-sama berdarah Persia.
Selama tumbuh di Baghdad, Junaid ini belajar pada para ulama di masanya, seperti Abul Hasan Sari bin Mughallas as-Saqathi (160-253 H.) dan Harits bin Asad bin Abdullah al-Muhasibi (170-243 H.). Mereka berdua adalah ulama-ulama besar mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang hidup di masa Daulah Abbasiah.
Sedangkan ilmu fikihnya, Junaid al-Baghdadi ini belajar kepada Abu Tsur Ibrahim bin Khalid bin Abul Yaman al-Kalbi al-Baghdadi (170-240 H.). Abu Tsur adalah ulama fikih mazhab Syafi’iah. Ketika Imam Syafi’i tiba di Irak, Abu Tsur langsung membuang mazhab awalnya dan sampai meninggal terus berpegang pada fikih mazhab Syafi’I (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, Muassasah ar-Risalah, 1981: 14/66).
Junaid al-Baghdadi terkenal sangat kuat dalam berpegang teguh pada al-Quran dan Hadits, terutama dalam membangun basis intelektual sufistiknya. Kata-katanya yang terkenal antara lain: “seluruh jenis tarekat terhenti pada makhluk, kecuali tarekat yang mengikuti jejak Rasulullah SAW,” (Zainuddin Muhammad Abdurrauf al-Manawi, Al-Kawakib ad-Durriyah fi Tarajim as-Sadah as-Shufiyah, Dar Shadir, 1999: 1/572).
Tidak mungkin tarekat berseberangan dengan syariat, karena sejak awal sekali para tokoh Sufi seperti Junaid al-Baghdadi ini mendasarkan tarekatnya pada Alqur’an dan Hadits. Karena itulah, ormas keagamaan seperti Nadhlatul Ulama (NU) menjadikan Junaid al-Baghdadi sebagai teladan keberagamaannya, terutama di bidang tasawuf.
Dalam kesempatan yang lain, Junaid al-Baghdadi mengatakan: “orang yang tidak menghafal Quran dan tidak menulis Hadits maka ia tidak dapat diikuti dalam perkara keagamaan ini, karena pengetahuan kami terikat dengan al-Kitab dan as-Sunnah,” (Abul Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairiah fi ‘Ilm at-Tashawuf, Dar Usamah, 1987: 32).
Tentang Wahdatul Wujud, Junaid al-Baghdadi memang tidak terang-terangan mengajarkannya. Tetapi, ia memiliki sebuah larik syair yang berbunyi: “wa ghanna li min qolbi, wa ghannaitu kama ghanna” dari lubuk hati terdengar suara dendang lagu, dan aku pun berdendang seperti dia; “wa kunna haitsu ma kanu, wa kanu haitsu ma kunna” kami ada seperti mereka, dan mereka ada seperti kami (Ahmad Farid al-Bani al-Mazidi, Syarh Hikam al-Syaikh al-Akbar, Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2006: 25).
Syair Junaid al-Baghdadi di atas sama seperti yang sering diucapkan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi, “ana man ahwa wa man ahwa ana,” akulah orang yang aku inginkan, dan orang yang aku inginkan adalah aku. Ungkapan-ungkapan semaca itu adalah penerjemahan dalam laku spiritual atas firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi: “Kuntu Sam’ahu wa bashorohu,” Akulah pendengaran dan penglihatannya (HR. Bukhari, 5/2384).
Seorang musllim bila rajin mengerjakan ibadah fardhu dan melengkapinya dengan amalan sunnah maka Allah sangat mencintainya. Apabila Allah sudah mencintai seseorang maka Allah akan mengambil alih kedirian orang tersebut. Allah akan menjadi tangannya untuk memegang, menjadi kakinya untuk berjalan, menjadi telinganya untuk mendengar, dan menjadi matanya untuk melihat. Ini adalah ungkapan puitis tentang konsep Fana’ fillah (tenggelam dalam Allah).
Junaid al-Baghdadi menyebut orang dalam kondisi fana’ fillah tersebut sebagai Insan Kamil. Menurutnya, Insan Kamil adalah ruh yang luruh, di mana Allah akan mewakilinya dalam apapun yang dia inginkan dari-Nya (Suad Hakim, Ibnu Arabi wa Mawlidu Lughah Jadidah, al-Muassasah al-Jami’ah lid Dirasat wa Tawzi’, 1991: 50).
Selain soal Insan Kamil, Imam Junaid al-Baghdadi juga sangat mengagumi kepribadian Sayyidah Ali bin Abi Thalib ra., Khalifah ke-4 dari Khalafaurrasyidin. Kekaguman terhadap Ali ra. tidak merusak keyakinannya sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah, karena sepenuhnya rasional dan logis, mengingat sahabat Ali ra. adalah figur yang disebut Babul Ilmi (pintu ilmu pengetahuan). Sedangkan Rasulullah saw adalah madinatul ilmu (kota ilmu pengetahuan).
Junaid al-Baghdadi mengatakan, “seandainya Amirul Mukminin tidak disibutkan dengan perang fi Sabilillah, tentu ia akan mendapatkan ilmu dimana seluruh hati manusia tidak akan mampu menampungnya. Pemimpin kita setelah Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib dan Ja’far ash-Shodiq,” (Sulaimin bin Ibrahim al-Qanduzi, Yanabi’ al-Mawaddah, Beirut: Muassasah al-A’lami, 1418 H.: 3/147).
Dari sini kita bisa belajar banyak hal dari pemikiran Junaid al-Baghdadi, sebagai pribadi yang mendasarkan pengetahuannya pada al-Quran dan Hadits, mendorong manusia memiliki sifat Insan Kamil yang diridhai Allah SWT., dan tidak segan mengakui kepribadian Imam Ali ra. sebagai pintu ilmu pengetahuan. Sufisme Islam memang ditandai dengan keteguhan berpegang pada syariat sekaligus inklusif terhadap berbagai pencapaian peradaban manusia.
Artikel ini tayang juga di Disway.id dengan judul yang sama Sufisme ala Junaid al-Baghdadi, pada hari Rabu, 31 Agustus 2022.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.