Cirebon, LIPUTAN 9 NEWS
Persia, India, dan Yunani adalah tiga peradaban besar kala Islam muncul di panggung sejarah. Pengaruh peradaban besar kepada pemikiran sufistik Islam terbuka lebar. Namun, Sufisme juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi yang sudah tumbuh di internal masyarakat Semit, salah satunya Judaisme. Kaum Sufi tidak segan mengadopsi apa pun yang baik, termasuk dari Judaisme dan Nashrani.
Ada banyak tokoh yang menyebut pengaruh tradisi Yahudi ke dalam Sufisme Islam, antara lain: Abraham Geiger (1833) dalam tulisannya berjudul “Was Hat Mohammed uas dem Judenthum Aufgenommen”, Daniel Kaufmann (1877) dalam tulisannya berjudul “Geschichte der Attributenlehre in der Judischen Religion”, Ad. Merx (1892) dalam tulisannya berjudul “Grundlinen der Sufik”. Semua buku ini bisa diakses dalam versi bahasa Inggrisnya.
Salah satunya adalah tentang penggunaan Khirqa. Khirqa adalah jubah inisiasi dari rantai spiritualitas Sufi. Melalui Khirqa ini, pengetahuan esoterik dan keberkahan diturunkan dari mursyid kepada murid. Penggunaan khirqa ini dalam rangka berbeda dengan skapulir yang digunakan oleh para rahib. Para rahib juga sering melakukan uzlah, mengasingkan diri di padang-padang pasir. Ini pula yang menjadi tradisi uzlah para sufi.
Kita sebagai muslim Indonesia mungkin beranggapan bahwa penggunaan tasbih adalah pengaruh Hindu-Buddha. Karenanya, banyak orang yang membid’ahkan penggunaan tasbih saad berdzikir untuk menghitung jumlah bacaan kita. Padahal, Imam Junaid al-Baghdadi adalah sufi pertama dalam tradisi Islam yang menggunakan tasbih. Penggunaan Tasbih ada dalam tradisi rahib Yahudi dan pendeta Nashrani. Walaupun para Brahmin di India juga menggunakannya.
Selain kesinambungan tradisi dalam berpakaian dan instrumen ibadah, ada juga kesinambungan linguistik dalam ajaran-ajaran Sufisme Islam. Banyak istilah-istilah bahasa Aramaik yang diadopsi ke dalam ajaran tasawuf, seperti: Nasut, Rahamut, Rahabut, Lahut, Jabarut, Rabbani, Ruhani, Nafsani, Jismani, Sya’sya’ani, Wahdaniah, Fardaniah, Rahbaniah, Ubudiah, Rububiah, Uluhiah, dan Kaifufiah.
Persentuhan umat muslim, para Sufi dan Salik, dengan tradisi Yahudi-Nashrani tidak terlepas dari pergaulan mereka di wilayah-wilayah yang sebelumnya dihuni oleh kaum Yahudi dan Nashrani, seperti: Kufah, Damaskus, dan Najran. Peran para kabilah Arab yang memeluk agama Nashrani sebelum Islam juga besar, seperti bani Tughlab, Qudha’ah, dan Tanukh.
Ada beberapa bait syair yang diriwayatkan oleh para Sufi, dan itu dinisbatkan pada Isa al-Masih sebagai berikut:
- Mawa’ih Ruhban wa Dzikru Fi’alihim (nasihat-nasihat para rahib, kisah perbuatan mereka)
- wa akhbaru shidqin ‘an nufusin kawafiri (dan kabar-kabar kejujuran datang dari jiwa-jiwa yang kafir)
- mawa’idu tasyfina fa nahnu nahuzuha (nasihat-nasihat yang menyembuhkan kami, kami pun ikuti itu)
- wa in kanat al-anba’u ‘an kulli kafiri (sekalipun kabar berita datang dari orang-orang kafir).
Syair tersebut di atas dikutip oelh Miguel Asín Palacios dalam artikelnya berjudul “Logia et agraphia domini Jesu apud moslemicos scriptores”, dalam Patrologia Orientalis, Vol. 19 (1926), halam 531-569. Menurut Miguel Asin Palacios, ada banyak sekali kata-kata Isa Al-masih yang ditemukan dalam karya-karya ulama Sufi Arab.
Imam Besar kita, Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, juga banyak meriwayatkan hadis dari Isa Al-Masih. Salah satu contohnya adalah penjelasan kitab Ihya’ Ulumiddin dalam pembahasan Kitab al-Faqr wa al-Zuhd tentang ucapan Isa Al-Masih: “Bi Syiddatin Yadkhulu al-Ghani al-Jannata,” orang kaya akan susah payah masuk surga (Al-Ghazali, Ihya’, jilid, Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2016: 239).
Sungguh tidak mudah bagi umat muslim yang tidak berperilaku dan berpikiran seperti kaum Sufi, terutama menerima keragaman dan hikmah kebijaksanaan dari luar tradisi Islam. Namun, para Sufi telah menjadi berkah dan anugerah bagi kita semua, terutama yang hidup di tengah masyarakat majemuk, sehingga kita punya pegangan dalam berislam sekaligus berkebudayaan.
Imam Junaid al-Baghdadi tidak segan mencontohkan cara berdzikir menggunakan tasbih, padahal tasbih adalah tradisi para rahib, pendeta, dan brahmin. Para sufi juga tidak malu-malu menerima nasihat dari para rahib Nashrani yang kafir, jika itu bisa mengobati hati dari kotoran dosa dan maksiat. Dalam konteks ini, para Walisongo juga melakukan hal yang serupa.
Sunan Kalijaga tidak segan-segan menciptakan Punokawan (Semar, Petruk, Gareng, Bagong) untuk mendakwahkan Islam melalui kesenian Nusantara. Para Walisongo juga tidak segan-segan menyelenggarakan slametan, tahlilan, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan haul. Mereka mengambil tradisi lahiriahnya, dan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya.
Islam para Sufi sejatinya adalah gambaran paling umum tentang arti Islam Rahmatan lil Alamin. Mereka tidak gampang menuduh bid’ah, syirik, dan kurafat kepada kelompok lain. Apalagi sesama muslim. Non-Muslim yang kafir saja, bila memang perilaku dan ucapannya mampu mengobati hati dari kotoran dosa, para Sufi akan menerimanya dengan lapang dada dan tulus.
Itulah alasan mengapa para Sufi sangat berperan besar dalam mengislamkan orang-orang kafir di luar tanah Arab. Para sufi berdakwah (Islamisasi) dengan jalan-jalan kebudayaan, kesenian, dan kearifan lokal. Dengan penuh cinta kasih, bukan kebencian dan permusuhan. Mereka bisa menerjemahkan ke bahasa pribumi berbagai istilah Arab dengan diksi-diksi lokal.
Jabarut, Malakut, Nasut, Lahut, Rahamut, dan lainnya adalah terminologi Aramaik yang diadopsi dalam kitab-kitab berbahasa Arab. Kelak para Walisongo di Nusantara menggunakan kata-kata: Sembah Hyang, Apuwasa, Sekaten, Kaji, Langgar, Kyai dan Santri untuk menerangkan ajaran-ajaran utama Islam serta orang-orang yang belajar Islam. Di tangan para Sufi, Islam berwajah sejuk dan Islamisasi berjalan di atas rel kerukunan, harmoni, dan perdamaian.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.