من لم يعرف قدر النعم بوجدانها عرفها بوجود فقدانها
(الحكم لابن عطاء الله الاسكندرى)
Seringkali kata tasaawuf diasosiasikan sekedar urusan ibadah, dzikir, kedekatan dengan tuhan atau sekedar masalah akhlak (tazkiyatun nafs) yang tidak berhubungan dengan masalah sosial dan politik.
Sejatinya tidak seperti itu, tasawwuf juga bisa dan harus berdimensi sosiologis, ekonomis maupun politis.
Ambil sample tentang term ni’mat dan syukur yang kerap disalah fahami implementasinya dalam kehidupan real.
Apa yang ada pada kita berupa kecukupan hidup, kemudahan usaha mencari rezeki, ada kerjaan, memiliki usaha, bisa beli atau kredit kendaraan, ketenangan, kedamaian dan ketentraman hidup tanpa kekacauan, konflik dan perang, bisa memanjakan diri, hiburan, plesiran ke tempat wisata, jalan jalan, ngopi sambil ngerumpi di warung/kafe dlsb adalah sebentuk ni’mat dari Tuhan yang “wajib” kita syukuri dan jika kita tidak syukuri kita menjadi “kufur” ni’mat dan diancam diberi “azab syadid” oleh Allah.
لئن شكرتم لازيدنكم ولئن كفرتم ان عذابي لشديد
Saat ini kita hidup di Indonesia, negeri cantik dan indah, ibarat sepotong tanah di surga yang dipindahkan ke bumi, negeri beriklim sejuk, hijau dan indah dengan pegunungan dan hutan, sentra sentra ekonomi dan pembangunan tumbuh berjalan normal, masyarakat bisa bekerja mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sistem perdagangan (ekonomi) hidup, plus kondisi kehidupan berjalan damai tanpa konflik dan peperangan tidak seperti di beberapa negara yang dilanda konflik dan kekacauan, dunia Arab, Ukraina, Palestina, Suriah, Irak atau Sudan dll.
Indonesia jauh dari seperti itu, adapun ada kekurangan di sana sini itu sangat alami dan menjadi PR kita semua untuk memperbaiki, masih ada yang miskin, pengangguran, korupsi, abuse of power para pejabat pemerintah, polisi, milter atau hukum, kriminalitas, narkoba dlsb tapi jangan menghancurkan sistem dan tatanan kepemerintahannya.
Ada sebagian orang yang hanya melihat sisi kekurangan (negatif) rezim saat ini dan sama sekali dibutakan dengan berbagai prestasi dan hal positif menjadikan mereka manusia manusia kufur (ni’mat) yang tak mampu sedikitpun jangankan menghargai dan berterima kasih, menyadari beban berat, lelah dan capenya kerja keras orang lain (rezim) saja mereka tak bisa.
Mereka seperti “anak balita manja” yang hanya punya kemampuan berpikir hidup senang bak di surga di mana semua keinginannya harus terpenuhi, terpuaskan, semua harus ada dan menyembah jadi budak dia dan jika tak dipenuhi dia ngamuk, marah marah dambil menyalahkan orang lain brengsek, tak becus, tak mampu mengurus “dan memanjakan” dirinya .
Orang orang seperti ini dalam kepicikan otaknya yang sangat terbatas tak mampu melihat, menghargai serta mensyukuri ni’mat Tuhan yang ada.
Mereka berkilah, mereka menjadi kaum oposan yang mengkritik, memperbaiki dan mengontrol pemerintah sebagai kebebasan prinsip demokrasi yang dilindungi dan dijamin undang undang.
Tidak, mereka bukan menjalankan fungsi oposisi dan kritik sistem demokrasi, mereka tak mampu membedakan antara oposisi dan kritik sebagai mekanisme demokrasi yang dijamin undang undang dengan keburukan akhlak.
Apa yang mereka lakukan bukan mengkritik, bukan menjalankan fungsi demokrasi, tapi yang mereka lakukan adakah ekspresi kerusakan akhlak.
Kritik dan oposisi demikrasi sama dengan konsep Islam mengenai prinsip amar ma’ruf nahyi munkar, prinsip ini bisa dijalankan dengan benar, tidak semaunya apalagi cara cara barbar.
Menghujat, menghina, melecehkan, merendahkan, memfitnah bukan bagian dari amar ma’ruf nahyi munkar, bukan ekspresi kebebasan demokrasi tapi kebusukan akhlak.
Mekanisme kritik dalam sistem demokrasi dijamin undang undang dan memang sudah seharusnya itu dilakukan sebab rezim jika tidak dikritik dan dikontrol cenderung menjadi jahat/disalah gunakan (abuse of power) “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (Lord Acton,1834)
Tapi semua itu harus dilakukan dengan cara baik, benar dan beradab, bukan dengan cara barbar.
Kembali masalah sekelompok orang yang tak mampu mensyukuri ni’mat atas segala kondisi yang ada saat ini di Indonesia, apakah kelompok faham arti syukur yang sebenarnya, bahkan dalam untaian doa kerap dibaca doa dari nabi;
اللهم اجعلني صبورا واجعلني شكورا واجعلني في عيني صغيرا وفي أعين الناس كبيرا.
“Ya Allah, jadikanlah aku orang yang pandai bersabar, bersyukur, jadikanlah aku seorang yang hina menurut pandangan diriku sendiri, dan jadikanlah aku orang yang besar menurut pandangan orang lain”
Lalu ketika ada hadist yang menjelaskan siapa orang yang paling bersyukur, apakah mereka faham dirinya yg tidak bisa bersyukur?
إن أشكر الناس لله عز وجل أشكرهم للناس
“Orang yang paling bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling mampu berterima kasih terhadap manusia”
Betapa tepatnya perkataan Syaikh ibn Athoillah ketika beliau memetakan masalah ini;
“Orang yang tak mampu melihat dan menyadari berbagai ni’mat Tuhan ketika ni’mat itu masih ada, pasti dia akan menyadarinya jika ni’mat itu telah dicabut, lenyap”
Mereka tak mampu menghargai dan mensyukuri ni’mat stabilitas negara, aman dan damai, bisa bekerja dan berusaha, bisa mendapat gaji dari perusahaan, pabrik atau negara, bisa jajan, plesiran, hiburan memanjakan diri dengan aman dan damai, dan jika semua itu dicabut Allah dan kita hidup seperti di beberapa negara timur tengah atau negara yang sedang berkonflik, baru mereka rasakan betapa ni’matnya hidup di Indonesia.
Kebusukan hati, kekotoran jiwa dan kebebalan otaklah yang menjadi sebab utama mereka menjadi mahluk2 kufur (ni’mat).
Tentang menghargai dan berterima kasih atas jasa orang lain, coba resapi sabda nabi
من لم يشكر القليل لم يشكر الكثير، من لم يشكر الناس لم يشكر الله
“Mereka yang tak mampu menghargai, mensyukri dan berterima kasih atas hak yang kecil, jangan harap mereka skan mampu menghargai, mensyukri dan berterima kasih atas hal yang besar, dan Mereka yang tak mampu menghargai, mensyukri dan berterima kasih kepada manusia jangan berharap mereka akan menghargai, mensyukri dan berterima kasih kepada Tuhan”
Jangankan terhadap hal besar, hal2 kecil saja mereka tak bisa menyadari, jangankan Tuhan, manusia mereka tak hargai.
Terakhir, mungkin banyak orang terkondisikan menjadi alim, berilmu termasuk ilmu agama, menjadi tokoh, ust,kyai, pemuka agama atau menjadi ahli ibadah yang kedahsyatan ibadahnya menyamai para wali, tapi……sedikit yang bisa bersyukur.
وقليل من عبادى الشكور
Semoga kita menjadi bagian dari yang sedikit itu, menjadi manusia manusia bersyukur, bukan kufur. Amiin.
Syamsuddin HS, M.Ag, Pengurus DPC PPP Kota Bekasi