Allah SWT berfirman:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا…
_”Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka…”_ (QS. At-Taubah: 103)
Membaca penggalan ayat di atas, ada sebagian pihak yang salah paham. Terutama dalam memaknai kata تطهرهم (membersihkan) dan تزكيهم (mensucikan).
Ilustrasi kesalahpahaman tersebut antara lain misalnya, saya akan merasa nyaman untuk melakukan korupsi, gratifikasi, mark up, manipulasi dan jenis-jenis modus operandi keji lainnya di dalam meraup harta. Toh harta haram yang saya peroleh tersebut dapat dibersihkan dan disucikan sehingga menjadi halal, dengan cara membayar zakat atau shadaqah dari sebagian harta tersebut.
Ilustrasi di atas jelas sebuah miskonsepsi yang fatal. Bisa jadi karena ketidaktahuan. Atau, justru akibat semacam _excuse_ untuk pembenaran diri.
Jika kita telaah, yang dimaksud oleh frasa “membersihkan” dan “mensucikan” adalah membersihkan diri dari noda-noda dosa dan kekikiran dan mensucikan serta mengangkat diri dari kehinaan derajat kemunafikan menuju ke derajat keikhlasan (lihat misalnya: Tafsir Al-Muntakhab dan Tafsir At-Thabariy).
Baginda Rasulullah Saw. pernah bersabda:
لا تقبل صلاة بغير طهور ولا صدقة من غلول (رواه مسلم)
_Tidak diterima shalat tanpa bersuci, juga tidak diterima shadaqah (zakat) yang berasal dari hasil manipulasi._ (HR. Muslim)
Bahkan, lebih detail lagi Rasulullah mewanti-wanti:
ولا يكسب عبد مالا من حرام فينفق فيه فيبارك له فيه، ولا يتصدق به فيقبل منه، ولا يترك خلف ظهره إلا كان زاده إلى النار، إن الله عز وجل لا يمحو السيىء، ولكن يمحو السيىء بالحسن، إن الخبيث لا يمحو الخبيث. (رواه أحمد)
_Jika seorang hamba memperoleh harta dari jalan yang haram, kemudian ia menafkahkannya, maka ia tidak akan diberkati. Jika ia sedekahkan (zakati) harta, maka tidak akan diterima. Jika ia simpan harta itu, maka hanya akan menjadi bekalnya menuju ke neraka. Sesungguhnya Allah menghapus yang buruk (dosa) dengan menggunakan yang buruk (harta yang haram). Namun Allah menghapus yang buruk (dosa) dengan yang baik (harta yang halal). Sesungguhnya yang kotor tidak dapat menghapus yang kotor._ (HR. Ahmad)
Dari sini dapat dipahami bahwa shadaqah, infaq, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya yang kita harapkan dapat membersihkan diri kita, harus berasal dari harta yang halal.
Mungkinkah kita berwudhu dengan air comberan yang kotor, bau lagi menjijikkan?!
Saat berpuasa, kita mampu untuk tidak makan dan minum. Hubungan seksual suami-istri yang halal pun kita jauhi. Dengan puasa, kita terlatih menahan diri bahkan dari yang dihalalkan. Apalagi dari yang diharamkan, tentunya.
Semoga Ramadhan serta paket kurikulumnya dapat mengantarkan kita kembali peduli dan mawas diri dari segala yang haram. Sehingga momentum Idul Fitri dapat kita rayakan secara lebih esensial lagi, berupa komitmen untuk menjaga kebersihan lahir dan merawat kesucian batin ini. Amin.
Oleh: KH. Ade Muzaini Aziz, Lc., MA, Pengasuh Yayasan Al-Mu’in Kota Tangerang