Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Menyiapkan makanan bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadhan adalah salah satu amalan yang baik.
Orang yang memasak dan menyediakan makanan berbuka akan mendapatkan pahala setara mereka yang berpuasa, dan tidak akan mengurangi pahala sendiri. Karena itu, banyak orang berlomba-lomba menyajikan hidangan terbaik dengan memastikan makanan tersebut memiliki cita rasa yang lezat, salah satunya dengan cara mencicipi masakan.
Lantas, bagaimana hukumnya mencicipi makanan saat puasa? Apakah akan membatalkan puasa Ramadan? Ini Penjelasan MUI.
Hukum Mencicipi Makanan saat Puasa
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas mengatakan, mencicipi makanan tidak akan membatalkan puasa asalkan hanya sekedar merasakannya di lidah. Mencicipi makanan bisa membatalkan puasa apabila makanan yang dicicipi sampai tertelan ke kerongkongan.
“Mencicipi makanan kemudian menelannya, maka membatalkan puasa,” ujarnya, sebagaimana dilansir Kompas.com, Sabtu (01/03/2025).
Meski tidak sampai membatalkan, tetapi mengetahui rasa makanan saat sedang puasa hukumnya makruh, terlebih bagi orang yang tidak berkepentingan.
Artinya, mencicipi makanan tidak dianjurkan dan lebih baik dihindari, tetapi tidak akan berdosa apabila dikerjakan.
“Sebaiknya tidak dilakukan, tapi kalau dilakukan juga boleh asal setelah dicicipi lalu dibuang,”
Dalil Mencicipi Makanan Saat Puasa
Para ulama terdahulu telah mengungkapkan berbagai pendapat mengenai persoalan mencicipi makanan saat puasa. Dilansir dari laman Kementerian Agama, menurut mayoritas ulama Syafi’i, masuknya sisa-sisa makanan yang sedikit dan sulit dipisahkan dari mulut tidak membatalkan puasa.
Demikian pula dengan rasa makanan, karena tidak ada wujudnya yang masuk ke rongga perut. Hal Itu, berarti puasa tidak batal jika rasa makanan yang terasa di lidah masih mungkin dibuang atau dikeluarkan. Kesimpulan ini diambil para ulama berdasarkan qaul Ibnu Abbas yang berbunyi:
“Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata, tidak masalah apabila seseorang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak masuk kerongkongan/memakan.” (Musannaf Ibn Abi Syaibah, juz 2, halaman: 304).