Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Dalam penanganan hukum tindak pidana korupsi yang ideal, ditujukan untuk menimbulkan efek jera dan asas manfaat bagi rasa keadilan masyarakat. Bukan untuk kriminalisasi dan justru menghancurkan tata kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun berdasarkan pengamatan, penanganan kasus korupsi oleh Jampidsus Kejaksaan Agung lebih cenderung menggunakan narasi “Mega Korupsi” dengan narasi angka kerugian negara yang sangat besar, fantastis dan bombastis.
Salah satu contohnya, perhitungan kerugian negara Rp 300 triliun dalam kasus “Mega Korupsi Timah”. Namun sayangnya ini lebih menjadi framing kepada masyarakat dan hanya menjadi isu besar untuk membangun keterkejutan persepsi dan kemarahan masyarakat. Menyusul strategi penanganan korupsi melalui pembangunan kasus dan pengembangan persepsi masyarakat ini adalah kasus PERTAMINA dengan rugi 1 tahun Rp. 193,7 Triliun untuk 1 tahun.
Maka kalau delik tempusnya 5 tahun, maka kerugian negaranya bisa lebih fantastis lagi hampir Rp. 1000 triliun. Ini masih dugaan, belum ada perhitungan resmi perhitungan kerugian negaranya tapi sudah di lemparkan secara bombastis.
Kita fokus dulu, untuk kasus timah, di mana bagi kelompok masyarakat berpendidikan yang bijak, “Efek Kejut” dari angka ini bukan saja hanya mengejutkan, tetapi juga menimbulkan banyak pertanyaan mendasar. Contohnya pikiran kritis masyarakat Bangka Belitung saat ini yang menuntut “Kalau memang benar “Uang Korupsi” sebesar itu “nyata dan pasti”, sesuai syarat definisi kerugian negara maka tolong lah Kejaksaan Agung (jampidsus) kembalikan kepada kami untuk membangun Bangka Belitung”. Jangan hanya “tebar pesona” kepada penguasa baru hanya untuk kepentingan pribadi dan pihak tertentu.
“Apakah perhitungan kerugian negara ini berbasis fakta dan metodologi yang benar, atau sekadar konstruksi hukum (case building) untuk membangun narasi “mega korupsi”?
Ada pernyataan Pak Ahok, yang cukup menarik sebagai putra asli kelahiran Bangka Belitung. Ditengah pernyataan dalam menanggapi mengenai kasus pertamina yang akan menjadi kerugian negara bombastis populis terbaru tahun 2025 sebagai aplikasi case building. Dengan gayanya yang selalu berapi-api, iya menyenggol kasus timah dengan menyatakan: (tonton dimenit terakhir bahasan ini https://vt.tiktok.com/ZSMgJrSVn/ )
“Dalam perhitungan kerugian timah… saya gak main timah nih “sorry!!!” Dari jaman Belanda punya kerugian ekonomi dihitung… sampai orang di penjara musti 20 tahun gara-gara seolah-olah kerugian lingkungan dari jaman Belanda dihitung… padahal semua tuh menggarong dibiarkan… ada aparat semua biarkan !!! ….”
Tulisan ini, bertujuan untuk mengetuk hati nurani masyarakat Indonesia pada umumnya serta Mahkamah Agung, Para Hakim dan Para Penegak Keadilan pada khususnya untuk bersikap “Dharmayukti”. Kedepankan secara pandai dan bijak seluruh sikap kita secara hakiki dalam “kebaikan yang nyata” berasaskan kejujuran, kebenaran dan keadilan. Jangan pertanyaan yang sudah diungkapkan sebelumnya terjadi dan menjadi preseden yurisprudensi. Jangan kasus timah ini menjadi “studi kasus negatif penegakan hukum di Indonesia”. Seperti pertanyaan tertinggal, yang kami ungkap dalam tulisan dengan pendekatan berpikir terbalik yang lalu.
“Apakah tata niaga timah benar-benar kasus mega korupsi, atau kita sedang menyaksikan salah satu mega kriminalisasi hukum terbesar dalam sejarah Indonesia?”
Sebagai praktisi dan pengamat hukum, saya selalu belajar dan berupaya selalu mencari dan meresapi arti “hukum” yang sesungguhnya. Berupaya mengungkap fakta-fakta secara “waras” terhadap penerapan hukum yang terjadi, bukan termakan isu-isu berdasarkan opini atau kebencian tanpa fakta sehingga tumbuh “aura negatif” dalam tubuh dan pikiran kita.
Bagaimana Seharusnya Kerugian Negara Dihitung?
Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi harus memahami nilai hakiki dalam “aplikasi hukum” yang diamanatkan UU Tipikor. Persyaratan pemenuhan unsur-unsur pasal secara formil dan materil harus terpenuhi dalam mendakwa dan menuntut. Perhitungan kerugian negara harus diuji dan ditetapkan secara sah oleh instansi berwenang. Nilainya harus bersifat nyata dan pasti. Pelaksanaannya mengacu pada prinsip hukum yang jelas, antara lain:
- Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Perseroan Terbatas, terutama karena PT Timah merupakan anak perusahaan BUMN yang tunduk pada mekanisme tata kelola perusahaan.
- Prinsip due process of law, di mana perhitungan harus dilakukan secara transparan, berbasis bukti konkret, dan dapat diuji dalam persidangan.
- Kewenangan instansi yang berhak menghitung kerugian negara, yang seharusnya dilakukan dengan audit investigasi yang independen dan atau dilengkapi dengan audit forensik bukan sekadar berdasarkan permintaan penyidik dengan menggunakan asumsi dan data sepihak.
Dalam kasus ini, apakah perhitungan kerugian negara yang disampaikan sudah memenuhi standar tersebut?
Membedah Angka Rp 300 Triliun: Fakta atau Asumsi?
Berdasarkan informasi yang beredar, perhitungan kerugian negara dalam kasus ini dibagi menjadi dua komponen utama:
- Kerugian lingkungan Rp 271 triliun, perhitungan ini bukan angka nyata, melainkan hanya potensi kerugian.
• Kerusakan lingkungan akibat tambang seharusnya tidak otomatis dihitung sebagai kerugian negara sebelum ada audit final, terutama karena tambang masih dalam proses produksi dan reklamasi membutuhkan waktu.
• Jika pendekatan ini diterapkan, apakah berarti semua pertambangan, termasuk yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), harus langsung dianggap merugikan negara? - Kerugian keuangan negara Rp 29 triliun, berasal dari asumsi sepihak penyidik Kejagung sebesar Rp 26,7 triliun berasal dari pembayaran bijih timah yang dianggap ilegal. Tanpa mempertimbangkan, hal-hal sebagai berikut:
• Namun, instansi berwenang seperti Dirjen Minerba Kementerian ESDM dan Kepolisian tidak pernah menyatakan bahwa program kemitraan PT Timah menghasilkan bijih timah ilegal.
• Bijih timah yang dibeli PT Timah sudah diproses, dijual dalam bentuk logam, dan menghasilkan pendapatan bagi perusahaan. Dan besar laba operasi dari tahun 2015 sampai 2022 selalu diatas Rp. 1 triliun.
• Dari data laporan keuangan audited, terlihat bahwa pendapatan penjualan logam timah, PT Timah Tbk adalah sebesar Rp 6,548 triliun (2015), Rp 6,630 triliun (2016), Rp 8,432 triliun (2017), Rp 9,746 triliun (2018), 17,726 triliun (2019), Rp 13,916 triliun (2020), Rp 12,930 triliun (2021), Rp 9,781 triliun (2022) atau selama periode 2015-2022 mencapai sebesar 85,22 trilun.
• Sedangkan laba operasi selama tempus perkara sebesar Rp 686 miliar (2015), Rp 1,095 triliun (2016), Rp 1,526 triliun (2017) , Rp 1,074 triliun (2018), Rp 1,114 triliun (2019), Rp 1,120 triliun (2020), Rp 3,439 triliun (2021), dan Rp 2,526 triliun (2022) atau selama periode 2015-2022 yang dijadikan delik tempus perkara memperoleh laba operasi sebesar Rp 12,61 triliun.
• Dari transaksi tersebut difakta persidangan, Emil Ermindra mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk yang juga menjadi salah satu terdakwa, mengungkapkan bahwa pada tahun 2019 pada PT Timah Tbk membuku rugi Rp 611 Miliar, tetapi negara justru menerima royalti sebesar Rp 1,2 triliun sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan belum lagi penerimaan pajak-pajak terkait lainnya.
• Berdasarkan data dari website resmi PT. timah dapat dilihat selama delik tempus perkara, PT Timah Tbk membayar pajak dan royalti (PNBP) kepada negara sebesar Rp 438,416 Miliar (2015), Rp 724,785 Miliar (2016), Rp 873,752 Miliar (2017) Rp 818,7 miliar (2018), Rp 1,2 triliun (2019), 677,9 miliar (2020), Rp 776,657 miliar (2021) dan Rp 1,51 triliun (2022). Dengan demikian selama tempus perkara PT Timah Tbk membayar Pajak dan Royalti sebesar Rp 7,021.Jika bijih timah dianggap ilegal, apakah hasil ekspornya juga dianggap ilegal? Mengapa negara tetap menerima royalti (PNBP) dan pajak dari transaksi ini? - Rp 2,3 triliun berasal dari dugaan pembayaran sewa alat yang dianggap terlalu mahal.
• Tidak ada bukti nyata dan standar baku yang jelas mengenai “kemahalan” ini.
• Sewa smelter merupakan pengadaan katagori pengadaan “biaya operasional”.
• Sebagai perusahaan yang tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas, PT Timah menjalankan transaksi bisnis berdasarkan mekanisme pasar dan keputusan korporasi.
Harga pokok produksi (HPP) dari perolehan logam kerja sama smelter dibandingkan dengan biaya Unit Mertalurgi di Mentok milik PT Timah Tbk. Angka ini, secara indikator manajemen kinerja adalah besar seluruh biaya yang dikeluarkan unit setahun dibagi jumlah volume logam yang dihasilkan adalah 900 – 1200 per MT. Ini seperti membandingkan apel dan jeruk, sama-sama buah tetapi berbeda.
Ternyata terungkap di persidangan bahwa sebenarnya, di PT. Timah Tbk pada tahun 2017 Harga Pokok Produksi (HPP) logam sebesar USD 6300 per Metrik Ton (MT) logam timah bila di produksi di smelter sendiri karena biaya tetap pada Direktorat Operasi dan Produksi sangat besar. Jadi sewa alat processing smelter swasta yang besar USD 3700 – 4000 per MT logam lebih murah kan.
Atau karena masalah ini debatable dan jika biaya sewa ini kita dianggap benar terlalu tinggi, bukankah ini lebih merupakan persoalan efisiensi bisnis, bukan persoalan kerugian negara dalam konteks tindak pidana korupsi?
Dari hasil pembedahan dan jika ditelaah lebih lanjut, kesimpulannya penetapan angka Rp 300 triliun sebagai kerugian negara lebih banyak bersandar pada asumsi daripada fakta konkret yang dapat dibuktikan di persidangan.
Kejaksaan Agung dan Pola Case Building
Dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan Agung memiliki kewenangan yang semakin besar dalam penanganan kasus korupsi, mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Sayangnya, dalam praktiknya, pola case building lebih dominan daripada fact finding.
Sampai-sampai mengalahkan kinerja Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga khusus yang dibangun dalam penanganan kasus korupsi. Kenapa ya? Apa mungkin karena KPK lebih mengandalkan pendekatan “fact finding” dan “operasi tangkap tangan”.
Jadi perhitungan kerugian negara dalam kasus yang ditangani KPK jarang yang besar hanya “miliaran” hampir tidak ada yang “triliunan”. Apa karena KPK lebih fokus pada penangan korupsi yang kerugian negaranya nyata dan pasti bukan potensi?
Semakin besar angka yang diklaim sebagai kerugian negara, semakin kuat efek kejutnya di publik. Semakin tinggi nilai kerugian, semakin mudah membangun narasi “mega korupsi”. Namun jangan sampai, ketika angka ini harus dibuktikan di persidangan, justru penyidik yang kebingungan membuktikan dan mencari dasar hukumnya.
Secara pengamatan dengan hadir dipersidangan kasus timah yang terbuka untuk umum, kecenderungan ini semakin terlihat dalam proses peradilan kasus PT Timah di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat:
- Karena besar, kompleks dan masih lemahnya alat bukti dalam perkara yang dikonstruksikan, dibuat dakwaan sama antara satu terdakwa dengan terdakwa lainnya tetapi persidangan menggunakan pendekatam splitsing.
- Untuk pembenaran pembangunan kasus, maka dalam tahap penuntutan banyak Jaksa Penyidik yang dialih-tugaskan jadi Penuntut Umum.
- Jumlah penuntut umum yang dihadirkan lebih banyak dari jumlah Majelis Hakim yang hadir (3 – 5 orang) bahkan dari jumlah Penasihat Hukum terdakwa, yang setiap terdakwa didampingi 2 – 3 Orang.
- Dari waktu yang ada. 70 persen waktu persidangan dipakai oleh Penuntut Umum dan sisanya 30 persen waktu untuk Majelis Hakim, Penasihat Hukum dan Terdakwa.
- Karena kurangnya pengetahuan dan kompetensi dibidang Manajemen Pertambangan Timah, maka Penuntut Umum menggunakan metode “Poco-Poco” dengan menari “senggol kiri dan senggol kanan”, “putar kekiri dan putar kekanan” menyesuaikan dakwaan sesuai kebutuhan.
• Jika jawaban saksi fakta di persidangan tidak sesuai yang diinginkan atau berbeda dengan BAP segera diganti dengan pertanyaan statement: “Jadi jawabannya sudah benar dan dituangkan semuanua dalam BAP anda yang !?”. Atau terlihat marah dan mengancam seolah-olah saksi fakta memberikan kesaksian palsu dalam BAP nya karena merubah kesaksian di persidangan.
• Jika unsur melawan hukum sulit dibuktikan, maka delik disesuaikan agar tetap bisa menjerat terdakwa.
• Jika perhitungan kerugian negara terlalu lemah, angka diubah atau dimodifikasi agar tetap terlihat besar. Dan atau tidak dibahas mendalam, b dianggap benar dan terbukti.
Majelis hakim pun akhirnya ikut bingung serta ter-framing dengan opini politik dan opini publik yang dibangun. Putusan pidana utama dijatuhkan secara klastering. Untuk kasus timah, ada 5 klaster, yaitu klaster pejabat pemerintah, klaster pejabat BUMN, klaster pemilik smelter swasta dan klaster pejabat smelter swasta.
Sedangkan metode untuk pidana tambahan uang pengganti digunakan “besar uang pengganti sebesar omzet”. Pendekatan ini, menetapkan nilai kerugian keuangan negara berdasarkan total transaksi, bukan berdasarkan uang yang benar-benar merugikan negara dan atau diterima oleh masing-masing terdakwa dari hasil korupsi. Bahkan ada penetapan uang pengganti seolah olah terdakwa mengalihkan harta hasil korupsi ke orang lain yang tidak dituntut sesuai pasal 5 Perma No. 5 tahun 2014 tanpa didukung pembuktian.
Dampak terhadap Dunia Usaha dan Kepastian Hukum
Dalam kasus ini, pada kenyataannya bijih timah dan atau logam telah diserahkan dan diterima oleh PT Timah TBK. Kemudian telah dijual, dan menghasilkan pendapatan ekspor bagi PT Timah. Pemerintah juga menerima PNBP dan pajak dari transaksi tersebut. Jika demikian, di mana kerugian negara yang sesungguhnya? Siapa yang memakan uangnya?
Para pihak dan atau aparat penegak hukum haruslah bijaksana. Kasus ini bukan hanya berdampak negatif pada PT Timah Tbk dan para terdakwa, tetapi juga menjadi preseden buruk bagi kepastian hukum di Indonesia.
- Jika framing lebih kuat daripada fakta, maka siapa pun bisa dikriminalisasi.
- Jika perhitungan kerugian negara tidak transparan, dunia usaha tidak akan merasa aman dalam berinvestasi.
- Jika angka kerugian negara bisa ditentukan sesuka hati, maka tidak ada kepastian bagi pelaku bisnis dalam menjalankan usaha yang sah.
Mahkamah Agung Harus Berani Meluruskan (Dharmayukti)
Kasus ini menjadi ujian besar bagi Mahkamah Agung. Jika framing angka kerugian Rp 300 triliun dibiarkan kontroversi tanpa meluruskan dengan pembuktian yang transparan dan objektif. Maka ini akan menjadi preseden yang berbahaya. Ini menjadi PR besar untuk para Hakim Agung di Mahkamah Agung karena Majelis Hakim Tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Jakarta menggunakan pendekatan ultra petita, dengan pertimbangan populis meng-entertain tekanan politik dan opini publik.
Entah “Bola yang diumpan” atau sebenarnya “Monyet yang lempar” ke atas oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ke Mahkamah Agung.
Program reformasi hukum era Presiden Prabowo, masyarakat cendikiawan pendukung keadilan, bahkan para terdakwa beserta istri, anak-anaknya berharap dan menanti keadilan terang benderang dan ditegakkan.
- Apakah Mahkamah Agung akan membiarkan angka bombastis ini menjadi kebenaran yang dipaksakan?
- Ataukah Mahkamah Agung akan berdiri di atas prinsip keadilan dan memastikan bahwa hukum ditegakkan berdasarkan bukti, bukan sekadar asumsi dan tekanan publik?
Sekali lagi, sebagai penutup penulis ungkapkan sebagai pengamat dan praktisi hukum mewakili harapan murni mewakili seluruh rakyat Indonesia pada umumnya dan terdakwa dan keluarganya pada khususnya, para Hakim Agung di Mahkamah Agung Republik Indonesia menjadi “SANG PENGADIL DHARMAYUKTI”. Akhir kata, dibulan ramadhan yang penuh berkah ini ijinkan saya mengutip sedikit dari nasihat islami berikut:
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
“Wahai para hakim, janganlah kalian memutuskan perkara karena tekanan manusia, sebab sesungguhnya Allah lebih berhak untuk kalian takuti.” (HR. Baihaqi No. 20214)
Melihat rata-rata sangat tingginya putusan banding yang diambil oleh Pengadilan Tinggi untuk para terdakwa kasus timah, saya mengira dan yakin, mereka pasti akan melakukan upaya hukum kasasi untuk memohon keadilan. Semoga ALLAH SWT, memberikan keyakinan dan kekuatan hati kepada Para Hakim Agung untuk memberikan putusan dalam proses kasasi para terdakwa kasus timah yang memenuhi asas proposional dan berkeadilan.
Sejarah penegakkan hukum di Indonesia kedepan mencatat dan menuntut keberanian dan tekad Mahkamah Agung untuk membebaskan diri dari “jebakan tekanan politik dan tekanan publik”. Putusan para Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung yang bijak penuh kebenaran, kejujuran dan keadilan (Dharmayukti) dalam meluruskan dan menegakkan kasus ini sangat diharapkan.
Kepastian hukum dan keadilan akan tertegakkan menunjang pembangunan nasional melalui pembangunan keyakinan berinvestasi dalam membangun usaha dan bisnis di Indonesia, baik oleh para pejabat negara, pimpinan BUMN, para investor swasta domestik maupun investor asing. (GD)
Jidin Siagian S.H.,M.H., (Pengamat Hukum)
my blog acheter des billets contrefaits