Jakarta | LIPUTAN9NEWS
KH. Imam Jazuli yang saya kenal bukanlah kiai biasa. Ia memang sederhana dalam penampilan—sering hanya bersarung dan mengenakan kaos oblong putih di pondok—tapi di balik kesahajaannya tersimpan visi besar: membangun peradaban pendidikan pesantren yang terintegrasi dengan sistem pendidikan modern kelas dunia. Saya mengenalnya bukan dari majelis taklim atau forum seminar, melainkan dari sebuah grup WhatsApp. Grup itu bukan grup biasa. Di sana, perdebatan tentang NU, PKB, politik, dan masa depan umat seringkali berlangsung sengit. Dan di tengah percakapan yang seringkali memanas, tulisan-tulisan KH. Imam Jazuli selalu hadir dengan tajam, runut, dan inspiratif.
Maklum, beliau adalah lulusan Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo-sebuah kampus dengan tradisi intelektual yang panjang. Tapi yang membuat saya lebih kagum bukan hanya kecerdasan atau retorikanya, melainkan laku hidupnya yang penuh tirakat. Beliau mendidik para santri tidak hanya dengan ilmu dan logika, tetapi juga dengan laku spiritual: dari puasa selama tiga tahun hingga wirid harian Dalail Khairat yang menjadi tradisi di pondoknya.
KH. Imam Jazuli menempuh pendidikan di pesantren-pesantren legendaris: Al-Ishlah Bobos, MTM Kempek, hingga Lirboyo Kediri. Perjalanan keilmuannya kemudian berlanjut ke Kairo dan Malaysia, menjadikannya pribadi yang kaya secara spiritual, matang secara intelektual, dan terbuka secara budaya. Ia tidak hanya membaca kitab kuning, tetapi juga membaca zaman.
Visi besar itu kemudian diwujudkan dalam bentuk lembaga pendidikan: Pesantren Bina Insan Mulia (BIMA), dan kini, inovasi terbarunya—Pesantren VIP Bina Insan Mulia 2 (BIMA 2)—menjadi eksperimen pendidikan Islam paling futuristik yang pernah saya jumpai.
BIMA 2 bukan sekadar pesantren modern. Ia adalah ekosistem pendidikan berbasis pesantren yang dibangun dengan manajemen setara hotel berbintang. Bayangkan, sebuah pondok pesantren menunjuk mantan General Manager Sheraton Hotel sebagai pengelolanya. Gedung-gedungnya dirancang seperti resort, dan ruang kelasnya menggunakan sistem “Smart Class” dengan teknologi pendidikan dari Australia dan Singapura.
Namun semua itu tidak menghapus ruh pesantren: kitab kuning, wirid, adab kepada guru, serta akidah Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah tetap menjadi pondasi utama. KH. Imam Jazuli memadukan dua kutub ini—tradisi dan modernitas—dengan elegan.
Politik Sarana Dakwah dan Kedaulatan Islam
Yang membuat saya semakin terkesan adalah pandangannya tentang pentingnya melek politik bagi warga Nahdliyin. Dalam berbagai pidatonya, KH. Imam Jazuli sering mengingatkan bahwa kekuatan politik adalah faktor penting dalam menentukan arah dakwah Islam. Ia mencontohkan bagaimana Universitas Al-Azhar di Mesir dulunya pernah dikuasai oleh kalangan berpaham Syiah. Namun, ketika kekuasaan bergeser dan kalah dalam gelanggang politik, mereka tersingkir, dan Al-Azhar akhirnya berubah menjadi benteng Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dan, bagi beliau, sejarah bukan untuk dikenang, tapi untuk dibaca sebagai pelajaran strategi dakwah. Karena itu pula, dalam banyak kesempatan ia mengangkat kisah Walisongo, yang tidak hanya berdakwah lewat pendekatan budaya, tetapi juga memiliki visi politik besar: mendirikan kerajaan-kerajaan Islam sebagai basis kekuasaan yang mempercepat penyebaran Islam secara massif. Islam tidak menyebar hanya karena tabligh, tapi juga karena strategi kekuasaan yang cerdas.
KH. Imam Jazuli memahami bahwa dalam konteks Indonesia modern, kekuasaan bukan berarti rebutan jabatan, tapi pengaruh terhadap sistem dan kebijakan. Karena itu, ia mendidik santri bukan hanya agar fasih membaca Fathul Mu’in, tetapi juga cakap berbicara di forum global, memahami konstelasi geopolitik, dan tak buta arah dalam dinamika demokrasi.
Pernyataan beliau bahwa “pendidikan adalah jalan membangun peradaban” bukan sekadar slogan. Di bawah kepemimpinannya, BIMA telah melahirkan ratusan alumni yang melanjutkan studi ke luar negeri: Mesir, Maroko, Tunisia, Turki, bahkan Eropa. Model pendidikannya mencerminkan semangat pendidikan transformatif ala Paulo Freire, di mana santri bukan sekadar penerima doktrin, tetapi agen perubahan.
Tirakat dan Perlawanan Sunyi
Namun di atas semua pencapaian itu, yang paling membekas bagi saya adalah kesetiaan KH. Imam Jazuli pada dunia tirakat. Di saat banyak orang mengejar popularitas, beliau justru memilih jalan sunyi. Hidup sarungan, memimpin pondok tanpa banyak gimik, dan tetap istiqamah membimbing santri menjalani laku spiritual. Puasa tiga tahun bukanlah syarat eksklusif, tapi cara menempa jiwa. Dalail Khairat bukan wirid tempelan, tapi bagian dari napas kehidupan pondok.
KH. Imam Jazuli telah membuktikan bahwa perubahan besar tidak selalu datang dari pusat kekuasaan, tapi bisa dimulai dari sudut sunyi di kaki Gunung Ciremai. Dengan tirakat, ilmu, dan visi, beliau tengah menyiapkan generasi NU yang tak hanya mapan secara spiritual, tapi juga tangguh secara intelektual dan berdaya secara politik.
Dan saya percaya, dari pesantren ini akan lahir pemimpin masa depan: santri-santri yang mampu menjaga tradisi, menguasai teknologi, dan bijak dalam membaca arah zaman.
KH. Imam Jazuli adalah kombinasi langka antara intelektual, spiritualis, organisator, dan dermawan. Ia menulis buku dan artikel dengan tajam, tapi tetap sarungan dan ngaji dengan santri seperti biasa. Ia mendidik santri agar melek kitab, tapi juga melek geopolitik dan media sosial.
Dalam dirinya, pesantren bukan sekadar lembaga, tapi medan dakwah dan basis perubahan. Dan santri bukan sekadar murid, tapi calon pemimpin peradaban.
Tentang Penulis: Yusuf Mars adalah Magister Ilmu Komunukasi Politik, Founder @PadasukaTV, Channel Youtube Sosial Politik dan Keagamaan dan Inisiator Indonesia Terang. Pemerhati Komunikasi politik dan kebijakan publik.