Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Dalam sejarah panjang Islam Nusantara, tak banyak narasi yang benar-benar mampu mengguncang sendi keagamaan secara mendasar. Salah satu yang kini mencuat adalah soal nasab Ba‘alawi—klaim garis keturunan yang dipercaya bersambung langsung ke Nabi Muhammad SAW melalui Sayyidina Husain. Dalam tradisi arus utama, klaim ini bukan cuma silsilah darah, tapi menjadi simbol otoritas, dan legitimasi sosial yang nyaris tak tergugat.
Saya bukan akademisi, hanya seorang podcaster yang kebetulan punya ruang berdiskusi di kanal YouTube @PadasukaTV. Tapi dari ruang digital ini, saya berjumpa dengan suara-suara yang jarang mendapat tempat di forum resmi. Salah satunya: Kiai Imaduddin Utsman al-Bantani, ulama muda yang dengan keberanian luar biasa mengkritik klaim nasab Ba‘alawi—bukan dengan emosi, tapi lewat pendekatan ilmiah dan historis yang tajam.
Lewat berbagai obrolan panjang kami, saya menyaksikan bagaimana Kiai Imad tak sekadar mengusik keyakinan lama, tapi menawarkan pembacaan ulang yang lebih jujur dan terbuka. Ia menunjukkan bahwa klaim nasab, seperti Ba‘alawi, tak pernah luput dari celah sejarah dan perlu diuji secara ilmiah. Tapi sayangnya, di tengah masyarakat yang sudah terlanjur “menyakralkan” keturunan, kritik seperti ini dianggap menghina dzurriyah Nabi.
Pada titik ini, pemikiran Kiai Imad selaras dengan konsep “regime of truth” yang diperkenalkan oleh Michel Foucault, filsuf asal Prancis, yang menjelaskan bahwa kebenaran dalam masyarakat tidak pernah netral, melainkan selalu merupakan hasil konstruksi relasi kuasa.
Kritik ini juga bisa dibaca lewat kacamata Antonio Gramsci, yang melihat hegemoni bukan cuma soal dominasi fisik, tapi tentang penguasaan makna dan cara pandang. Klaim keturunan jadi semacam “akses eksklusif” terhadap mimbar keagamaan, sementara mereka yang memiliki kapasitas keilmuan dan kontribusi nyata, namun tidak memiliki nasab, sering kali menghadapi keterbatasan akses terhadap ruang-ruang otoritas keagamaan.
Sebagai orang media, saya melihat perjuangan ini sebagai bagian dari pembaruan yang penting. Islam Nusantara tak boleh terus terjebak dalam glorifikasi simbolik. Kita butuh pembaruan yang berani membuka ruang berpikir, menimbang ulang otoritas dengan jujur dan terbuka.
Dalam setiap sesi podcast bersama Kiai Imad, saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jadi perenungan kita Bersama. Pertama; Sejauh mana warisan nasab dijadikan legitimasi sosial-politik, bukan sekadar inspirasi moral? Kedua; Apakah simbol-simbol “suci” boleh dikritik secara ilmiah dalam tradisi kita? Ketiga; Mampukah otoritas keagamaan dibangun atas dasar kompetensi, bukan semata klaim keturunan? Keempat; Beranikah kita membayangkan Islam Nusantara yang lebih terbuka dan inklusif?
Saya tidak mengajak umat untuk membenci siapa pun. Saya hanya mengajak untuk berpikir. Sebab, sebagaimana ditegaskan Jacques Derrida—filsuf asal Aljazair yang dikenal dengan teori dekonstruksi—setiap sistem makna, termasuk yang dibalut oleh klaim sakralitas, selalu menyimpan kemungkinan untuk ditinjau ulang dan dibongkar secara kritis. Dalam konteks ini, pemikiran Kiai Imad merupakan upaya dekonstruktif bukan untuk meruntuhkan nilai-nilai keagamaan, tetapi untuk membuka ruang bagi tafsir yang lebih adil, rasional, dan inklusif dalam kehidupan beragama kita.
Sebagai catatan terakhir, dalam khazanah fiqih, dikenal kaidah al-maslaha muqaddamah ‘ala al-mafsadah—kemaslahatan didahulukan atas kemudaratan. Maka membuka ruang ijtihad, berpikir kritis, dan mengkaji ulang warisan keagamaan bukanlah bentuk penistaan, tetapi bagian dari ikhtiar merawat agama agar tetap hidup dan relevan. Melalui ruang digital dan percakapan yang jujur, kita berharap Islam Nusantara tumbuh sebagai peradaban yang tidak hanya menjunjung adab dan tradisi, tetapi juga keberanian menimbang ulang, demi keadilan dan kemaslahatan yang lebih luas.
***
Tentang Penulis: Yusuf Mars adalah Lulusan Magister Ilmu Komunukasi Politik Universitas Paramadina, Founder @PadasukaTV, Channel Youtube Sosial Politik dan Keagamaan. Pemerhati Komunikasi politik dan kebijakan publik