Entah definisi apa yang akan kita pakai untuk memaknai kata “kesambet”. Cak Nun bilang peristiwa yang dirasuki sesuatu dari Allah. Tapi kata kamus lain lagi; sakit dan mendadak pingsan karena kemasukan roh halus. Novelis Margaret Atwood pernah menggambarkan “kesambet” dalam “Moral Disorder” sebagai rasa putus asa yang membuat semua mimpi buruknya berusaha dipertarungkan di alam nyata.
Memang banyak tafsir yang tersedia meski kata “kesambet” belum tentu tuntas untuk disandingkan dengan peristiwa apapun. Bahkan Cèsar Malan menceritakan Nabi Adam sekedar “kesambet” ketika memakan buah Khuldi dan melanggar wanti-wanti Tuhan. Kata Malan dalam The Book Adam and Eve, “kesambetnya” Adam jelas bukan dari Tuhan, terbukti Tuhan menghukum Adam dan anak-cucunya agar turun telanjang ke muka Bumi. Dari sini mungkin Cak Nun salah, “kesambet” itu bukan dari Tuhan.
Kata Malan, konsekwensi dari “kesambetnya” Adam inilah yang akhirnya mewarisi manusia hari ini sebagai mahluk yang mudah “kesambet”. Melihat kesimpulan ini, mungkin saja Cak Nun benar. Dia betulan sedang kesambet ketika mengatakan Jokowi adalah Fir’aun. Lalu dia minta maaf. Ada catatan: perlu kita pertanyakan juga, apakah apologi itu dilakukan ketika “kesambet” sudah selesai, atau jangan-jangan dia belum siuman hingga hari ini.
Makna “kesambet” kemudian menjadi sumir. Tanda tanya menjadi hidup. Ada upaya disrupsi ontologis yang berusaha dibangun Cak Nun, tapi diselesaikan dengan pemaknaan secara epistemologis yang salah. Kata “kesambet” tidak menuntaskan banyak pertanyaan.
Cak Nun mungkin lupa, bahwa manusia biasa seperti kita yang sering “kesambet” ini adalah juga “Fir’aun-Fir’aun moderen” yang kadang secara totaliter gemar melabel orang lain yang tidak disukai sebagai Fir’aun. Fir’aun yang menuding Fir’aun.
Islah Bahrawi, Tenaga Ahli Pencegahan Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme Mabes Polri.