Semua bermula pada dekade akhir tahun 70-an, ketika Uni Soviet menyerang untuk menguasai Afghanistan. Pakistan adalah wilayah terdekat yang bisa dijadikan sebagai “rumah singgah” bagi ribuan Jihadis dari banyak negara Muslim untuk melakukan peperangan melawan penetrasi Uni Soviet ke Asia Selatan. Diorganisir oleh Amerika Serikat, didanai oleh Saudi dan difasilitasi oleh Pakistan, para pejuang yang kemudian bernama Mujahidin itu menjadikan Pakistan sebagai melting pot dari berbagai kelompok militan Islam di dunia. Adalah Perdana Menteri Zia ul-Haq yang mengubah trajektori politik Pakistan sejak 1979. Haq berkuasa 11 tahun, namun dia banyak melakukan perubahan di dalam dunia hukum dan politik Pakistan; seperti mengubah sebagian UU kolonial ke dalam hukum Islam (hudud) dan juga berbagai diskriminasi terhadap kelompok minoritas serta gerakan Islamisme secara terbuka.
Bagi Amerika Serikat dan Saudi, situasi itu adalah peluang. Mereka menjadikan Islamabad sebagai halaman depan sedangkan Kabul adalah halaman belakang. Secara politik, Amerika berusaha mempertahankan hegemoninya dari pengaruh Uni Soviet, sedangkan secara ideologis Saudi berkepentingan untuk menjejalkan Wahabisme ke seluruh negara Islam – dua hal tersebut bertemu di Pakistan dan episentrum itu kemudian ditakdirkan berada di Pakistan. Semua kendali operasi berada di bawah CIA dan ISI (Inter-Services Intelligence – badan intelijen Pakistan), sementara peran Saudi adalah membiayai importasi Jihadis dengan memanfaatkan jaringan gerakan Wahabisme di seluruh dunia. Dari sini terlahir berbagai organisasi radikal yang menjadi embrio gerakan terorisme global berbasis Wahabisme-Salafisme, seperti Al-Qaida, Taliban, Lashkar at-Thaiba dan ISIS. Pasca re-eksportasi kelompok Mujahidin itu kelak juga membentuk banyak organisasi militan Islam lokal di negara masing-masing seperti Abu Sayyaf di Filipina, BRN-C di Thailand, JI dan JAD di Indonesia, Al- Shabaab di Somalia serta Boko Haram di Nigeria.
Berbicara soal Pakistan dengan sendirinya kita harus melihat sisi historis dari pergulatan politik Islam di Asia Selatan. Meski memisahkan diri dari India karena faktor agama, Pakistan pada dasarnya adalah negara dengan berbagai perbedaan di dalamnya. Muhammad Ali Jinnah, bapak pendiri Pakistan berucap dalam pidato pertamanya; “kalian bebas untuk beribadah sesuai keyakinan kalian kemana pun, ke gereja, kuil atau masjid”. Selaku presiden saat itu, Ali Jinnah menempatkan Menteri Kehakiman dari penganut Hindu dan Menteri Luar negeri dari penganut Ahmadiyah. Tapi itu tidak lama. Setahun setelah kemerdekaan Pakistan, Ali Jinnah meninggal pada tahun 1947. Di bawah penggantinya, perdana menteri Ali Khan, melalui proses persidangan di parlemen memutuskan bahwa Pakistan adalah milik umat Islam, dengan pertimbangan penganut agama lain berhak untuk hidup di Pakistan sebagai kelompok minoritas. Dan setelah itu persoalan pluralitas di Pakistan berlangsung sangat dinamis dengan kerentanan terhadap konflik primodial yang selalu saja muncul dalam setiap pergantian kekuasaan. Sejak itu juga isu Islamisme menjadi komoditas politik dalam memperoleh dukungan elektoral, yang selalu dimunculkan dalam upaya menyerang lawan politik masing-masing. Kelompok-kelompok militan Islam kemudian dibentuk dan dikonstruksi dengan berbasis kepentingan politik atas inisiasi berbagai kalangan, mulai dari perdana menteri, politisi, militer, hingga lembaga intelijen. Berbagai organisasi Islam itu dijadikan alat untuk membenturkan satu sama lain demi mewujudkan kontrol dan penguasaan elektoral.
Tapi semua itu ternyata berjalan tidak sederhana. Pada era Zia ul-Haq kelompok-kelompok Islam semakin berkembang menjadi bola liar. Muhammad Zia-ul-Haq adalah seorang jenderal bintang empat Pakistan yang menjabat sebagai Presiden ke-6 dari tahun 1978 hingga kematiannya pada tahun 1988. Haq merebut kekuasaan dari Zulfikar Ali Bhutto dalam kudeta yang mengejutkan pada tanggal 5 Juli 1977, kemudian mengangkat dirinya menjadi kepala administrator darurat militer untuk mengamankan posisinya sebagai kepala staf Angkatan Darat. Dia memperkuat cengkeramannya di dalam tubuh pemerintah setelah Bhutto yang populer dihukum gantung atas tuduhan percobaan pembunuhan pada tahun 1979. Meskipun orang-orang yang mendukungnya – mayoritas sayap kanan – menyebutnya sebagai “pahlawan” yang telah menyelamatkan orangorang Islam dari serangan Uni Soviet yang meluas di kawasan Asia Selatan pada saat itu, namun bagi kaum moderat Haq disalahkan atas masuknya berbagai kelompok fundamentalis dan militansi Islam ke Pakistan yang tidak bisa dibendung hingga sekarang. Sejak Haq berkuasa pada tahun 1977, dia selalu menggunakan agama sebagai alat untuk mendapatkan dukungan elektoral dan menghukum siapa pun yang berani menyerangnya atas nama hukum agama.
Pada 17 Agustus 1988, Jenderal Zia-ul Haq bersama dengan pejabat tinggi militer dan dua diplomat Amerika, tewas dalam kecelakaan pesawat yang tidak pernah diketahui penyebabnya di kota Bahawalpur, Pakistan bagian timur. Ironisnya Zia ul-Haq ternyata meninggalkan sebuah “warisan”. Setahun sebelum meninggal, dia membidani secara rahasia lahirnya kelompok militan Islam berbasis Wahabi-Salafi bernama Lashkar at-Thaiba. Organisasi itu didirikan melalui tangan Hafiz Saeed, seorang yang sangat populer di kalangan sayap kanan, serta Abdullah Azzam, seorang ideolog yang melakukan glorifikasi Jihad dalam bukunya yang banyak beredar di kalangan teroris global; Tarbiyah Jihadiyah. Lashkar at-Thaiba inilah yang hingga sekarang menjadi organisasi teroris paling menakutkan di kawasan Asia Selatan, Asia hingga ke Eropa. Ia seringkali menjadi political toy, alat permainan politik bagi beberapa pemimpin sesudah Haq, seperti Benazir Bhutto dan Pervez Musharraf.
Wahabisme-Salafisme
Lashkar at-Thaiba atau “Tentara yang Murni” adalah sayap militan Markaz ad-Dawa wal-Irshad, sebuah organisasi Islamis yang dipengaruhi oleh sekte Wahabisme-Salafisme. Ia bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyyah) di seluruh anak benua India dan Asia Selatan. Meskipun berbasis di Pakistan, Lashkar at-Thaiba awalnya beroperasi di negara bagian Jammu dan Kashmir yang merupakan bagian dari wilayah India, tetapi pada dekade pertama abad ke-21 kelompok ini telah memperluas jangkauannya lebih jauh hingga ke India. Jammu dan Kashmir adalah wilayah sengketa antara India yang sebagian besar beragama Hindu, dengan Pakistan yang sebagian besar Muslim. Perselisihan itu lalu memunculkan banyak kelompok bersenjata di Jammu dan Kashmir yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Salah satu kelompok terbesar yang beroperasi di Jammu dan Kashmir adalah Lashkar at-Thaiba. Kelompok ini sejak awal berdirinya selalu mendukung Pakistan dan berjuang bagi Pakistan untuk mengakuisisi wilayah tersebut serta menentang konsesi apapun terhadap India dengan alasan resiliensi agama.
Selanjutnya, para pemimpinnya menyatakan keinginan untuk mendirikan pemerintahan Islam di seluruh India. Kelompok ini mengambil bagian dalam beberapa serangan yang menargetkan penduduk sipil non-Muslim di Jammu dan Kashmir dalam upaya untuk menciptakan negara Muslim. Banyak anggota Lashkar at-Thaiba adalah orang Pakistan atau Afghanistan. Diyakini bahwa kelompok tersebut memiliki hubungan dengan Taliban di Afghanistan dan dengan ekstremis Saudi yang kaya melalui jaringan al-Qaeda. Sejak awal berdirinya, Lashkar at-Thaiba diduga melibatkan jaringan intelijen Pakistan (ISI) dan juga menerima dana dari badan-badan pemerintah Pakistan. Kelompok ini mulai beroperasi pertama kali pada tahun 1993 di wilayah Jammu, bekerja sama dengan Hizbut Tahrir. Dalam operasi ini Lashkar at-Thaiba memulai serangan terhadap para pemeluk Hindu dan Sikh. Serangan Lashkar at-Thaiba seringkali ditujukan kepada warga sipil, namun sejak tahun 1999, Lashkar at-Thaiba juga seringkali melakukan serangkaian serangan bunuh diri terhadap pasukan keamanan India.
Pada tahun 2000 Lashkar at-Thaiba berselisih dengan Hizbut Tahrir, yang telah menyatakan gencatan senjata berjangka pendek dengan India. Kelompok ini kehilangan lebih banyak sekutu pada tahun 2001 setelah serangan 11 September di Amerika Serikat yang menyebabkan digulingkannya pemerintahan Taliban di Afghanistan oleh pasukan militer pimpinan AS. Pada 13 Desember tahun itu juga, Lashkar at-Thaiba melakukan serangan bunuh diri di kompleks parlemen India di New Delhi, berkolaborasi dengan Jaish e-Mohammed, kelompok militan Islam lainnya. Sebagai tanggapan atas aksi itu, pemerintah Amerika Serikat membekukan aset Lashkar at-Thaiba dan menyatakannya sebagai organisasi teroris. Di bawah tekanan dari Amerika Serikat untuk menindak kelompok-kelompok militan tersebut dan untuk menghindari perang dengan India, pemerintah Pakistan melarang Lashkar at-Thaiba pada Januari 2002 dan menangkap pemimpinnya, Hafiz Saeed. Tetapi tanpa ada penjelasan yang logis, dia dibebaskan oleh pemerintahan Pakistan beberapa bulan kemudian dan dinyatakan sebagai buronan terorisme oleh AS dan dunia internasional, di mana kepalanya dihargai $10 juta. Menyusul kesepakatan gencatan senjata antara India dan Pakistan pada tahun 2003, Lashkar at-Thaiba diyakini telah memindahkan sebagian besar operasinya ke Pakistan barat laut, sebuah daerah yang berbatasan dengan Afghanistan di mana pemerintah pusat tidak memiliki kendali.
Namun Lashkar at-Thaiba ternyata tidak berhenti. Pada tahun 2006 kelompok tersebut terlibat dalam serangan yang jauh lebih mematikan terhadap warga sipil di Mumbai (Bombay), kota terpadat di India. Pada 11 Juli 2006, beberapa bom merobek sistem kereta komuter Mumbai selama jam sibuk menjelang malam hari, menewaskan lebih dari 180 orang dan melukai sekitar 800 lainnya. Semua bom ditempatkan di kompartemen kereta kelas satu dalam upaya nyata untuk menargetkan kelas profesional India. Setelah serangan itu, India mengaitkannya dengan Lashkar at-Thaiba dan Pakistan sekali lagi menahan Saeed dan sekali lagi kemudian membebaskannya. Pakistan mengklaim bahwa tuduhan India mengada-ada. Dua tahun kemudian pada malam hari tanggal 26 November 2008, sepuluh pria bersenjata mendaratkan perahu di Mumbai, menyebar ke tujuan wisata populer dan mulai menembaki banyak orang. Mereka dipersenjatai dengan baik, terlatih dan sangat taktis, akhirnya bertemu di dua hotel mewah dan pusat komunitas Yahudi. Mereka menyandera banyak masyarakat sipil di ketiga lokasi dan menahan polisi serta militer India selama tiga hari. Lebih dari 170 orang tewas dalam serangan itu, termasuk sembilan teroris. Namun satu orang ditangkap hidup-hidup dan mengakui bahwa dia adalah anggota Lashkar at-Thaiba, pernah berlatih di bawah arahan militer Pakistan, dan datang ke Mumbai dengan perahu dari Karachi, Pakistan. Dia divonis hukuman mati dan dieksekusi pada bulan November 2012.
Pakistan enggan untuk tampak menyerah pada tekanan India atas kegiatan Lashkar at-Thaiba, tetapi soliditas bukti yang dikombinasikan dengan tekanan dari Amerika Serikat dan PBB, mendorong negara itu untuk menyerang Lashkar at-Thaiba dan menangkap beberapa orang yang terlibat dalam operasi penyerangan Mumbai. Pakistan akhirnya mengumumkan pada Juli 2009 sebuah penyelidikan yang sebagian besar mencapai kesimpulan yang sama dengan India, bahwa Lashkar at-Thaiba memang merencanakan dan meluncurkan serangan dari Pakistan. Tuduhan resmi diajukan terhadap para operator Lashkar at-Thaiba yang ditahan di Pakistan pada Oktober 2009, namun sidang tidak kunjung dimulai hingga Mei 2012. Bagaimanapun juga, pemerintah Pakistan tidak mengaitkan Saeed dengan serangan itu secara meyakinkan dan Pakistan mengklaim, Saeed telah sejak lama meninggalkan terorisme. Dia hanya ditetapkan sebagai tersangka dengan tahanan rumah.
Setelah serangan Mumbai, organisasi tersebut tetap dianggap sebagai ancaman karena upayanya untuk terus berhubungan dengan militan Muslim di seluruh dunia, terutama dengan jaringan AlQaeda. Beberapa orang yang sedang dilatih di kamp Lashkar at-Thaiba ditangkap karena terkait dengan serangan teroris di Inggris. David Headley, seorang double agent CIA-Amerika dan ISIPakistan, ditangkap oleh pihak berwenang AS pada Oktober 2009 atas tuduhan bahwa dia telah membantu Lashkar at-Thaiba merencanakan serangan Mumbai pada tahun 2008. Dia mengaku bersalah atas sejumlah tuduhan dan pada Januari 2013 dijatuhi hukuman 35 tahun penjara oleh pengadilan federal AS. Jaringan ini ternyata juga melakukan serangan di Perancis dan merencanakan serangan di Denmark, Australia dan Amerika Serikat. Salah satu pelaku teror di Paris adalah Mohammed Usman, warga Pakistan yang juga anggota Lashkar at-Thaiba, menyusup ke Perancis dengan menyamar sebagai pengungsi Suriah. Usman ditangkap di Salzburg pada akhir tahun 2015, menyusul beberapa anggota jaringan lainnya. Hingga saat ini, salah satu mastermind yang juga berperan sebagai ideolog bagi anggota teroris sayap internasional Lashkar at-Thaiba belum juga tertangkap, bernama Sajid Mir. Banyak yang menuding bahwa Sajid dilindungi oleh dinas intelijen Pakistan.
Pada bulan September 2015 pengadilan Mumbai menghukum 12 anggota Lashkar at-Thaiba atas tuduhan pemboman kereta pada tahun 2006. Pada tahun 2019, sebuah bom bunuh diri dilakukan oleh Jaish e-Mohammed di Jammu dan Kashmir yang meningkatkan tekanan internasional pada Pakistan untuk menindak militan yang beroperasi secara ilegal di dalam wilayahnya. Saeed ditangkap dan didakwa akhir tahun itu atas keterlibatannya dengan organisasi terlarang. Dia dijatuhi hukuman lebih dari lima tahun penjara pada tahun 2020, tetapi berencana untuk mengajukan banding atas vonisnya.
Lashkar at-Thaiba adalah organisasi sayap kanan yang pada awalnya dibentuk oleh politisi Pakistan untuk kepentingan politik. Lashkar at-Thaiba semakin membesar pada masa pemerintahan Pervez Musharraf (2001-2008). Musharraf memasukkan sebagian anggota Lashkar ke dalam tubuh lembaga pertahanan dan keamanan dan memberi ruang kepada Wahabisme-Salafisme untuk menginfiltrasi kepolisian dan militer Pakistan, yang semakin menambah runyam pluralisme di Pakistan. Radikalisme di Pakistan hingga saat ini semakin menunjukkan ke arah eskalasi yang semakin mencemaskan, baik bagi dalam negeri Pakistan maupun negara-negara Asia Selatan lainnya, termasuk ke negara-negara berpenduduk Muslim di Asia Tenggara. Dalam beberapa penyelidikan jurnalis dan analis, kelompok jaringan ini juga terlibat dalam penyelundupan Narkoba yang melibatkan sindikat narco-terrorism Iran, Afghanistan dan Pakistan melalui Samudera Hindia, Laut Cina Selatan hingga ke Pasifik. Namun untuk menguak sepak terjang jaringan Lashkar at-Thaiba tidaklah mudah. Dari pengasingannya di Dubai, Pervez Musharraf – dalam wawancaranya dengan jurnalis Deutsche Welle bulan Mei 2021 lalu – bersikeras dengan tetap menyatakan bahwa Lashkar at-Thaiba bukanlah organisasi teroris, bahkan menyanjungnya sebagai organisasi Islam terbesar di dunia yang konsisten berjuang untuk pemurnian ajaran Islam. Musharraf juga mengakui hingga saat ini masih berdiri dan berhubungan erat dengan para petinggi Lashkar at-Thaiba dalam melakukan infiltrasi kepentingan politik Islamnya di Pakistan.
Front Pembela Islam
Jika melihat dari sisi sejarah terbentuknya Lashkar at-Thaiba, sama persis dengan terbentuknya Front Pembela Islam di Indonesia. Keduanya dibentuk untuk tujuan pragmatisme politik. Dalam buku “Premanisme Politik” yang dirilis oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dijelaskan bahwa pada awalnya FPI merupakan komunitas yang menjadi salah satu elemen anggota PAM Swakarsa (Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa). PAM Swakarsa dibentuk untuk membantu ABRI menyukseskan Sidang Istimewa MPR pada November 1998, yang direkrut dari beberapa pendekar Banten dan Betawi. Beberapa pihak juga menuding bahwa PAM Swakarsa dibentuk oleh militer untuk membenturkan masyarakat sipil dengan gerakan mahasiswa yang semakin tidak terkendali. Seperti yang telah ketahui, Reformasi 1998 kemudian menandai berakhirnya masa Orde Baru yang otoriter. Iklim politik yang baru ini memungkinkan masyarakat untuk beraspirasi secara lebih leluasa. Pasca reformasi, muncullah berbagai partai dan organisasi massa, termasuk Front Pembela Islam (FPI) yang sebelumnya merupakan salah satu bagian dari PAM Swakarsa. FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 atau empat bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Deklarasi ini dilakukan di Pondok Pesantren Al-Um Ciputat oleh sejumlah habaib, ulama, mubaligh, dan beberapa aktivis muslim.
Pada awalnya secara kelembagaan FPI tidak terlalu mengemuka. Seiring dengan dampak reeksportasi beberapa kelompok militan dari Afghanistan pasca perang melawan Uni Soviet, geliat radikalisme di Indonesia belum terbaca. Hingga pada tahun 2001 Bom Bali I meledak, dan disusul oleh beberapa aksi teror di beberapa wilayah pada tahun-tahun berikutnya. Pihak kepolisian pada saat itu belum bisa memetakan secara rinci berbagai jaringan terorisme di Indonesia. Namun secara kognitif pihak kepolisian kemudian melakukan langkah-langkah strategis dengan membentuk Satuan Tugas Bom (Satgas Bom) yang selanjutnya dielaborasikan ke dalam sebuah detasemen khusus anti teror bernama Densus 88 pada 30 Juni 2003. Berbagai kelompok radikal mulai terpetakan, yang ternyata didominasi oleh “alumni” Mujahidin di Afghanistan dan Pakistan.
Belakangan rakyat Indonesia juga menyadari bahwa arus reformasi menyodorkan fungsi ketajaman pisau dapur; selain membuka gerbang bagi demokratisasi ternyata juga memberi ruang bagi merebaknya berbagai ideologi radikalisme. Pasca reformasi katup kebebasan semakin terbuka lebar. Berbagai gerakan komunitas berbasis keislaman mulai tampil terbuka setelah selama puluhan tahun pada masa rezim Orde Baru tidak mampu bernafas. Gerakan Usroh yang menjadi cikal bakal sosialisasi Wahabisme-Salafisme dan dipersekusi pada era Soeharto, mulai menampakkan diri. Bahkan tokoh sentralnya, Abu Bakar Ba’asyir, yang melarikan diri ke Malaysia pada era Orde Baru kembali ke Indonesia untuk melakukan re-integrasi dengan jaringannya yang sempat terputus lama. Ideologi politik Khilafah yang dimotori oleh Hizbut Tahrir juga mencari celah dengan berdiaspora ke berbagai kelompok-kelompok kajian dan berbagai institusi pendidikan. Pada sisi yang lain, Wahabisme-Salafisme memunculkan banyak sosok pendakwah baru, membangun sekolah dan membentuk jaringan media, dengan dukungan dana besar yang dikucurkan oleh lembaga-lembaga filantropi Saudi. Kebebasan berkumpul, berorganisasi dan berpolitik, juga memberi panggung kepada beberapa entitas lokal seperti FPI. Inilah waktu di mana semua orang bisa bergerak dan berteriak dengan memanfaatkan demokrasi – suatu sistim politik yang oleh beberapa kelompok Islam fundamentalis justru diharamkan.
Seperti halnya atmosfir politik di Pakistan pada era Zia ul-Haq hingga Pervez Musharraf, situasi ini ternyata juga membuka peluang kepada beberapa politisi Tanah Air untuk memanfaatkan kebangkitan kelompok sayap kanan sebagai daya pikat elektoral. Adalah presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) yang memanfaatkan mereka. Selama 10 tahun masa kepemimpinannya, kelompok Islam radikal dan intoleran mencapai panggungnya. Bahkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) – yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila – berdiri secara resmi pada tahun 2007, di masa SBY berkuasa. Pada awal berdirinya, HTI diberi izin oleh pemerintahan SBY untuk menggelar Konferensi Khilafah Internasional (KKI) pada 12 Agustus 2007 di Gelora Bung Karno. KKI dihadiri oleh 100 ribu perserta dan dianggap sebagai konferensi luar biasa karena banyaknya peserta dan restu dari pemerintah yang diberikan secara terbuka. Acara itu dihadiri oleh salah satu menteri kabinet pemerintahan SBY, Adhyaksa Dault, dengan kepalan tangan dan pekik; “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia!”. Sangat ironis, pemerintah memfasilitasi organisasi yang ingin memusnahkan ideologi negaranya sendiri. Sejak deklarasi itu, HTI secara leluasa melakukan sosialisasi ke berbagai lembaga pemerintah, BUMN dan perguruan tinggi. Tidak hanya sampai disitu. Masa pemerintahan SBY juga menjadikan partai politik yang berafiliasi terhadap Ikhwanul Muslimin – organisasi radikal terlarang di beberapa negara Muslim – menjadi bagian dari koalisi pemerintahannya. Partai Keadilan Sejahtera, menuai banyak dukungan elektoral pada masa pemerintahan SBY.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Pervez Musharraf terhadap pimpinan Lashkar at-Thaiba, Ketua Umum Front Pembela Islam juga sempat dipenjarakan oleh pemerintahan SBY. Namun penahanan itu diperkirakan hanya untuk memperlemah daya tawar organisasi militan itu, dan Musharraf dengan SBY hanya berbeda tempat dengan kesamaan postulat. Pasca penahanan itu SBY menjadikan FPI sebagai “hulubalang” kekuatan sayap kanan paling utama, sama persis seperti yang dilakukan oleh Musharraf terhadap Lashkar at-Thaiba.
Metodologi yang sama berusaha dijalankan oleh Prabowo Subianto dalam Pemilu 2014. Kekuatan sayap kanan seolah menjadi warisan dari SBY kepada Prabowo. Namun ternyata dinamika politik rakyat telah berubah. Indonesia bukanlah Pakistan, SBY bukanlah Prabowo, dan FPI bukanlah Lashkar at-Thaiba. Rakyat Indonesia pada akhirnya lebih memilih sosok nasionalis yang kelak akan membubarkan Hizbut Tahrir dan FPI, bernama Joko Widodo. Secara masif presiden yang baru melakukan ratifikasi berbagai UU untuk mencegah penetrasi ideologi radikal, mengalienasi kelompok ektremis berbasis kekerasan dan membangun banyak firewall politik bagi kelompok sayap kanan yang cenderung memecah belah kohesi sosial. Di bawah pemerintahan Joko Widodo, berbagai organisasi intoleran tidak diberi peluang membangun “pentas” politik. Tidak seperti halnya Haq dan Musharraf di Pakistan, serta SBY di Indonesia, Joko Widodo tidak mau menggunakan agama sebagai jubah-jubah kosmetik politik demi daya pikat elektoral.
Radikalisme dan Pragmatisme
Kekuatan kelompok-kelompok berbasis radikalisme Islam di banyak negara Muslim justru tumbuh subur akibat pragmatisme politik. Kepentingan politik dan elektoral kemudian membutakan para politisi demi populisme. Ini terjadi di Somalia, Sudan, Nigeria, Suriah, Afghanistan dan Pakistan. Organisasi radikal dibentuk dan dibiayai oleh politisi, dan ketika semakin membesar, ia tidak terkontrol dan sulit untuk dikendalikan. Ini terjadi pada Al-Qaeda dengan Amerika Serikat, Al-Shabaab dengan pemerintahan Somalia, Boko Haram dengan faksi politik Nigeria Utara dan Lashkar at-Thaiba dengan Pakistan. Kita bersyukur, pada akhirnya Front Pembela Islam berhasil dibubarkan sebelum betul-betul membesar dan menikam bangsa ini. Jika saja dibiarkan, kelak bisa saja FPI akan menjadi Lashkar at-Thaiba atau Ikhwanul Muslimin – yang akhirnya memakan ibu kandungnya dan mencabik-cabik saudara sebangsanya sendiri. [IB]
ISLAH BAHRAWI, Direktur Ekskutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI), Ketua Yayasan Sinergi Moderasi Nusantara (SMN), Tenaga Ahli Pencegahan Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme Mabes Polri