Dalam Fisika Star Trek-nya, Lawrence M. Krauss menulis: “Ilmu fisika maju bukan karena revolusi yang segala-segalanya serba baru, tetapi lebih bersifat evolusi yang memanfaatkan hal-hal terbaik yang sudah diketahui sebelumnya”.
Tentu saja yang ditulis Krauss tersebut tentang kesinambungan sains modern saat ini setelah sains Barat bercerai dengan dogma gereja –yang menurut para fisikawan dan ilmuwan kala itu lebih mirip dengan takhayul. Sebab, haruslah diakui, pernah ada suatu jaman di Barat sana (Eropa), yang lazim dikenal sebagai Era Kegelapan atau Jaman Inkuisisi, di mana para filsuf dan ilmuwan yang kebetulan meragukan dogma gereja, dapat dikatakan telah membangun fondasi yang terbilang cukup revolusioner untuk ukuran jaman atau untuk kadar era itu, yang akhirnya membuka cahaya gerbang baru bagi sains modern.
Dengan kata lain, selain karena evolusi yang berkelanjutan, sains khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya, dalam beberapa kasus, melakukan terobosan-terobosan yang revolusioner dalam mendobrak (ibarat berfilsafat dengan palu godam-nya Nietzsche) dogma dan paradigma lama yang menjadi rahim gelap kejumudan. Di sini, mereka melakukan pemberontakan paradigmatis untuk membuka kemungkinan dan kesempatan bagi lahirnya sains dan ilmu pengetahuan modern dari penjara dan ancaman politis dan dogmatis yang akan menghambat kemajuan sains dan ilmu pengetahuan.
Apa yang kita sebut dengan paradigma ini memang sebentuk lanskap epistemologis dan khazanah “kepercayaan” yang menjadi rahim bagi kerja dan ikhtiar sainstifik, yang pada akhirnya juga menentukan apa saja yang akan ditemukan dan dihasilkan sains. Bayangkan, jika para filsuf dan ilmuwan tidak melakukan pemberontakan terhadap dogma gereja kala itu, barangkali perkembangan sains modern agak sedikit terlambat.
Soal dogma gereja yang dilawan para filsuf dan ilmuwan ini, Bertrand Russell bahkan menyatakan bahwa sejarah awal menunjukkan, bukan hanya bahwa Genesis itu a-historis, tetapi juga sebagian besar diambil atau diadopsi dari mitos-mitos Babilonia yang sebenarnya sudah basi.
Dulu, sebagai contohnya, tak ada satu pun fisikawan yang tahu dan mempercayai bahwa jagat raya berkembang dan mengembang, di mana para fisikawan dan ilmuwan umumnya masih mempercayai bahwa jagat-raya bersifat statis dan tak berubah dalam skala besar. Namun, kemudian, seorang Albert Einstein sadar bahwa jagat-raya tidak statis.
Sebelumnya, ketika Einstein masih percaya bahwa jagat-raya bersifat statis, ia mencari jalan untuk “menghentikan” proses keruntuhan semua materi jagat-raya karena gravitasinya sendiri. Saat itu Einstein mengembangkan satu terminologi yang ia sebut “Tetapan Kosmologis” –yang memperkenalkan tolakan kosmik untuk mengimbangi daya-tarik gravitasi materi pada skala besar. Akan tetapi, setelah ia tahu jagat-raya mengembang alias tidak statis, ia pun segera mengakui bahwa “Tetapan Kosmologis-nya“ itu merupakan ketololannya yang paling besar.
Salah-satu faktor, yang ternyata adalah juga faktor yang sangat kuat, bagi kesadaran Barat (Eropa) di Era Inkuisisi itu adalah terdistribusinya sains dan ilmu pengetahuan dari dunia Islam –dari para filsuf dan ilmuwan muslim. Bahkan ketika Maimonedes, sang filsuf dan ilmuwan Yahudi itu, diusir oleh Eropa dari Eropa, ia justru ditampung oleh Dunia Islam. Hanya saja, setelah Eropa berhasil menyalakan cahaya sainsnya dengan terang benderang, cahaya sains di Dunia Islam malah redup, bahkan padam.
Sebagaimana kebudayaan dan kesusastraan, eksistensi dan kemajuan sains khususnya dan ilmu pengetahuan umumnya, merupakan hasil interaksi historis, kultural, bahkan politis. Para sejarahwan, arkeolog, dan para sarjana lainnya membuktikan hal itu. Capaian kemajuan arsitektur dan sains Mesir, contohnya, dipelajari oleh Yunani dan kemudian membuat Yunani sanggup membangun mahakarya peradabannya di benua Eropa, ketika mereka belajar dari Mesir dan Babilonia, ketika mereka mengirimkan para sejarawan dan filsuf mereka ke negeri-negeri itu.
Dan saat ini, kemajuan sains khususnya dan ilmu pengetahuan umumnya, berjalan bersamaan dan beriringan dengan motif dan kepentingan industrialisasi kapitalisme dan perlombaan tekno-sains alias tekhnologi informasi, tak terkecuali perlombaan untuk meraih kemajuan tekhnologi persenjataan perang dan industri serta infrastruktur pertahanan.
Kini manusia telah sanggup menjelajahi tempat-tempat tertentu di angkasa, semisal di Bulan, mencipta bom hidrogen, rudal pintar, komunikasi langsung yang sifatnya global, kloning, nano-technology, mesin penerjemah ragam bahasa, dan lain sebagainya. Bukan tak mungkin manusia di masa depan bisa membangun rumah-rumah mengambang di udara demi mengatasi perkembangan kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan bagi hunian, dan bersamaan dengannya, bisa menciptakan transportasi yang lalu-lalang di udara tersebut.
Contoh-contoh itu hanya ingin menyatakan bahwa hasil dari imajinasi dan kecerdasan manusiawi telah memberikan bahan dan dasar-dasar bagi kemajuan imajinasi dan kecerdasan selanjutnya –alias bagi kemajuan sains dan ilmu pengetahuan di masa depan.
Seperti telah kita ketahui, tahun sebelum masehi, bangsa Sumeria-Babilonia dan Mesir memiliki ilmu astronominya sendiri untuk mamahami alam semesta atau jagat-raya –sedangkan bangsa Yunani mengandalkan logika, dan salah-seorang dari filsuf Yunani yang pernah berkunjung ke Mesir, yaitu Pythagoras, mengikuti jejak-jejak bangsa Timur tersebut, yaitu menggunakan geometri dan matematika ketika berusaha menjelaskan alam semesta atau jagat-raya.
Capaian yang dapat dikatakan sebagai babakan revolusioner dalam sejarah sains adalah ketika Galileo Galilei menemukan alias menciptakan teleskop, meskipun kita tahu tidak secanggih teleskop di jaman ini. Namun setidak-tidaknya alat tersebut tentu saja sangat penting dalam kerja sains di abad-abad selanjutnya –yang tak lain sebagai instrument observasi langsung alias pengamatan empiris.
Di abad-abad selanjutnya, wabil-khusus di abad-20, Albert Einstein menyatakan teori tentang kekekalan energi, energi kuantum, dan partikel sub-atom, yang tak diragukan lagi, menjadi dasar bagi perkembangan astronomi, yang tak lagi berkutat pada penelitian semesta di sekitaran gugusan tata-surya (matahari dan planet-planet yang mengitarinya) semata, tapi mencoba mengetahui ke arah yang lebih jauh.
Kita tahu, sejak penemuan Efek Doppler dalam gelombang cahaya dari berbagai benda angkasa, sejak itulah diketahui bahwa alam semesta alias jagat-raya berkembang (meluas) dan bahwa nebula di dalamnya bergerak saling menjauhi dengan kecepatan yang menakjubkan –dan makin jauh jarak mereka, makin tinggi pula kecepatannya.
Penemuan-penemuan itu pun menimbulkan atau memunculkan sejumlah pertanyaan atawa kuriositas baru di kalangan ilmuwan umumnya dan fisikawan khususnya. Misalnya, apakah alam semesta atau jagat-raya tak memiliki batas? Dan jika alam semesta atau jagat-raya terus meluas alias berkembang, apakah akan meluas begitu saja tanpa henti atau tanpa akhir? Dan bila saja ada awal kapan alam semesta mulai berkembang?
Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, George Gamov dan kawan-kawan berpandangan bahwa alam semesta atau jagat-raya mulai berkembang atau meluas kira-kira dua milyar tahun lalu, yaitu ketika masih dalam keadaan aslinya, dan meskipun jagat-raya itu sendiri sudah teramat sangat luas yang tak bisa diukur oleh kita.
Dalam hal ini, ada pernyataan yang cukup enigmatik dan menggoda, yang dilontarkan seorang matematikawan bernama Herman Minkowski (sebagaimana dikutip Lawrence M Krauss dalam Fisika Star Trek-nya): “Suatu saat ruang-waktu akan semakin pudar menjadi bayangan belaka, dan hanya ada semacam ikatan antara keduanya yang bisa memelihara realitas yang independen”.
Pernyataan Herman Minkowski, sang matematikawan itu, dilontarkan di tahun 1908 –di mana di tahun itu pula Albert Einstein menemukan Relativitas Ruang-Waktu, suatu temuan yang murni mengandalkan imajinasi, bukan observasi. Dan saya pun pernah bertanya (meski hanya di dalam hati): mungkinkah alam semesta atau jagat-raya di suatu saat, entah kapan itu, akan kelelahan dan menghancurkan dirinya sendiri?
Sulaiman Djaya, pengurus Majelis Kebudayaan Banten