Jakarta, Liputan9 – Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan sahabat-sahabat yang lain telah mengingatkan Husein untuk jangan berangkat menemui pendukungnya di Kufah, karena kuat kemungkinan hal itu perangkap atas dirinya dan ahlul bait. Namun karakter Husein yang teguh pendirian dan pemberani seperti ayahnya Ali bin Abi Thalib, membuatnya menolak saran kolega-koleganya, meski ia tetap berterima kasih atas saran tersebut. Berangkatlah Husein dari Mekkah menuju Kufah bersama rombongan ahlul bait sebanyak 72 orang.
Sesampainya di Karbala, kurang lebih 100 km barat daya Baghdad, rombongan cucu Rasulullah itu dihadang oleh pasukan yang dipimpin oleh Ubaidullah bin Ziyad atas perintah Khalifah Yazid bin Muawiyah.
Terjadilah apa yang tidak seharusnya terjadi. Peperangan yang tidak seimbang antara pasukan Ubaidullah bin Ziyad, Gubernur Kufah, yang berjumlah 4000 – 10.000 melawan rombongan Husein yang berjumlah 72, itu pun banyak yang perempuan. Kepala Husein dipenggal oleh seorang prajurit bernama Syamr bin Dziljausyan (kelak seluruh orang yang terlibat dalam pembunuhan Husein mati mengenaskan).
Imam Bukhori menceritakan bagaimana penghinaan luar biasa terhadap penghulu pemuda surga itu: “Dari Anas bin Mâlik, dia mengatakan : Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas mengatakan, “Di antara Ahlul bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah SAW.” Saat itu, Husain disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam).” (HR. Bukhori).
Syiah, Jadikan Asyura Warisan Dendam Sejarah
Tragedi Karbala ini terjadi pada tanggal 10 Muharram atau yang dikenal dengan hari ‘Asyura. Selama berabad-abad spirit Karbala menginspirasi kaum Syi’ah. Bahkan telah menjadi semacam ideologi dendam yang diwariskan secara turun-temurun. Setiap 10 Muharram orang-orang Syi’ah memperingati peristiwa Karbala. Bahkan ada kelompok Syi’ah berlebihan dalam mengekspresikan kesedihan atas terbunuhnya Husein dengan melukai diri sendiri, seperti yang terjadi di negara-negara mayoritas penganut Syi’ah.
Kelompok Rafidhah lebih ekstrem lagi, mereka mencaci maki sahabat Nabi SAW, khususnya Khulafaurrasyidin yang 3 (Abu Bakar, Umar, Usman). Bahkan ada yang mengkafirkan sahabat-sahabat Nabi SAW karena dianggap telah merampas kedudukan khalifah dari tangan Ali.
Tragedi Karbala adalah catatan hitam dan paling pahit dalam sejarah Islam. Tapi, meskipun pahit sejarah ini harus diungkap. Sejarah ini tak perlu ditutupi dan jangan pula yang mengungkap sejarah ini dituduh sebagai Syi’ah.
Husein bukan cuma milik Syi’ah, dan Karbala juga bukanlah medan kesedihan hanya bagi kaum Syi’ah. Siapa pun yang mengaku umat Muhammad SAW pasti tersayat hatinya menyaksikan pembantaian terhadap ahlul bait Nabi SAW di padang Karbala. Siapa yang tak bersedih atas pembantaian Husein maka dipastikan dia munafik, demikian statement ulama Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Asyura, Dalam Pandangan Ahlussunah Wal Jama’ah
Namun bagi Ahlussunah wal-Jama’ah kesedihan itu tidak harus diungkapkan dengan melukai diri sendiri dan mengutuk-kutuk, karena Rasul SAW yang mulia melarang mengungkapkan kesedihan secara berlebihan.
Juga bukan dengan mewariskan dendam secara turun temurun kepada generasi berikutnya.Dan keliru pula jika Bani Umayah dianggap sebagai representasi Ahlussunah wal-Jama’ah.
Peristiwa Karbala telah berlalu lebih dari satu millenium yang lalu. Haruskah permusuhan itu terus diwariskan hingga kini?.
Sejarah mengajarkan kepada kita bagaimana persoalan politik telah membawa umat ini pada perpecahan dan perang saudara berkepanjangan. Ironisnya, peperangan itu semua diatasnamakan agama.
Persoalan politik yang terjadi pada akhir masa khulafaurrsyidin diseret menjadi peritikaian agama. Pembunuhan Usman, pertikaian Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah, dan pembantain Husein di Karbala sebabnya adalah persoalan politik-kekuasaan. Namun pendukung masing-masing pihak menyeretnya pada persoalan akidah, akhirnya melahirkan sekte Syi’ah dan Khawarij.
Syi’ah ekstrem mengkafirkan Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Usman karena berkeyakinan bahwa kepemimpinan kaum muslimin diwariskan kepada Ali dan keturunannya. Sebaliknya Khawarij berkeyakinan semua yang terlibat dalam tahkim, baik dari pihak Ali maupun Muawiyah seluruhnya telah kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah. Fenomena kafir mengkafirkan, sesat menyesatkan kemudian marak. Vonis kafir menjadi legitimasi untuk memerangi kelompok yang berseberangan. Fenomena ini terus berlangsung sepanjang sejarah Islam hingga kini.
Menyikapi persoalan yang terjadi di antara para sahabat, Ahlussunah Wal Jama’ah mengambil jalan tengah. Bahwa pertikaian yang terjadi antara para sahabat adalah persoalan politik, bukan persoalan akidah. Artinya, pertikaian tersebut adalah ijtihad masing-masing sahabat dimana yang benar dapat 2 pahala, sementara yang salah dapat 1 pahala.
Aswaja memilih tawaquf (menahan diri dari menilai) atas perselisihan para sahabat. Aswaja menyatakan, pemerintahan yang mendapat legitimasi mayoritas kaum muslimin adalah sah meskipun zalim, dan meskipun diperoleh dengan jalan kudeta. Sedangkan memberontak (bughot) serta menciptakan huru hara politik untuk merongrong pemerintah yang sah hukumnya haram. Mengapa haram? Karena dalam setiap revolusi berpotensi menimbulkan korban rakyat kaum muslimin yang tak bersalah.
Dahulu, untuk merongrong pemerintahan yang sah, Syi’ah menggunakan isu pembantaian Karbala, dan Khawarij menggunakan isu tahkim antara Ali dengan Muawiyah, yang menurut mereka tidak berlandaskan hukum Allah.
Asyura, Momentum Menebar Kasih Sayang
Alhasil, Asyura bukanlah momentum dendam, tapi momentum menebar kasih sayang. Sejarah pembantaian cucu Rasulullah Saw di Karbala biarlah menjadi catatan sejarah pahit supaya jangan terulang kembali, tanpa perlu mewariskan dendam itu kepada generasi berikutnya. Asyura bukanlah hari dendam, tapi hari kasih sayang. Asyura menjadi momentum untuk sedekah kepada anak yatim, bukan momentum untuk saling mencaci, mengkafirkan, dan menyesatkan karena perbedaan pandangan politik.
Oleh: KH. M. Imaduddin, Sekretaris Majelis Dakwah Nusantara (MADINA)