LIPUTAN9.ID – Dalam catatan ini saya tidak masuk keranah sosial politik dan sejenisnya. Saya hanya ingin mencoba membuka kembali memory lama yang sempat mengendap dialam bawah sadar dan tiba-tiba muncul kembali kepermukaan alam sadar.
Saya punya komunitas yang hoby bicara khazanah nusantara secara santuy dan tidak terlalu formal. Sesekali komunitas ini melakukan napak tilas kebeberapa kawasan yang biasa kita istilahkan Melayu Raya meliputi Tamasek atau sekarang dikenal Singapura, Malaysia, Thailand Selatan hingga utara Borneo yaitu Brunei Darussalam.
Sejak 2010 kita sering tadabbur sosial. Biasanya dari Jakarta terbang menuju Singapura. Dari Singapura menggunakan jalan darat menuju Johor Bahru. Dari Malaysia menggunakan jalan darat masuk kawasan Thailand melalui Sadaw, Hatyai dan sekitar. Tidak bisa ditempuh jalan darat baru menggunakan pesawat misalnya dari Malaysia ke Brunei. Walaupun pernah juga ditempuh jalan darat dari Bandar Sri Begawan Brunei menuju Pontianak yang memakan waktu kurang lebih dua hari.
Napak tilas ini biasanya kita isi dengan menyalurkan hoby sarkub (sarjana kuburan untuk menyebut ziarah), silaturrahmi dengan tokoh-tokoh, dan diskusi ringan di lembaga, organisasi keagamaan, perguruan tinggi dikawasan yang kita simpangi. Ya, paling tidak menguatkan rasa ukhuwah melayuwiyah antar warga serumpun.
Catatan ini tidak ingin membahas suasana batin beberapa kali napak tilas ini karena memang tidak bisa tergambarkan secara utuh karena saking nikmatnya. Catatan singkat ini hanya menuangkan apa yang pernah terendap dalam alam bawah sadar.
Perjalanan Lahir dan Batin
Rihlah terakhir sebelum Covid 19 terjadi pertengahan 2017. Seperti biasa, keluar dari Bandara Changi Singapura sudah ada yang jemput. Perjalanan dari Bandara ke tempat transit diisi obrolan ringan. Diantara obrolan yang mengasikkan saat itu adalah bab pulau reklamasi yang dilakukan Singapura yang tergolong sukses. Reklamasi menjadi topik perjalanan karena di Indonesia juga hangat diskursus reklamasi Pulau C dan Pulau D di Jakarta.
Selang beberap menit kita melewati area dimana diseberangnya ‘konon’ akan dibangun kawasan ekonomi fantastis. Pulau sekitar memang sudah menjadi bagian pengembangan industri. Namun, ada satu kawasan pulau lagi yang nantinya akan menjadi kawasan ekonomi khusus yang bisa bersaing dengan Singapura. Itulah kawasan Batam dan sekelilingnya. Saat itu belum disebut nama pulau Rempang.
Namanya obrolan warung kopi, ya sebatas obrolan basa basi antara kita dengan kawan dari Singapura yang menjemput di bandara.
Perjalanan Hari Kedua
Hari berikut kita melanjutkan perjalanan menuju Johor Bahru Malaysia via darat. Sebagai wilayah metropolitan Johor Bahru ini menarik sebab posisi dan ambisinya.
Johor Bahru merupakan kota terbesar kedua setelah Kuala Lumpur dan masuk dalam deretan metropolitannya Malaysia.
Johor Bahru adalah pusat perindustrian, logistik dan perdagangan. Disana terdapat pabrik elektronik, galangan kapal juga kilang petrokimia. Diantara ambisinya saat itu adalah membangun “seribu” gedung pencakar langit serta pusat perbelanjaan, apartemen, untuk melayani orang-orang Singapura maupun wisatawan Malaysia dan Singapura. Ini wajar karena nilai tukar mata uang ringgit yang jauh dibawah dollar Singapura dan jarak tempuh Johor singapura yang bisa bolak-balik.
Nah…nah… obrolan warung kopi kami saat di Johor inilah yang menarik. Menarik karena beberapa alasan; kita bukan pelaku usaha, kita bukan politisi dan juga bukan birokrat. Obrolan bersifat spontan dan mengalir begitu saja. Bukan diforum formal dimana biasanya tema, kisi-kisi dan rekomendasi sudah disiapkan draftnya.
Ajaibnya… kita hampir punya persepsi yang sama, yaitu rela gak Singapura dengan master plant seperti ini? Bagaimana jika aktifitas penupang kemajuan Singapura berpindah ke Johor dan Batam (Pulau Rempang) dimana costnya pasti jauh dibawah standart Singapura? Kita tahu Singapura adalah wajah negara-negara Barat di Asia Tenggara, relakah negara-negara Barat yang selama ini membeck up Singapura?
Lho.. lho.. apa gak bahaya tah..??!!!
Ya.. namanya obrolan warung kopi tentu ini bukan kesimpulan akademis. Bukan juga rekomendasi untuk negara, namanya juga spontanitas. Bahkan bisa saja kesimpulannya salah walaupun tidak menutup kemungkinan ada sebagian yang benar.
So…. kira-kira ada benang merah tidak dengan tragedi Pulang Rempang. Hanya Dzat Yang Maha Tahu yang lebih tahu.
KH. Khotimi Bahri, Syuriah PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor dan mengabdi sebagai Dosen Ushul Fiqh STEI Napala, serta Waktum Barisan Ksatria Nusantara