Banten, LIPUTAN 9 NEWS
“Mari kita sembelih kebodohan kita, bukan hanya menyembelih binatang. Kita sembelih ketumpulan nalar kita yang begitu mudahnya mendaku hoax sebagai kebenaran dan bahkan lebih buruk, menganggapnya sebagai ajaran agama.” (Sulaiman Djaya)
Idul Adha disebut juga idul qurban. Dan yang disembelih dalam qurban itu bukan binatang dan kebinatangan, karena manusia lebih bejat dari binatang. Secara linguistik, istilah ‘qurban’ berasal dari bahasa Arab: qaraba, yaqrabu, qurbanan. Yang ‘disembelih’ dalam qurban itu adalah penyembelihnya, pengalihan kebejatan dan kekejaman manusia dalam laku ritual.
Hasrat ‘kekejaman’ dan ‘kekejian’ manusia terlampiaskan dan terpenuhi dengan menyembelih hewan kurban, sementara ISIS masih mempraktikkan laku purba kanibalisme, yaitu menyembelih manusia atas kepentingan tuan mereka, yaitu Israel, Amerika, Ingris dkk.
Bahkan, kekejian dan kekejaman manusia tidak pernah hilang dalam klaim dan jubah peradaban. Rasionalitas, yang konon ciri dan identitas pencerahan, hanyalah bentuk alibi untuk ‘mempercanggih’ laku kekejian dan kekejaman manusia.
Perang dan teknologi perang adalah bukti bahwa manusia sebenarnya ‘tak pernah’ beranjak dari laku purba kekejian dan kebejatan mereka. Berapa banyak laku aniaya manusia dan kekejian (kezaliman) mereka memakai topeng, semisal menggunakan klaim religius dan keagamaan. Mari kita sembelih laku kezaliman dan aniaya manusia. Dan Anda tak perlu ‘mengkambinghitamkan’ kambing.
Mari kita sembelih kebodohan kita, bukan hanya menyembelih binatang. Kita sembelih ketumpulan nalar kita yang begitu mudahnya mendaku hoax sebagai kebenaran dan bahkan lebih buruk, menganggapnya sebagai ajaran agama.
Terkait perang dan kodrat alami sisi destruktif manusia, ada dua penyair yang cukup bagus menyuarakan ihwal perang dan kondisi negara-negara yang selalu dirundung perang melalui puisi-puisi mereka, yaitu Nizar Qabbani dan Mahmoud Darwish.
Terkait konflik dan perang itu, semisal terkait isu Israel dan Palestina di era 1950 hingga 1960-an, Nizar Qabbani menulis:
Aku menangis
hingga air mataku mengering
aku berdoa
hingga lilin-lilin padam
aku bersujud
hingga lantai retak
aku bertanya
tentang Muhammad dan Yesus
Yerusalem,
O kota nabi-nabi yang bercahaya
jalan pintas
antara surga dan bumi!
Yerusalem, kota seribu menara
seorang gadis cilik yang cantik
dengan jari-jari terbakar
Kota sang perawan,
matamu terlihat murung.
Oasis teduh yang dilewati sang Nabi,
bebatuan jalananmu bersedih
menara-menara masjid pun murung.
Kota yang dilaburi warna hitam,
siapa yang akan membunyikan
lonceng-lonceng makam suci
pada hari Minggu pagi?
siapa yang akan memberi mainan
bagi anak-anak
pada perayaan natal?
Kota penuh duka,
O, air mata yang sangat besar
bergetar di kelopak matamu,
siapa yang akan menyelamatkan Injil?
siapa yang akan menyelamatkan Quran?
siapa yang akan menyelamatkan Kristus,
siapa yang akan menyelamatkan manusia?
Yerusalem, kotaku tercinta
esok pepohonan lemonmu akan berbunga
batang dan cabangmu yang hijau
tumbuh dengan gembira
dan matamu berseri-seri.
merpati-merpati yang bermigrasi
akan kembali ke atap-atapmu yang suci
dan anak-anak akan kembali bermain
orang tua dan anak-anak akan bertemu
di jalananmu yang berkilauan
kotaku, kota zaitun dan kedamaian.
Nizar Qabbani adalah seorang penyair Suriah yang populer di kalangan para penyair dan para pembaca puisi, yang puisi-puisinya mengangkat tema-tema atau isu-isu dalam kehidupan bangsa Suriah dan kehidupan di Timur Tengah. Tentu secara umum, melalui sejumlah puisinya, ia berbicara tentang Timur Tengah yang tak luput dari konflik dan perang, semisal Suriah dan Palestina yang ia suarakan melalui puisinya yang berjudul Palestina tersebut. Bagaimana ratapan dan suara ironisnya ia suarakan melalui sejumlah pertanyaan tentang kota suci, yaitu Jerusalem, yang menjadi tempat sengketa dan pertumpahan darah, sebagaimana Suriah, dulu dan saat ini.
Negeri Nizar Qabbani sendiri, yaitu Suriah, secara politis dan historis, yang dalam literatur kuno juga disebut Aramia, berada di salah satu persimpangan jalan di dunia kuno, tempat bertemunya jalur kafilah dari kawasan Laut Tengah menuju ke Cina dan dari Mesir menuju ke Anatolia. Dahulu kala, di jaman-jaman sebelum pentarikhan Masehi, bala tentara Akkadia, Babilonia, Mesir, Persia, Yunani, dan Romawi pernah melintasinya. Dan berabad-abad kemudian, orang-orang Turki dan para ksatria Perang Salib melintasinya. Sementara itu, pada zaman modern, bala tentara Prancis dan Inggris saling berperang untuk menguasainya.
Saat ini, sebagian kawasan itu dikenal dengan sebutan yang digunakan di masa-masa ribuan tahun yang lampau—Syria (di mana orang-orang Indonesia menyebutnya Suriah). Meskipun Suriah telah banyak berubah, apalagi akibat perang saat ini, gema sejarahnya masih tetap bergaung dan bergema di sana. Sebagai contohnya adalah Damaskus, yang juga jadi ibukota Suriah. Konon, kota itu adalah salah satu kota tertua di dunia yang senantiasa berpenghuni sejak didirikan. Damaskus, yang terletak di kaki Pegunungan Libanon dan dilalui aliran Sungai Barada ini, telah berabad-abad lamanya menjadi oasis yang dinanti-nantikan di tepi Gurun Suriah yang luas.
Kemungkinan besar, dahulu kala, Ibrahim as melintasi kota ini dalam perjalanannya ke selatan menuju Kanaan (Funisia atau Fenisia). Dan, di sana pula ia mengambil Eliezer, ”yang orang Damaskus (Damsyik)”, menjadi anggota rumah tangganya sebagaimana dinarasikan Kitab Kejadian 15:2. Meski mayoritas warga Suriah saat ini adalah muslim Sunni, namun di Suriah terdapat ‘kota suci’ ummat Kristiani Suriah (dan bahkan dunia), yaitu Antioch, yang tentulah sudah tidak asing lagi bagi Ummat Kristiani Orthodoks di Dunia (seperti bagi Ummat Kristiani Rusia dan Ummat Kristiani keturunan Suriah di Kerala, India). Dalam Kitab Kisah Para Rasul itu disebutkan, misalnya, sepeninggal Isa Al-Masih putra Maryam yang disucikan, Rasul Petrus bertugas sebagai patriark yang pertama di Anthiokia. Selama tujuh tahun Rasul Petrus menjalani misi sucinya, sebelum bertugas ke Roma. “Sejak saat itu ajaran Kristen mengalami proses Helenisasi, diikuti dengan Westernisasi”.
Puisi, dalam kasus Nizar Qabbani, juga Mahmoud Darwish, lahir dari sejarah yang hadir dalam kehidupan keseharian secara politis dan kultural, terutama sikap dan keprihatinan mereka atas konflik dan perang yang terjadi di negeri kelahiran mereka: Timur Tengah, termasuk dalam soal isu Palestina, negeri bathin-nya Mahmoud Darwish.
Sejak Oktober 2023 sampai beberapa hari lalu, Israel telah membantai puluhan ribu nyawa perempuan dan anak-anak Palestina, di Gaza hingga Rafah. Mari kita sembelih kebejatan kita sembari turut membasuh luka Palestina, sebab esensi Idul Qurban adalah berbagi dan berderma, praktik solidaritas kemanusiaan.
Sulaiman Djaya, Penyair di Kubah Budaya