I’tikaf menurut pengertian bahasa berasal dari kata عكف يعكف عكوفا. Bila kalimat itu dikaitkan dengan عن الأمر menjadi عكفه عن الأمر berarti mencegah. Bila dikaitkan dengan kata على menjadi عكف على الأمر artinya menetapi. Pengembangan kalimat itu menjadi اعتكف يعتكف اعتكافا artinya tetap tinggal pada suatu tempat. Kalimat اعتكف في المسجد berarti tetap tinggal atau diam di masjid.
Menurut pengertian istilah atau terminologi, I’tikaf adalah tetap diam di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dengan beribadah, zikir, membaca al-Qur’an, bertasbih, dan kegiatan terpuji lainnya, serta menghindari perbuatan yang tercela.
Hukum mengerjaan I’tikaf adalah sunnah muakkad, bisa dikerjakan setiap saat yang memungkinkan, terutama pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dari Aisyah r.a., istri Nabi s.a.w. menuturkan: “Sesungguhnya Nabi s.a.w. melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, hingga Allah s.w.t. mewafatkannya. Kemudian istri-istrinya mengerjakan I’tikaf sepeninggal beliau”. (HR. Bukhari, 1886, Muslim, 2006).
Dari Ubai bin Ka’ab r.a. menginformasikan: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Pernah pada suatu tahun, beliau melakukan perjalanan hingga tidak beri’tikaf. Kemudian pada tahun berikutnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (Hadits Hasan Riwayat Abu Daud, 2107, Ibnu Majah, 1760, dan Ahmad, 20317).
Beri’tikaf di luar bulan Ramadhan dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah r.a. menginformasikan: Nabi s.a.w. biasa beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Kemudian aku memasang tirai untuk beliau, lalu beliau melaksanakan shalat subuh, kemudian beliau masuk ke dalamnya. Hafsah r.a. meminta izin kepada Aisyah r.a. untuk memasang tirai, lalu Aisyah mengizinkannya, maka Hafsah pun memasang tirai. Waktu Zainab binti Jahsy melihatnya, ia pun memasang tirai juga. Pagi harinya, Nabi s.a.w. menjumpai banyak tirai dipasang, lalu beliau bertanya: “apakah dengan memasang tirai-tirai itu, sebagai suatu kebaikan?”. Maka beliau meninggalkan I’tikaf pada bulan Ramadhan itu. Kemudian beliau beri’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal. (HR. Bukhari, 1892, Muslim, 2007).
Rukun I’tikaf terdiri dari (1) niat I’tikaf, baik I’tikaf sunnah atau I’tikaf nazar. Bila seorang muslim bernazar akan melaksanakan I’tikaf, maka wajib baginya melaksanakan nazar tersebut. Rukun yang ke (2) tinggal atau diam di dalam masjid, sebentar atau lama, sesuai dengan keinginan orang yang beri’tikaf. I’tikaf di masjid bisa dilakukan pada malam hari ataupun pada siang hari.
Syarat I’tikaf terdiri dari (1) muslim, bagi orang non muslim tidak sah melakukan I’tikaf. Syarat yang ke (2) berakal, orang yang tidak berkal, tidak sah melakukan I’tikaf, dan (3) suci dari hadats besar. Yang membatalkan I’tikaf (1) bercampur dengan istri, berdasarkan firman Allah dalam surat a-Baqarah (2:187). Yang membatalkan I’tikaf yang ke (2) keluar dari masjid tanpa uzur atau halangan yang dibolehkan syariat. Tetapi bila keluar dari masjid karena ada uzur, misalnya untuk buang hajat atau buang air kecil dan yang serupa dengan itu, tidak membatalkan I’tikaf. Diperbolehkan keluar dari masjid ketika I’tikaf untuk mengantarkan keluarga ke rumah atau untuk mengambil makanan di luar masjid. (HR. Bukhari, 1889, Muslim, 445).
Dr.KH. Zakky Mubarok, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)