Jakarta, Liputan9.id – Perjanjian Najran merupakan sebuah dokumen jaminan (ahdname) surat perjanjian (testamentum) yang diratifikasi Nabi Muhammad saw, ditulis oleh Sahabat, berisikan jaminan perlindungan hak-hak, bebas wajib militer, bebas pajak, serta hak dilindungi bagi Biarawan dan Penganut Kristen jauh dan dekat, yang hidup dalam kekuasaan Umat Islam.
Naskah perjanjian yang asli sudah tidak ada, tetapi beberapa salinan masih ada di Biara Santa Katarina. Naskah asli hilang saat Kekaisaran Ottoman menyerang Mesir pada tahun 1517 atas perintah sultan Selim I, naskah asli diambil dari biara tersebut oleh tentara Ottoman dan dibawa ke istana Selim di Istanbul (Lafontaine-Dosogne, “Le Monastère du Sinaï: creuset de culture chrétiene (Xe-XIIIe siècle)”, p. 105.). Salinannya kemudian dibuat untuk mengganti kehilangannya di biara tersebut (Ratliff, “The monastery of Saint Catherine at Mount Sinai and the Christian communities of the Caliphate.”).
Naskah tersebut ditemukan dalam dua naskah. Naskah pertama berupa naskah perjanjian ( ‘ahd) berisikan jaminan dari Nabi Muhammad saw, kronologi jaminan, sifat-sifat kaum Nashara yang tidak memerangi Umat Islam, serta permintaan kaum Nashara kepada Nabi saw untuk mengukuhkan jaminannya dalam dokumen. Naskah kedua berupa naskah catatan (sijill), berisikan bentuk-bentuk jaminan atas hak-hak yang diberikan pada kaum Nashara.
Akan tetapi Prof. Muhammad Humaidillah, peneliti naskah-naskah Islam asal India menelusuri dan hanya menemukan naskah-naskah tersebut di Pratologis Orientalis (Jilid 13, hal. 600-618). Humaidillah memberikan catatan bahwa naskah tersebut dibuat-buat. Dia menyatakan, “Tidak ditemukan keraguan bahwa dua teks tersebut dari maudhu’at.” (lihat: Muhammad Humaidillah, Majmu’ah al-Watsaiq as-Siyasiyah fi al-‘Ahd an-Nabawi wa al-Khulafa’ ar-Rasyidin, Naskah No. 96 dan 97 (Beirut: Dar Nafais, 1987) hal. 180).
Ali al-Ahmadi, yang juga peneliti naskah-naskah Islam dalam Makatib ar-Rasul saw, dia pun menyebutkan dua naskah ini. Sebelum dia menyebutkan isi dari dua naskah, dia mengatakan, “Saya menampilkan dua naskah tersebut dari kitab Watsaiq, selain karena penulisnya menyebutnya sebagai maudhu’at, juga adanya konteks penulisan yang janggal.”
Di akhir, setelah mengutip dua naskah itu, Ali al-Ahmadi juga menulis, “Saya menampilkan dua naskah ini – meski keduanya janggal – agar buku ini tidak kurang dalam menampilkan naskah-naskah yang dinisbatkan pada Rasulullah saw, serta agar jelas bagi para pengkaji sejarah bahwa dua naskah tersebut janggal.”
Kemudian Ali al-Ahmadi menjelaskan ada delapan catatan mengapa dua naskah tersebut janggal, di antaranya (Lihat: Ali al-Ahmadi, Makatib ar-Rasul saw (Darul Hadits as-Saqafiyah, 1419 H), Juz. 3, hal. 180-182):
(1) Para pengkaji naskah Nabi saw dan menggelutinya secara mendalam serta memahami gaya bahasa (uslub) Rasulullah saw dalam menyusun redaksi akan tahu bahwa dua naskah tersebut tidak sesuai dengan gaya bahasa beliau (seperti yang saya urai di mukadimah).
Dua naskah tersebut justru lebih mirip dengan gaya bahasa Dinasti Umawiyah akhir dalam tathwil (berlantur-lantur) dan ishab (tidak lugas), serta ada pengaruh gaya ‘ajami (non Arab) di dalamnya yang dapat diketahui oleh pengkaji bahasa Arab Jahiliyah dan awal Islam.
(2) Dua naskah tersebut hanya ada di Pratologis Orientalis (مجموعة تأليفات الآباء الشرقيين) dan tidak pernah dikutip dalam catatan sejarah manapun.
(3) Pemosisian kaum Nashara dalam naskah tersebut memunculkan keraguan. Hal itu karena dalam naskah itu seolah Kaum Nashara meminta balas budi dari bantuan dan pertolongan yang pernah diberikan pada Umat Islam, khususnya oleh Nashara Najran dan sekitarnya. Hal itu bertentangan dengan sejarah. Harits bin Abi Syamr al-Ghassani (Pemimpin Gassan) yang bersekongkol dengan Romawi justru terang-terangan memerangi Nabi saw, bahkan dia yang membunuh Farwah bin Amr al-Judzami (Salah satu Sahabat Nabi saw). Selain itu Nashara Najran menolak masuk Islam hingga mengucapkan sumpah Mubahalah dan lebih membayar Jizyah.
Dari hal itu, dimana letak pertolongan dan bantuan yang disebutkan di dalam naskah, hingga mereka berhak meminta balas budi.
(4) Pada naskah pertama ungkapan negatif pada Kaum Yahudi sangatlah keras hingga seperti cacian. Padahal tidak semua Kaum Yahudi memusuhi Islam. Yahudi Yaman justru membantu dan bahkan masuk Islam. Cacian sekeras itu jelas memunculkan keraguan.
(5) Redaksi pada naskah pertama menunjukkan ada perjanjian antara Nabi saw dan Kaum Nasrani sebelumnya. Padahal tidak ada catatan sejarah menunjukkan tidak pernah ada perjanjian semacam itu sebelumnya.
(6) Ungkapan pada naskah kedua yang berbunyi “meski seorang Nashara melakukan kejahatan” (وان أجرم احد من النصارى) dan “dan ketika mereka butuh untuk membangun gereja” (ولهم ان احتاجوا الى مرمة بيعهم). Dua ungkapan ini jelas memunculkan keraguan.
(7) Pada naskah kedua ada rentetan nama sebagai berikut: ‘Atiq kemudian Umar kemudian Usman kemudian Ali. Urutan ini mengindikasikan bias Bani Umayah, karena Ali bin Abi Thalib lebih mulia dari Atiq.
Juga pada naskah itu disebutkan ada nama-nama Sahabat yang tidak mungkin ada. Perjanjian tersebut terjadi pada tahun 10 hijriyah. Saad bin Muadz wafat tahun ke-4, Jakfar bin Abi Thalib wafat syahid tahun 8 hijriyah di Mu’tah. Abdullah bin Zaid bin Tsabit juga disebutkan, padahal ayahnya (Zaid) adalah sahabat kecil, apalagi putranya (Abdullah). Bagaimana mungkin dia termasuk saksi dari perjanjian itu yang dilakukan tahun 10 H.
Juga ada beberapa nama sahabat yang tidak ditemukan dalam sejarah, seperti Ammar bin Madz’un, Tsumamah bin Qays, Abul Ghaliyah, dan Abdullah bin Khafaf.
(8) Pada bagian awal di Patrologis Orientalis disebutkan: “Dia (Nabi saw) ditaati ahli Yaman kemudian memerangi ahli Mekah”. Catatan sejarah menyatakan bahwa Nabi saw justru ditaati penduduk Yatsrib, lalu memerangi Mekah, kemudian ahli Yaman masuk Islam setelah penaklukan Mekah.
Oleh: Ahmad Biyadi, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum dan Wakil Rektor I Institut Agama Islam Al-Qolam Malang Jawa Timur