LUWU UTARA | LIPUTAN9NEWS
Di sebuah ruang guru yang kini terasa sunyi, dua kursi kosong menjadi saksi betapa getirnya nasib dua pendidik negeri. Rasnal dan Abdul Muis, dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara, resmi dipecat tidak hormat setelah Mahkamah Agung menolak kasasi mereka dalam kasus pengumpulan dana sukarela Rp20 ribu dari orang tua murid. Dana itu, yang dikumpulkan secara sukarela, dimaksudkan untuk membantu pembayaran gaji sepuluh guru honorer yang belum menerima upah selama sepuluh bulan.
Namun, langkah solidaritas itu berujung pada vonis. Sebuah keputusan hukum yang, bagi banyak kalangan, terasa kehilangan hati nurani.
“Jika guru yang menolong sesamanya dihukum, apa yang sedang kita ajarkan kepada anak-anak kita?” tanya KH. Arifin Junaidi, Ketua Umum Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (PP HISMINU), yang akrab disapa Kiai Arjuna.
Dalam percakapan telepon dari Jakarta, suara Kiai Arjuna terdengar tenang namun sarat kegelisahan.
“Ini bukan soal hukum semata, ini soal keadilan. Hukum tanpa keadilan hanyalah teks dingin. Sedangkan tindakan dua guru itu—mengumpulkan uang sukarela dengan persetujuan orang tua dan komite—adalah perbuatan berjiwa sosial,” ujarnya, Rabu (12/11/2025).
Bagi Kiai Arjuna, pemecatan Rasnal dan Abdul Muis adalah cermin dari sistem pendidikan yang kehilangan rasa.
“Kita menghukum karena teks, bukan karena konteks. Padahal di sekolah itu, ada guru honorer yang lapar, ada anak-anak yang tetap belajar meski listrik padam. Dan dua guru itu memilih menjadi jembatan kasih, bukan pelanggar,” ucapnya lirih.
Kasus ini bermula ketika dua guru tersebut menggagas pengumpulan dana sukarela sebesar Rp20 ribu per orang tua murid. Tujuannya jelas: membantu 10 guru honorer yang belum menerima gaji selama berbulan-bulan.
Tidak ada paksaan, tidak ada manipulasi, hanya surat persetujuan yang ditandatangani komite sekolah dan wali murid.
Namun, laporan dari Oknum LSM ke instansi pengawas pendidikan menjadikan perbuatan itu sebagai pelanggaran etik dan administrasi. Hingga akhirnya, Mahkamah Agung menguatkan sanksi pemecatan tidak hormat.
“Dua guru yang mestinya mendapat penghargaan karena kepeduliannya, malah dicap mencoreng institusi. Padahal mereka hanya memperbaiki apa yang lalai dilakukan negara,” terang Kiai Arjuna lagi, dengan nada getir.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara menyatakan keprihatinan mendalam. Masyarakat sekitar pun menilai pemecatan itu sebagai bentuk penghukuman terhadap empati.
Kyiai Arjuna menegaskan, “Jika hukum hanya memandang tindakan mereka sebagai pelanggaran administrasi, maka nurani kita yang sedang jatuh lebih rendah dari pasal-pasal. Guru itu bukan hanya pengajar kurikulum, tapi penanam nilai kemanusiaan.”
Ia menambahkan, HISMINU akan mendorong upaya advokasi moral bagi kedua guru tersebut.
“Kami tidak melawan hukum, tapi kami ingin menegakkan akal sehat. Keadilan bukan sekadar di ruang sidang, tapi di hati rakyat yang tahu siapa yang menipu dan siapa yang berkorban,” tegasnya.
Kini, Rasnal dan Abdul Muis bukan lagi guru negeri. Mereka kehilangan gaji, tapi tidak kehilangan martabat.
Sejumlah murid mengunggah pesan di media sosial: “Terima kasih, Pak Guru. Kami tahu Bapak tidak salah.”
Dalam catatan sejarah kecil di Luwu Utara, dua nama itu mungkin tak lagi tercatat di struktur ASN. Namun, di hati banyak orang, mereka tetap guru—bukan karena status, tapi karena ketulusan.
“Negeri ini,” tutup Kiai Arjuna, “kadang memecat yang berbuat, dan memelihara yang abai. Tapi saya percaya, sejarah selalu berpihak pada orang baik.” pungkasnya.
























