Menyoal Ulama Pewaris Nabi
العلماء ورثة الانبياء بين المرشد والمفسد
(Antara Mursyid dan Mufsid)
Redaksi Ulama adalah derivasi kata alima (tahu) علم يعلم علما عالم علماء dalam bentuk subjek/fa’il (alim) yang dijama’kan yang berarti orang yang berilmu.
Selain dalam pengertian tehnis (linguistik) tadi, istilah ulama yang berarti orang pintar, akademisi, imuawan, guru dll, juga menjadi kosa kata sosiologis/kuktural yang diartikan sebagai kelompok khusus orang yang diposisikan sebagai tokoh/pemuka (sebutannya kyai, ust, ajengan dan lain-lain) dan pemimpin ritual tradisi keagamaan seperti tahlilan, membaca dibai, mimpin doa kendurian, selamatan, ceramah dan lain sebagainya.
Dalam kultur sosiologis ummat Islam, posisi ulama mendapat tempat terhormat. Ulama sangat istimewa, dianggap sebagai orang yang paling pintar, alim, paling mengerti agama, ahli ibadah, paling beriman, bijak, soleh yang berbeda dengan “orang awam” yang akan bersikap menghormati, memuliakan dan mempercayai ulama (apalagi jika ditambah dengan kepemilikan lembaga seperti majlis ta’lim, yayasan, pesantren, dan lembaga pendidikan islam lainnya) semakin menambah kepercayaan orang awam.
Persoalannya adalah, apakah jika secara kultural masyarakat awam mentahbiskan seseorang sebagai tokoh dan ulama itu sekaligus berarti memamg demikian faktanya bahwa seseorang itu berilmu, alim, soleh, paling beriman dan benar?
Sejatinya ilmu dan iman itu ada ukuran presisinya sebagai sebagai sebuah kriteria dengan seperangkat indikatornya yang jelas.
Keilmuan dan keimanan tidak terukur dari penghormatan dan anggapan orang awam.
Betapa banyak saat ini orang yang “memposisikan diri atau diposisikan” oleh orang awam sebagai ulama tapi tidak menunjukkan kualitas keilmuan dan moralitas yang seharusnya?
Adalah fakta terutama di media sosial mudah sekali kita dapati orang/sekelompok orang yang begitu mudahnya memvonis, menghakimi, menghujat dengan kata kata kasar, vulgar sangat tak beradab, dengan mata mendelik dan mulut berbusa-busa seolah sedang memperjuangkan iman, agama dan ummat hanya berdasar “subjektifitas pikirannya” yang merasa paling pintar dan paling benar dalam memahami agama dan politik, padahal belum teruji sebanyak apa buku tentang agama, politik dan kehidupan yang telah dia baca?
Kemudian berdasarkan kesempitan wawasan ilmu dan kenaifan berpikirnya (dia pikir telah pintar), menilai orang dan kelompok lain yang bersebrangan adalah, brengsek, thogut, pendukung rezim dzholim, pki, fir’aun dan lain-lain.
Dalam literatur islam muncul istilah ulama su’, علماء السوء ulama jahat/brengsek yang kerap diartikan salah dalam bentuk “claim bahwa dirinya” adalah kelompok ulama baik علماء الخير
dan memvonis lawan (terutama lawan kelompok politik) adalah ulama su’ (bejat).
Oleh karena itu, merendahlah, jangan sombong, jangan tertipu dengan diri sendiri, sadari di atas langit masih ada langit, sadarilah bisa saja ketika orang lain memuliakan kita, bukan sejatinya kita mulia, soleh dan baik, tapi bisa saja.
من أكرمك فإنما أكرم فيك جميل ستره فالحمد لمن سترك ليس الحمد لمن أكرمك وشكرك…
لو لا جميل ستره ما نظزوا اليك بعين الرضاء
( الحكم لابن عطاء الله)
Dengan semua pembahasan diatas pada akhirnya mengerucut pada pertanyaan apakah sebagian ulama saat ini yang katanya para pewaris nabi العلماء ورثة الانبياء apakah benar-benar menjadi ulama Mursyid atau Mufsid bagi ummat?
Syamsuddin HS, M.Ag, Syuriah Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Pondok Melati PCNU Kota Bekasi