Jakarta, Liputan9.id – Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) gelar kajian rutin bulanan ke-2 dengan tema “MESSIANISME DI ASIA TENGGARA: Perlawanan Kiai Dharmojoyo Menghadapi Kolonialisme Belanda Akhir Abad XIX – Awal XX”, Rabu (9/2/23).
Tema diatas menarik karena disertasi dari Dr. Johan Wahyudi, M.Hum di UNUSIA. Dalam kajian ini Dr. Johan menyebut kiai Dharmojoyo adalah potret kiai kampung, kiai desa yang aslinya orang Kudus.
“Kebetulan hasil penelitian saya hanya mendapatkan guru-gurunya yang hidup di akhir abad 19 mengajinya dimana. Ada beberapa tokoh yang saya kira bisa menambah pengetahuan awal kita, pertama beliau itu mengaji pada seseorang yang bernama Raden Bagus Suradi. Ternyata saya sudah melacak makamnya terletak di Kudus dan makamnya di dukuh Aringan,” ungkap Dr. Johan saat mengisi kajian hasil disertasinya di kantor LADISNU.
Beliau menambahkan, sejak muda Kiai Dharmojoyo namanya bukan Dharmojoyo, melainkan Bagus Talban. Bagus Talban berkelana dan memutuskan nyantri di Ndresmo.
“Dalam catatan mantan pejabat tinggi Surabaya namanya Lekkerkerker, menyebut bahwa Ndresmo menjadi 1 dari 7 pesantren terkemuka di Jawa selain Tegalsari, kemudian Ndresmo dan ada pesantren lain di Madiun diantaranya,” jelas dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
“Dalam catatan kolonial, kawasan pesantren Ndresmo disebut sebagai tempat orang-orang jahat,” imbuhnya
Dr. Johan berpesan agar kita sebagai bangsa pribumi Indonesia jangan langsung percaya. Ini juga menjadi catatan bagi pemerhati sejarah semua informasi dari Belanda jangan ditelan bulat-bulat.
“Meskipun saya katakan adalah sumber primer, sumber penting tapi harus kita olah dengan khazanah kelokalan kita. Bahasa kasarnya Pangeran Diponogoro menurut mereka adalah orang yang memberontak, tapi kita sebagai orang Indonesia punya ikatan kolektif mereka pahlawan,” pesannya.
Dr. Johan memaparkan bahwa mendekati akhir abad XX, Kondisi Jawa semakin terpuruk akibat pemberlakukan kebijakan Cultuurstelsel oleh Pemerintah Hindia Belanda.
“Paket kebijakan ini antara lain bertumpu pada rangsangan pembangunan industri berbasis perkebunan, seperti gula, teh dan kopi. Sawah padi yang menjadi andalan perekonomian masyarakat Jawa, perlahan digantikan oleh perkebunan komoditas produksi. Jumlah upah yang didapat para petani, kerap tidak sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan. Penderitaan ini dilengkapi dengan aksi semena-mena yang ditunjukkan pemilik produksi dan pemerintah colonial,” jelasnya.
Keadaan di atas menurut Dr. Johan menyulut perlawanan yang digalang sejumlah elit masyarakat, salah satunya adalah Kiai Dharmojoyo dari Dukuh Bendungan, Kabupaten Berbek. Semasa muda, ia sempat berguru ke sejumlah pesantren seperti Sidosermo dan Tegalsari. Dalam pengembaraannya ini terdapat suatu pengetahuan yang diyakininya, yakni tentang wahyu Ratu Adil atau paham messianisme.
“Menurut catatan kolonial, Kiai Dharmojoyo menahbiskan diri sebagai Ratu Adil dan melakukan suatu perlawanan yang menewaskan sejumlah tokoh masyarakat yang berpihak pada Belanda,” paparnya.
Tetapi menurut Dr. Johan dari sumber keluarga, klaim Ratu Adil sebenarnya bukan merupakan alasan utama perlawanan ini digelar. Kiai Dharmojoyo kerap menerima ketidakadilan saat berperkara dengan pemerintahan Hindia Belanda dan para pengikutnya.
“Di samping itu, para buruh pabrik gula dan petani di sekitar Bendungan kerap mengeluhkan nasib mereka karena kurangnya kesejahteraan dan perlakukan tidak adil yang ditunjukkan pejabat pabrik dan pemerintah kolonial,” tambahnya.
Dr. Johan berharap banyak dengan fenomena tersebut agar LADISNU menjadi gerbong melakukan kajian tentang sejarah, kajian turats kemudian kajian tentang khazanah besar Islam Nusantara.
Sebagai pemateri pembanding, KH. Imaduddin, menjelaskan bahwa Kiai Darmojoyo jaringan pangeran Diponogoro dan beliau berguru pada muridnya Kiai Hasan Basari.
“Kiai Hasan Basari salah satu pengikutnya atau muridnya Pangeran Diponogoro. Saya ada riwayat dari Gus Maksum Lirboyo, keturunan Kiai Hasan Basari tidak mempan di santet termasuk juga keturunan Gus Maksum,” jelasnya.
Kiai Imad melihat jejaring pangeran diponogoro melahirkan pesantren-pesantren di Jawa. Jadi tidak cuma tradisi perjuangan, kemudian tradisi keilmuan yang dijaring oleh Pangeran Diponogoro.
Termasuk di Betawi, pengaruh Mataram sangat kuat. Maka ada yang namanya Matraman, tempat pelariannya pengikut Sultan Agung menyerang Belanda yang kalah. Banyak juga masjid masjid tua di Jakarta dibangun oleh pasukannya Sultan Agung,” tambah Kiai Imad ketua Bidang Politik, Hukum, Sosial dan Advokasi LADISNU
Beliau mengungkapkan bahwa cara efektif menghancurkan sebuah bangsa itu dengan menghapus sejarahnya.
“Cara menghapusnya, pertama dengan cara menghilangkan peninggalan peninggalan arkeologisnya. Kedua, Belanda datang ke Indonesia tidak cuma merampok kekayaan alam Negeri kita. Tetapi merampok juga kekayaan intelektual bangsa kita,” ungkap Kiai Imad.
“Tujuannya agar bangsa kita menjadi bangsa yang inlander, bangsa yang bodoh dan bangsa yang tidak punya peradaban,” pungkasnya. (MFA)