Jakarta, Liputan9.id – Idris Hemay, M.Si. selaku direktur CSRC UIN Jakarta memberikan materi “Moderasi Beragama” dalam kegiatan Orientasi Mahasiswa Berprestasi KIP Kuliah (ORMASI-KIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Aula FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jum’at (23/12/22).
KIP-Kuliah adalah sebuah beasiswa yang membantu para mahasiswa kurang mampu dan berprestasi di tingkat perguruan tinggi. KIP-Kuliah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dihimpun dalam sebuah organisasi bernama Forum Mahasiswa Bidikmisi-KIP Kuliah atau disingkat FORMABI-KIP.
Idris mengatakan moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal,nasional, maupun global.
“Dalam konteks Pendidikan Islam, moderasi beragama berarti mengajarkan agama bukan hanya untuk membentuk individu yang saleh secara personal, tetapi juga mampu menjadikan paham agamanya sebagai instrumen untuk menghargai umat agama lain dan tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah apapun,” kata Dosen FISIP UIN Jakarta tersebut.
Ia menambahkan kalau moderasi beragama bukan hal absurd yang tak bisa diukur. Keberhasilan moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia dapat terlihat dari tingginya empat indikator utama.
“Pertama. Komitmen kebangsaan,Penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi: UUD 1945 dan regulasi di bawahnya. Kedua. Toleransi, Menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat. Menghargai kesetaraan dan sedia bekerjasama. Ketiga. Anti kekerasan, Menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Keempat. Penerimaan terhadap tradisi, Ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Idris menuturkan pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan melalui Implementasi Moderasi Beragama. Poin penting moderasi beragama adalah membawa misi pendidikan/dakwah dengan menolak cara kekerasan sebagai medianya. Pengarusutamaan moderasi beragama sebagai upaya membendung dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan.
“Adapun bentuk-bentuk manifestasi ekstremisme diantaranya; Menolak norma-norma yang diterima dalam masyarakat (menolak Konstitusi, UU, menolak hormat bendera kebangsaan, dll). Tidak menerima kesepakatan bersama (consensus) dalam menjalankan kehidupan sosial-politik (menolak Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI). Cenderung menyelesaikan masalah dengan cara-cara ekstrim (pengrusakan, pembunuhan massal, teror),” tambahnya
Ia melanjutkan, untuk memperkuat moderasi beragama yaitu melalui resiliensi (ketahanan) komunitas & koneksitas sosial. Social Bonding (Identitas/keterikatan sosial), Social Bridging (keterhubungan horizontal/membangun koneksitas dengan komunitas lain yang berbeda identitas) dan Social Linking (keterhubungan vertical dengan pemerintah).
“Implementasi moderasi beragama bagi mahasiswa, Social Bonding (1. Belajar dan memperkaya literasi keagamaan. 2. Bekerja keras, amanah, adil, serta menebar kebajikan dan kasih sayang terhadap sesame manusia dalam melaksanakan tugas kemahasiswa dan kemasyarakatan. 3. Bersikap Terbuka, Menerima keberagaman sebagai anugerah. 4. Memiliki cara pandang, sikap, dan praktik keagamaan yang moderat dan tidak ekstrem dalam beragama). Social Bridging, Membangun kerja sama dengan komunitas lain yang berbeda identitas: Beda Suku, Beda Agama, Beda Budaya. Social Linking, Membangun kerja sama dengan Pemerintah baik dibidang: Kegiatan Kemahasiswa, Kegiatan kemasyarakatan,” ungkap Idris yang juga direktur Index Indonesia.
Idris mengkahiri, dalam membangun ketahanan civitas akademika UIN Jakarta terhadap radikalisme & ekstremisme kekerasan dengan beberapa faktor pelindung di lingkungan UIN Jakarta.
“Faktor-faktor pelindung di lingkungan UIN Jakarta diantaranya; 1. Ketersediaaan dosen yang menjadi role model bagi tumbuhnya sikap mental yang kritis, inklusif, dan toleran. 2. Literatur menyokong pembentukan karakter dan mindset mahasiswa yang kritis, inklusif dan toleran. 3. Pengembangan Critical Thinking mahasiswa. 4. Suasana diskusi yang terbuka dan toleransi. 5. Metode pengajaran menyokong pembentukan karakter dan mindset mahasiswa yang kritis, inklusif dan toleran. 6. Manajemen kampus mendukung engagement mahasiswa dengan keragaman dalam masyarakat,” pungkasnya. (MFA)