Para sahabat sedang berkumpul di Majelis Sang Nabi, beliau bertanya, “apa kabar kalian?” Mereka menjawab: “kami dalam keadaan beriman kpd Allah.” Nabi kembali bertanya, “apa tanda keimanan kalian?” Mereka menjawab, “Kami bersabar atas ujian hidup, kami bersyukur atas semua karunia dan kami ridha atas semua ketetapan Allah kepada kami.” Sang Nabi kemudian berkata, “Demi Allah pemelihara ka’bah, kalian semua adalah benar-benar orang beriman.”
Beberapa dari sahabat saya menuturkan kondisi keimanannya saat ini; ada yang sedang top-topnya (saya nda tau apa ukurannya), ada yg sedang ngedrop²nya (entah apa pula penyebabnya), ada yang berkata bisa-biasa saja (nda jelas juga apa maksudnya), ada yg menjawab datar (sepesimis itukah?), dan ada yang berkata, “sebentar saya ukur dulu.”
Bila menggunakan ukuran dalam hadits nabi di atas, setidaknya ada tiga ukurannya; kesabaran, rasa syukur dan ridha. Merinding saya membayangkan ketiganya. Semua mudah ditulis tapi amat berat dijalani. Bisakah? Mestinya bisa karena para sahabat sudah lebih dahulu menjalaninya, kita tinggal menduplikasi, tapi ya itu, selalu ada kata “tapi”, kata “tapi” memang penghalang yang sepertinya besar sekali. Bagaimana merobohkannya, sendirian? Tentu sulit!
Maka, rajutlah persaudaraan imani, di mana engkau tak lagi sendiri, engkau tak boleh larut dalam keterpurukan ruhani, semua harus saling menguatkan. Jangan pula engkau berkata bahwa “halangan syar’i” semacam menstruasi adalah titik rendahnya iman, sama sekali tidak, apakah engkau menyangka Tuhan tak bisa didekati dalam keadaan junub, bahkan Sang Nabi menyebut persetubuhanmu dengan pasanganmu itu bernilai sedekah.
Engkau hanya tak boleh sendiri! Begini Sang Nabi mengingatkan kita dalam hadits dari sahabat Abdullan Ibn ‘Umar:
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ ، وَهُوَ مِنَ الاثْنَيْنِ أَبْعَدُ ، وَمَنْ أَرَادَ بُحْبُحَةَ الْجَنَّةِ فَعَلَيْهِ بِالْجَمَاعَةِ
“Berpeganglah pada Al-Jama’ah dan tinggalkan kekelompokkan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al-Jama’ah.”
Datangilah majelis-majelis yang merawat persaudaraan imani, bergabunglah dalam komunitas kesalehan, sapa mereka dengan kelembutan salam, maka dengan segera Allah turunkan kedamaian dan kasih-Nya. Pada saat yang sama tinggalkanlah kekelompokkan yaitu suatu firqoh yang merasa kelompoknya paling benar, paling soleh, paling nyunnah seraya membid’ahkan, menyesatkan dan mengkafirkan saudaranya kaum muslimin.
Persaudaraan Imani adalah persaudaraan yang menebarkan rahmat dan kedamaian, persaudaraan yang bila saudaramu ingin mendekat, mereka merasa aman dari gangguan, kekerasan, kejahatan dan kezaliman. Bila ini dapat kita wujudkan, maka setiap saudara merasa aman dan nyaman, bahkan bila saya berkunjung ke rumahmu saya tidak merasa sebagai tamu, karena saya merasa hanya seorang saudara yang sedang bertandang ke rumah saudaranya.
Jangan kotori persaudaraan dengan lisan yang senang mencaci maki, apalagi ancaman yang menakutkan, ancaman merusak, melukai, membunuh, membakar; semua hanya teriakan yang pantas disuarakan setan. Maka jangan tertipu pada “perkumpulan fasadi”; sebuah perkumpulan yang senangnya mencaci-maki, mengebiri kesantunan, merobek jala persaudaraan, meskipun perkumpulan ini menggunakan busana kesalehan dan mengibarkan bendera keislaman. Wal’iyâdzu billâh.
KH. Nurul Huda HM, Ketua Dewan Pembina Ganjarian Spartan, Pengasuh Pesantren Motivasi Indonesia (PMI) dan Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU