Momok proporsional tertutup kembali mencuat seiring pembahasannya yang masih menggantung di Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak informasi spekulatif terus bermunculan jelang putusan mahkamah pengadil sengketa konstitusi. Semua pihak tentu layak khawatir jika yang diputuskan proporsional tertutup dalam Pemilu Legislatif 2024 mendatang.
Sebabnya tentu karena ini akan menjadi momen krusial bagi begal demokrasi. Rakyat tak lagi berdaulat atas pilihan politiknya. Penetapan anggota dewan terpilih bukan lagi didasarkan atas suara terbanyak, melainkan nomor urut teratas calon anggota legislatif. Di zaman Orde Baru, sistem proporsional tertutup dikenal dengan slogan satire ‘membeli kucing dalam karung’.
Dalam sistem proporsional tertutup, yang berlaku mutlak kuasa oligarki partai politik. Meminjam istilah Robert Michels, oligarki menunjuk pada segelintir elite yang mengendalikan kekuasaan penuh internal partai politik. Tak ada demokrasi. Yang berlaku praktik hukum besi tanpa kompromi. Semua kader partai politik wajib tunduk tanpa ada yang boleh interupsi. Padahal partai politik merupakan institusi demokrasi garda terdepan yang didesain melahirkan pemimpin masa depan.
Dalam demokrasi modern, kompetisi dalam pemilu bersifat terbuka. Karena itu, partai politik mesti membuka lebar persaingan internal untuk menentukan anggota dewan terpilih sesuai dengan selera rakyat, bukan selera segelintir elite partai politik. Suara rakyat suara Tuhan. Sejarah munculnya partai politik di belahan dunia adalah sejarah perlawanan rakyat atas kekuasaan absolut oligarki yang sewenang-wenang.
Kini, demokrasi terancam dibegal dengan sistem proporsional tertutup. Ruang kuasa rakyat digembok. Anggota dewan terpilih bukan lagi menjadi domain utama warganet, melainkan otoritas partai politik. Bangsa ini mestinya belajar banyak dari sejarah kelam proporsional tertutup Orde Baru, yang terpilih menjadi anggota dewan ialah mereka pesuruh partai politik, bukan wakil rakyat.
Membenahi partai politik
Jika ada kritik sistem proporsional terbuka yang digunakan sejak pascareformasi hanya melahirkan anggota dewan bukan kader inti partai politik, tentu jawabannya tak harus dengan proporsional tertutup. Yang perlu diubah hanya soal model rekrutmen internal calon anggota dewan. Misalnya, partai politik menetapkan syarat menjadi calon anggota dewan minimal tiga tahun harus menjadi anggota atau pengurus partai politik.
Munculnya sejumlah anggota dewan terpilih yang bukan kader inti partai politik seperti artis, pegusaha, dan para pesohor lainnya memang sebuah kenaifan. Banyak kader inti partai politik tersungkur di pemilu legislatif, digusur pendatang baru yang hanya bermodalkan paras rupawan dan logistik memadai. Fenomena semacam itu memang perlu dibenahi.
Membenahi internal partai pilitik sebenarnya menjadi isu lama yang selalu terulang, terutama pada level kaderisasi. Partai politik sering abai pada persoalan rekrutmen dan cenderung memilih jalan pintas merekrut para pendulang suara (vote getter) dari berbagai kalangan sekalipun bukan kader partai politik. Tak ayal partai politik sering menjadi alat ‘rental politik’ lima tahunan yang digunakan para petualang politik untuk menjadi pejabat publik. Efeknya, muncul fenomena politisi kutu loncat dan identitas partai (party ID) yang rendah.
Meski begitu, jawaban membenahi partai politik bukan kembali ke zaman jahiliah dengan sistem proporsional tertutup. Praktik tersebut justru menjerumuskan partai politik pada titik nadir yang berjarak dengan pemilih. Padahal partai politik lahir sebagai medium perjuangan kepentingan rakyat, bukan alat politik elite oligarki.
Suka tak suka, negara ini dikendalikan atas kuasa partai politik. Semua jabatan politik strategis, secara regulatif, harus berasal dari partai politik. Undang-Undang Pemilu menyebut calon presiden dan calon anggota dewan harus dicalonkan partai politik. Bahkan semua kepala daerah mayoritas dari partai politik. Ada slot dari calon perseorangan, tapi sepi peminat.
Proses politik, bukan hukum
Secara faktual, sistem pemilu legislatif hasil produk kesepakatan politik politisi parlemen. Semua fraksi bertarung memperjuangkan kepentingan subjektif masing-masing melalui sejumlah paket pasal pemilu. Biasanya, pembahasan sistem pemilu bersamaan dengan isu lain seperti ambang batas parlemen, ambang batas presiden, metode konversi suara, dan seterusnya. Selama pembahasan, ada negosiasi dan kompromi yang mempertemukan kepentingan di antara partai-partai politik.
Jadi, jika ada keinginan mengubah sistem pemilu, mestinya harus melalui proses politik di DPR karena muara regulasi ada di parlemen, bukan di pengadilan hukum. Prosesnya harus dikembalikan ke Senayan sebagai institusi yang diberikan kewenangan penuh membuat dan mengubah regulasi.
Agak mengerikan jika semua produk regulasi yang dibuat anggota dewan bisa diubah secara parsial melalui jalur hukum. Sejumlah pasal dicomot lalu diujimaterikan. Sudah tepat pernyataan sikap delapan fraksi parlemen yang mengultimatum MK bahwa jika yang diputuskan proporsional tertutup, DPR akan mengoreksi kewenangan, bahkan anggaran Mahkamah Konstitusi.
Para hakim MK wajib hukumnya melihat dua realitas politis sebelum memutus perkara terkait sistem pemilu legislatif. Pertama, penolakan mayoritas fraksi di DPR. Parlemen adalah replika utuh suara rakyat. Kedua, semua survei opini publik memaparkan hasil yang menginginkan pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional terbuka. Survei Parameter Politik pada Januari 2023, misalnya, mengungkap keinginan rakyat yang cenderung ingin mencoblos nama caleg, bukan tanda gambar partai politik, di bilik suara.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblat (2018) dalam How Democracies Die mengatakan demokrasi mati bukan hanya di tangan pemimpin militer yang otoriter atau hasil kudeta politik, demokrasi juga bisa mati di tangan para pemimpin sipil yang terpilih secara langsung tapi kebijakannya sangat antidemokrasi.
Adi Prayitno, Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik
Editor: Moh. Faisal Asadi
Sumber: Media Indonesia
Comments 1