Memahami Jejak Sejarah
Mengenali sejarah yang benar itu tidak berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, tetapi sejarah modern itu menuntut ilmiah karena akan diuji kesahihannya, dan seberapa kuat fakta yang menyertai alur sejarah tersebut.
Belakangan sejarah jadi menarik lagi ketika beriringan dengan soal nasab, karena nasab perlu dikuatkan dengan korelasi sejarah yang terjadi.
Relasi sejarah dan nasab itu ada pada titik saling menguatkan. Tetapi dalam tulisan ini hanya fokus pada pengungkapan bukti manuskrip kuno yang menjelaskan bahwa madzhab yang dianut oleh para penyebar Islam di Jawa itu adalah madzhab Syafi’i ( salah satu madzhab fiqih), dengan demikian semua Wali Songo penyebar Islam tersebut bermadzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah, karena bertumpu pada Syaikh Sayid Ali Rahmatullah ( Sunan Ampel ), seorang ulama besar asal Champa cucu Sayid Jumadil Kubro.
Manuskrip Ucapan Sunan Bonang
Ada yang menarik dari tulisan di salah satu group sejarah, terkait ditemukannya manuskrip berbahasa dan bertuliskan Jawa dari abad 16 M, yang merujuk pada wejangan Kanjeng Sunan Bonang pada santrinya saat di Tuban, tempat terakhir dakwahnya.
Tahun 1595 Masehi, seorang pedagang Belanda bernama Van Dulmen berkunjung ke Sedayu Tuban, di kota itu ia mendapatkan suatu manuskrip Jawa yang dituliskan pada daun Lontar, Manuskrip itu dibawa pulang ke Belanda di tahun 1597 dan kemudian diserahkan kepada Pustaka Leiden tahun 1599, di Leiden manuskrip tersebut disimpan dengan katalog no XVII tahun 1599 M.
Manuskrip itu tersimpan tanpa ada yang mengerti isinya sampai pada tahun 1916 Seorang Belanda bernama B.J.O Shrieke meneliti manuskrip tersebut dan mendapati itu adalah Manuskrip Bonang, dinamakan manuskrip Bonang karena pada akhir manuskrip ditemukan tulisan “Tammat carita cinitra, kang pakreti Pangèraning Bonang” atau “tamat sudah cerita buah karya Pangeran Bonang”. Yang kemudian Naskah tersebut diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang.
Yang menarik adalah manuskrip tersebut menggunakan aksara Jawa baru, artinya aksara Jawa baru sudah dipakai semenjak zaman Majapahit karena naskah tersebut kemungkinan dibuat tahun 1500an, ini sesuai penilitian J.G de Casparis yang mengatakan aksara Jawa baru sudah dipakai antara abad 14-15 M.
Penemuan Manuskrip di Sedayu Tuban, menerangkan tentang adanya Dakwah Islam di Tuban pada zaman Majapahit, bahkan Penguasa Tuban pun sudah beragama Islam saat kedatangan Tome Pires antara tahun 1513-1515 M. Hal ini juga memberikan salah satu bukti keberadaan Dakwah Wali Songo terutama Sunan Bonang di Jawa pada masa lampau.
Dari apa yang didakwahkan di manuskrip tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa Wali Songo semuanya bermazhab Syafii dan mengambil banyak pelajaran dari kitab Ihya Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam al-Ghozali, ini juga menutup sedikit tentang teori Gujarat India yang menyebarkan Islam di Jawa dengan penerapan madzhab Hanafi, sebab Muslim Gujarat rerata Hanafi.
Peran Sunan Bonang
Nama Bonang menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo itu dikaitkan pada salah satu desa di belakang masjid Demak, karena Sunan Bonang pernah tinggal di tempat tersebut sebagai Imam masjid Demak atas permintaan Raden Fatah bin Raja Brawijaya V, sultan pertama Kesultanan Demak Bintoro.
Naskah Carita Lasem mencatat bahwa pada 1480 M, Sunan Bonang sempat tinggal di dalem Kadipaten Lasem bersama kakak perempuannya yaitu Nyai Gede Maloka, janda dari Pangeran Wiranegara. Adapun tempat tinggal Sunan Bonang di Lasem tersebut adalah di bukit Watu Layar yang masuk desa Bonang, karena Sunan Bonang sempat mendirikan zawiyah untuk kepentingan khalwat dalam riyadloh tarekat.
Beda halnya menurut Raden Poejosoebroto dalam bukunya Wayang Lambang Ajaran Islam ( 1978 ), bahwa kata Bonang yang disematkan kepada Sayid Makhdum Ibrahim bin Sayid Ali Rahmatullah itu adalah kebiasaan Sunan Bonang yang gemar menggunakan alat musik Bonang sebagai media dakwah Islam kala itu.
Sunan Bonang bagian Wali Songo
Sunan Bonang adalah gelar yang disematkan pada Sayyid Makhdum Ibrahim, seorang ulama besar, sosok seorang sufi dan ahli tarekat sekaligus budayawan yang lahir tahun 1465 M dari ayah bernama Sunan Ampel yakni Syaikh Sayyid Ali Rahmatullah bin Sayyid Ibrahim Samarkand bin Syaikh Sayyid Jumadil Kubro dan dari ibu bernama Nyai Ageng Manila binti Arya Teja, Adipati Tuban Kerajaan Majapahit dan Arya Teja cicit dari Ronggolawe, Ksatria Majapahit yang legendaris.
Dalam Babad ing Gresik dicatat bahwa putera puteri Sunan Ampel dari istrinya asli Tuban adalah Nyai Ageng Manyuran, Nyai Gedeng Maloka, Nyai Ageng Wilis, Sunan Bonang, Sunan Derajat, Syaikh Amat, Nyai Ageng Medarum dan Nyai Ageng Supiyah.
Dari garis ibu, Sunan Bonang adalah berdarah Majapahit dan Singosari karena Nyai Ageng Manila puteri dari Adipati Tuban Arya Teja, sedangkan dari garis ayahnya Sunan Bonang adalah keturunan Rosulullah S.a.w, karena Sayyid Ali Rahmatullah putera dari Sayyid Ibrahim Samarkand, dan Sayyid Ibrahim Samarkand putera dari Sayyid Jumadil Kubro yang tersambung pada Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah Az-Zahra binti Rosulullah Muhammad S.a.w.
Kalimat Akhir
Bahwa penyebaran Islam di Jawa lebih dominan dengan pendekatan budaya, karena fakta-fakta sejarah menguatkan itu, tidak ada unsur paksaan dari tiap yang didakwahkan oleh para Wali tersebut.
Manuskrip kuno yang ditemukan pada 1595 itu menguatkan bahwa madzhab yang dianut oleh para Wali penyebar Islam tersebut adalah madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah, bukan Syi’ah bukan pula Muktazilah.
Dalam fiqih, para Wali Songo mengikuti madzhab Syafi’i sesuai bukti catatan tangan Sunan Bonang dalam daun lontar dengan bahasa Jawa era Majapahit yang terkumpul pada dokumen Het Boek Van Bonang.
KHM. Hamdan Suhaemi, Pengajar Pesantren Ashhabul Maimanah Sampang Susukan Tirtayasa Serang, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten, Sekretaris komisi Haub MUI Banten, Sekretaris Tsani Idaroh wustho Jam’iyah Ahlith Thoriqah Mu’tabaroh An-Nahdliyah Jatman Banten, Ketua FKUB Kab Serang, dan Anggota Dewan Pakar ICMI Provinsi Banten.