Pendahuluan
Rabu siang (07/12/17) waktu setempat, atau hari kamis waktu Indonesia Barat (08/12/17), dunia dikejutkan oleh pengumuman Presiden Amerika Donald Trump yang memberikan pengakuan secara sepihak tentang Yerusalem sebagai Ibukota Isreal. Sebuah pengakuan yang menjadi pukulan telak bagi perjuangan rakyat Palestina selama hampir tujuh puluh tahun, sejak tahun 1948 tanah kelahiran mereka diduduki oleh Zionisme Israel.
Jika pada tahun 1948 Yerusalem Barat yang dikuasai Israel dengan Tel Aviv sebagai ibukotanya, dan pada tahun 1967 Yerusalem Timur (al-Quds al-Syarqiyyah) diduduki secara ilegal, kini tempat Masjidilaqsha berada tersebut akan menjadi ibukota Israel. Lengkap sudah pendudukan Israel terhadap bumi rakyat Palestina.
Dunia internasional pun beraksi keras menolak tindakan tersebut. Pengakuan sepihak itu menunjukkan arogansi dan kesewenang-wenangan yang kuat terhadap yang lemah, apalagi dengan melanggar sejumlah kesepakatan internasional. Sebuah tindakan yang bukan hanya meruntuhkan berbagai upaya damai sebelumnya dalam menyelesaikan persoalan Palestina, tetapi juga berpotensi menimbulkan gangguan stabilitas keamanan dunia di masa mendatang.
Keamanan dan kedamaian sulit terwujud di tengah ketidakadilan dan dominasi serta hegemoni yang kuat terhadap yang lemah. Kampanye memerangi terorisme global tidak akan membuahkan hasil jika dunia tetap membiarkan terjadinya teror oleh sebuah negara terhadap penduduk pemilik sebuah wilayah yang sah.
Pengakuan AS tersebut menyempurnakan perjalanan satu abad sejarah pendudukan Israel terhadap Yerusalem. Pendudukan bermula dari Deklarasi atau Perjanjian Balfour yang disepakati saat perang Dunia 1 (1914-1918), tepatnya Nopember 1917, antara Pemerintah Inggris dan tokoh gerakan zionisme, Theodore Hertzel, yang ditandatangani oleh Menlu Inggris saat itu, Arthur Balfour.
Perjanjian itu merupakan bagian dari kerangka mandat pemerintah Inggris untuk Palestina yang direbut secara penuh dari Kekaisaran Ottoman. Mandat tersebut mewajibkan negara yang kalah dalam perang (Jerman, Austria-Hungaria dan Kekaisaran Ottoman) memberikan seluruh kekuasaan wilayahnya kepada para pemenang, yakni Inggris dan sejumlah negara sekutu lainnya, seperti Prancis dan Italia. Berdasarkan deklarasi Balfour, Inggris memfasilitasi perpindahan kaum Yahudi Eropa ke Palestina sampai terbentuknya negara Israel tahun 1948.
Sejak itu pendudukan Israel terhadap Palestina meluas hingga Yerusalem yang diduduki setelah perang Arab-Israel selama enam hari tahun 1967. Kini Israel hanya menyisakan Tepi barat dan Jalur Gaza bagi warga Palestina.
Jika menengok sejarah ke belakang, konflik di tanah Palestina telah berlangsung lama. Sejumlah peradaban dan kekuatan besar pernah singgah di situ, mulai dari bangsa Arab Kan`an (Yabus), Babilonia, Mesir Kuno, Persia, Yunani, Romawi, Yahudi sampai kepada Islam. Palestina selalu menjadi pusaran konflik di kawasan.
Dr. H. Muchlis Muhammad Hanafi, Lc., MA., Sekretaris Badan Amil Zakat Nasional Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama