Banten | LIPUTAN9NEWS
Di ragam platform medsos, terutama di wilayah Banten, ada anak muda, konon lulusan UIN SMH Banten, yang menjadi guest di Banten Podcast, dengan host Kang Arban, menyatakan bahwa ia tidak percaya eksistensi Tuhan dan agama tidak ada gunanya. Mungkin, bila saya sedikit berburuk sangka, anak muda ini sekedar nyari sensasi dan ingin tenar dengan melontarkan kontroversi. Namun di luar hal itu, saya teringat anekdot dua mahasiswa yang juga saling bersahabat. Dua mahasiswa dalam anekdot itu asik berdebat tentang ada atau tidak adanya Tuhan dengan bersemangat. Satu mahasiswa (A) adalah seorang pelajar dari Hauzah Ilmiyah Qom (Pesantrennya Islam Syi’ah), Iran dan yang satunya adalah mahasiswa ateis dari Trinity College (B) Amerika yang berbincang secara digital.
A: “Sahabatku, bagaimana pendapatmu, apakah Tuhan itu ada atau tidak ada?”
B: “Menurut saya Tuhan itu tidak ada.”
A: “Bagaimana jika Tuhan itu ternyata ada?”
B: “Apa dalil, bukti, dan argumentasimu?”
A: “Bagaimana jika saya tidak akan menggunakan dalil dan argumen filsafat? Tapi cukup dengan logika dan retorika yang sederhana saja”
B: “Apa dalil sederhana tersebut?”
A: “Sahabatku! Saya akan mengajukan tiga jalan ini untuk melakukan pengujian terhadapmu.”
B: “Apa maksud tiga jalan yang kau sebutkan itu?”
A: “Pertama, apakah Anda sendiri yang menciptakan diri Anda?”
B: “Tidak.”
A: “Kedua, apakah yang menciptakan Anda adalah salah satu dari makhluk-makhluk seperti bapak Anda, ibu Anda, bulan, matahari, air, udara, ikan, burung dan telaga ataukah manusia lain?”
B: “Tidak.”
A: “Ketiga, apakah pencipta Anda adalah sesuatu yang tidak ada?”
B: “Tidak….tidak mungkin sesuatu yang tidak ada menciptakan yang ada, seperti saya.”
A: “Jika demikian, yakinkan saya bahwa Tuhan itu tidak ada”
Diskusi itu memantik kita merenung, sekalipun Anda ateis, agar tetap rendah hati: bahwa apakah keberadaan kita, hidup kita, lingkungan kita, ada begitu saja secara kebetulan? Apakah eksistensi kita, alam dan lingkungan kita, dan kehidupan kita tidak punya tujuan? Bahwa kepercayaan Tuhan tidak ada dan agama itu tidak penting dan tidak bermakna, kerapkali lebih merupakan waham, yang ternyata, dapat kita uji secara rasional.
Memang, beberapa dari kita, kerapkali tertarik untuk bertanya, karena memiliki gairah rasa ingin tahu, seperti apakah dunia ini, sementara atau abadi, dari manakah asal segala sesuatu yang ada ini? Masalahnya adalah tidak semua mereka yang mengajukan sejumlah pertanyaan, sanggup memberikan jawaban yang benar dan tepat.
Anekdot lainnya yang tak kalah menarik adalah debat seorang murid sekolah dengan gurunya. “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?” Tanya seorang professor. Seorang siswa dengan berani menjawab, “Betul, professor, Dia yang menciptakan semuanya”. “Tuhan menciptakan semuanya?” Tanya professor sekali lagi. “Ya, professor, semuanya!” kata siswa tersebut. Sang professor itu berkata: “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan kejahatan. Karena kejahatan itu ada, jadi kita bisa mengatakan bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”
Siswa itu pun terdiam dan sang professor nampak puas. Namun siswa lain mengangkat tangan dan berkata: “Maaf, professor, boleh saya bertanya sesuatu?” “Tentu saja,” jawab professor. Siswa itu pun berdiri dan bertanya: “Apakah dingin itu ada, professor?” “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Apakah kamu tidak pernah sakit flu?” Tanya si professor yang diiringi tawa siswa lainnya.
Siswa itu menjawab: “Maaf professor, kenyataannya dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Siswa itu melanjutkan: “Professor, apakah gelap itu ada?” Professor itu menjawab: “Tentu saja gelap itu ada. Pertanyaan macam apa itu?” Siswa itu menjawab: “Sekali lagi Anda keliru, professor. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, sedangkan gelap tidak.”
“Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya”.
Dan akhirnya siswa itu bertanya: “Professor, apakah Tuhan menciptakan kejahatan?” Kini dengan bimbang professor itu menjawab: “Tentu saja!” Terhadap pernyataan ini siswa itu kembali menjawab: “Sekali lagi Anda keliru, professor. Tuhan tidak menciptakan kejahatan! Kejahatan lahir dari manusia-manusia yang tidak memiliki rasa cinta dari Tuhan. Kejahatan ada karena ketiadaan cinta di hati manusia”.
Kita kerapkali menganggap praduga dan waham kita sendiri sebagai ‘kebenaran’. Melakukan kesimpulan yang salah. Terjebak dalam kekeliruan berpikir karena dorongan ideologis atau kebencian. Atau juga karena pengalaman kasuistik yang lemah atau tidak kuat. Kaum ateis ekstrimis kadangkala menyatakan bahwa semesta dan hidup ini hanya kebetulan belaka, dan tidak ada kebangkitan setelah kematian.
Mungkin pernah terpikir oleh Anda bahwa setelah Anda mati (entah kapan itu karena kita semua tak pernah tahu waktu kematian kita sendiri) akan dihidupkan lagi sebagaimana lazimnya orang-orang beragama mempercayainya? Atau barangkali pernah terpikir oleh Anda bahwa ketika mati, Anda akan hancur dan menjadi tiada begitu saja dan tak mempercayai keabadiaan (kebangkitan) setelah kematian sebagaimana yang didengungkan sejumlah ilmuwan (sejumlah oknum ahli fisika dan ahli biologi) yang disebut kaum Evolusionis-Materialis Atheis?
Pertanyaan itu dimiliki bersama oleh para filsuf, para ilmuwan, para teolog, sejumlah penyair, dan tentu saja orang-orang biasa seperti kita. Dan pandangan itu terkait juga dengan pandangan, spekulasi, usaha untuk mengetahui apakah penciptaan dan keberadaan kita sendiri dan jagat-raya (alam semesta), di mana salah-satu planet di jagat raya itu adalah tempat kita tinggal dan hidup –adalah kebetulan semata atau karena memiliki tujuan atas dasar penciptaan?
Sejumlah fisikawan (yang umumnya para fisikawan yang tak melecehkan agama semisal Isaac Newton, Max Planck, Albert Einstein, dan lain-lain) mempercayai keberadaan kita dan alam semesta (jagat-raya) karena diciptakan dan ada satu “wujud” yang maha yang menciptakan dan yang mengaturnya.
Sementara sejumlah ilmuwan lain berpandangan bahwa keberadaan kita dan jagat-raya (alam semesta) hanyalah kebetulan semata dan berlanjut dengan proses evolusi yang lambat yang memakan waktu bermilyar-milyar tahun. Pandangan inilah yang lazim kita kenal sebagai pandangan Kaum Evolusionis-Materialis Atheis (semisal sejumlah oknum kosmolog, ahli fisika, dan ahli biologi) jaman ini.
Tentu saja Anda bebas memilih dua kutub pandangan yang saling bertolak-belakang tersebut. Jika, misalnya, Anda memilih dan merasa pas dengan pandangan evolusionis-materialias atheis, maka itu artinya Anda tak mempercayai hidup setelah mati (kebangkitan) –there is no life after death, begitu kira-kira.
Namun sebaliknya, jika Anda meyakini bahwa kehidupan ini merupakan jembatan penyebrangan semata (sebagaimana saya sebagai muslim meyakininya) ke kehidupan yang lebih kekal, maka pastilah kebajikan-kebajikan yang kita lakukan selagi hidup yang menjadi “tiket”-nya dan tak melakukan kejahatan atau ketak-bajikan dengan mengatasnamakan agama kita –karena itu sama artinya dengan mendustai iman dan agama kita sendiri.
Muhammad Rasulullah bersabda, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) orang-orang beriman, dan bukan orang beriman yang tidak berbuat kebajikan”, demikian sebuah hadits yang saya terjemahkan secara bebas dari redaksi bahasa Arab berdasarkan riwayat yang dicatat oleh Muslim.
Kemampuan dan kapasitas untuk memilih itu sendiri sudah ada dalam diri kita –yaitu pada hati dan akal kita, di mana sumbu dan sumber intelegensi kita adalah hati, sebagaimana do’a nabi Musa alayhis-salam ketika hendak bernegosiasi dengan bangsa Mesir demi membebaskan rakyatnya (bangsanya) sendiri. “Rabbi israh lii shadri” (Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku), di mana kata “shadrun” merupakan kosakata rangkuman dari hati dan wadah hati itu sendiri –ia mencakup hati itu sendiri sekaligus dada tempat hati itu berada, yang dengannya akal (otak) kita hanya media (instrument) dari intelegensia hati tersebut.
Dan sebagaimana kita tahu bersama, intelegensi dan akalnya (otak kita) itu pula yang “membedakan” manusia dari binatang-binatang lainnya, yang membuat manusia unggul, yang contohnya ditunjukkan dengan kemampuan berbahasa (bukan sekedar berbicara atau berkomunikasi antar sesama semata). Dan itulah fakultas yang dimilikinya untuk berpikir, mengambil i’tibar, dan melakukan pilihan. Muhammad Rasulullah bersabda, “Tak ada kewajiban kalau ada keterpaksaan”.
Sebab berkat kemampuan dan kapasitas berbahasa inilah manusia sanggup mengembangkan sains dan ilmu pengetahuan, di saat para binatang tidak dapat melakukannya (di mana para binatang hanya sekedar mengandalkan insting mereka). Kapasitas dan berkah berbahasa inilah yang mementahkan reduksionisme kaum evolusionisme-materialis atheis, di mana mereka juga seakan-akan mengabaikan bahwa ratusan ribu tahun silam manusia juga telah sanggup membangun peradaban-peradaban dan mahakarya-mahakarya, sebagaimana dikemukakan para arkeolog, sejarawan, dan yang sejenisnya.
“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum ketahui dengan pasti” (al Qur’an surah Yunus: 39). “Mereka hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diinginkan hawa nafsu mereka” (al Qur’an surah an Najm: 23).
Sebagaimana kita tahu, sains sekalipun tak pernah imun (kebal dan bebas) dari waham, dari praduga atau pengira-pengiraan semata –dan sejarah sains telah membuktikannya sendiri. Teori Ruang-Waktunya Isaac Newton, contohnya, dibuktikan keliru oleh Teori Ruang-Waktunya Albert Einstein. Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah berkata, “Semoga Allah merahmati manusia yang tahu asal-usulnya, yang tahu keberadaan dirinya, dan yang tahu hendak ke mana dirinya”.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, waham bisa hinggap pada siapa saja –pada orang-orang biasa atau pada para ilmuwan. Barangkali, pandangan-pandangan Richard Dawkins bagi kita kaum theis, bila kita menggunakan kerangka kaum evolusionis-materialis atheis sendiri, adalah sebuah kebetulan agar hidup tetap memiliki lelucon, yang dalam konteks ini adalah lelucon yang “ilmiah”.
Sulaiman Djaya, penyair