Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Di tengah riuh pembangunan kota Jakarta, dengan deretan gedung pencakar langit yang terus tumbuh dan jalan layang yang menjulur ke segala arah—perlahan tapi pasti, wajah lama Jakarta mulai menghilang. Kampung-kampung tua mengecil, digantikan deretan rusun. Mushola di gang-gang kecil berganti ruang serbaguna apartemen. Modernisasi memang tak bisa ditolak. Tapi, di tengah derasnya arus itu, bagaimana nasib akar Islam lokal yang selama ini menjadi denyut nadi masyarakat Jakarta?
Pertanyaan inilah yang mengemuka dalam Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) II Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, Rabu (18/06), di Hotel Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta Utara.
Mukerda II Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini mengusung tema “Merawat Umat Menuju Kota Global Jakarta Penuh Rahmat,” forum ini menjadi ruang refleksi dan seruan bersama untuk menjaga warisan keislaman Jakarta dari gerusan zaman.
Salah satu yang angkat bicara adalah Halimatusadiyah, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Melalui bahan paparan yang dikirimkan kepada panitia Mukerda, ia mengingatkan bahwa sebelum modernisasi menggulung Jakarta, tradisi Islam lokal, khususnya di kalangan masyarakat Betawi, sangat hidup dan membumi.
“Maulid Nabi, tahlilan, Lebaran Betawi—itu semua bukan hanya ibadah, tapi juga ekspresi budaya yang melekat dalam keseharian warga,” ujar Halimah.
Menurutnya, tradisi tersebut bukan hanya seremonial, melainkan bagian dari kehidupan kampung-kampung di Jakarta. Tapi kini, banyak di antaranya hanya tinggal kenangan.
“Kampung digusur, mushola hilang, dan tradisi menjadi simbolik. Lebaran Betawi kini diadakan di panggung besar Monas, lebih terasa sebagai konten wisata daripada ritual budaya warga,” jelasnya.
Hal serupa datang dari tokoh Betawi dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, yang turut hadir dalam Mukerda. Pria yang lebih dikenal sebagai Bang Doel ini menyoroti pentingnya makna kata “merawat” dalam tema Mukerda.
“Selama ini kita sibuk membangun, tapi lupa merawat. Padahal yang harus dirawat bukan cuma bangunan, tapi juga umatnya,” ujar pemeran utama sinetron legendaris Si Doel Anak Sekolahan itu.
Rano menekankan bahwa tantangan umat Islam di Jakarta tidak hanya datang dari sisi ekonomi atau budaya, tetapi juga dari makin menyempitnya ruang interaksi sosial yang dulu menjadi perekat warga.
“Persoalan umat tidak bisa hanya ditangani Pemprov. Semua elemen—termasuk ulama—harus ikut turun tangan,” tegasnya.
Ketua Umum MUI DKI Jakarta, K.H. Muhammad Faiz Syukron Makmun atau yang akrab disapa Gus Faiz, menyampaikan harapan besar dari Mukerda kali ini. Ia ingin MUI DKI Jakarta melahirkan program-program konkret yang dirasakan langsung oleh umat.
“Kami ingin masa kepengurusan ini meninggalkan legacy yang membanggakan—yang bisa dikenang dan dilanjutkan oleh generasi mendatang,” ujar Gus Faiz penuh semangat.
Senada dengan itu, Ketua Panitia Mukerda, KH Lutfi Hakim, kembali menjelaskan bahwasanya forum ini merupakan ikhtiar strategis MUI DKI dalam menjawab dinamika pembangunan Jakarta yang begitu cepat.
“Mukerda ini bukan sekadar agenda tahunan. Ini ruang kontemplasi dan langkah kolektif agar transformasi Jakarta menjadi kota global tetap berakar pada nilai-nilai Islam lokal,” jelasnya.
Kiai Lutfi Hakim juga menekankan pentingnya peran ulama dalam mengawal proses ini.
“Kami sadar betul, peran ulama sangat krusial untuk memastikan Jakarta tumbuh sebagai kota modern yang tetap bernilai Islam rahmatan lil ‘alamin.”
Di tengah gemuruh modernisasi, Mukerda II MUI DKI Jakarta hadir sebagai pengingat: membangun kota bukan hanya soal tiang pancang dan jalan tol, tapi juga tentang adab, ruang bersama, dan budaya warisan yang harus dijaga dengan cinta.