“Dari tangisan orang-orang, mataku dipenuhi penderitaan. Melihat bagaimana mereka mencari-Mu, akan jadi apa orang-orang itu?” (Hafiz dari Syiraz, Iran). “Dibandingkan dengan tipu-muslihat, maka keyakinan yang berlebihan dan buta adalah musuh yang lebih berbahaya untuk kebenaran” (Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman).
Ketika seorang kawan bertanya tentang Sastra dan Islam, dalam benak saya justru muncul beberapa pertanyaan pula:
- Bilakah yang dimaksud Sastra Islam adalah karya-karya kesusasteraan yang ditulis para penulis muslim atau para penulis yang kebetulan beragama Islam?
- Apakah yang disebut Sastra Islam adalah karya-karya sastra yang mendedikasikan fokus bentuk dan isi-nya pada doktrin dan nilai-nilai Islam? Terlepas apakah karya-karya tersebut hanya terjebak pada moralisme yang dangkal dan artifisial atau tidak mendalam dan cenderung verbal.
- Lalu apa yang membedakannya dengan karya sastra pada umumnya?
- Adakah atau tidak persamaannya dengan karya-karya yang tidak menyebut dirinya sebagai Fiksi Islami? Sebab pada kategori yang telah umum dimaklumi, kesenian pada umumnya atau pun kesusasteraan pada khususnya seringkali ingin keluar atau bahkan melampaui pakem dan vakum formalisme keagamaan, doktrin fiqhiyah yang dirasa membatasi dan kadang tidak peka pada perubahan yang niscaya, dan rigiditas mazhab keagamaan yang seringkali kurang terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan kreativitas estetik.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dalam benak-pikiran saya karena saya percaya dalam kesenian pada umum-nya, keunikan dan otentisitas seorang seniman atau pun penulis seringkali karena kebebasan dan keberaniannya untuk menerobos batas-batas yang dianggap selesai.
Bukankah agama dan imajinasi adalah dua wilayah konsentrasi yang berbeda? Bukankah karya sastra menjadi unik karena merayakan konotasi, ambivalensi, dan polifoni demi menghidupkan watak simbolik sastra itu sendiri dengan mengoptimalkan metafor, alegori, personifikasi, hiperbola, ironi, dan lain sebagainya? Bukankah sastra menjadi unik karena terus-menerus bersimpati pada ironi dan subjektivitas bukannya objektivitas?
Juga sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sastra yang melukiskan segi-segi umum dan kebanyakan hanya akan berujung pada kegagalan etos dan watak sastra itu sendiri. Ia tak ubahnya ilmu sosial. Sastra menjadi hidup justru karena menghidupkan polisemi, memaksimalkan konotasi, dan menggalakkan ironi, dan tentu saja tidak hanya menciptakan kebaruan makna referensial, tetapi juga makna tekstual. Dalam hal ini, fungsi bahasa bukan hanya untuk menjelaskan, tetapi juga untuk menyembunyikan atau mengkisahkan dan mengkiaskan.
Sastra menjadi unik bukan karena verbalisme-nya, melainkan karena kelihaiannya untuk menyediakan kemungkinan sejumlah makna. Umberto Eco akan menyebutnya sebagai Opera Aperta atau The Open Work (karya terbuka), di mana suatu teks sastra menjadi kaya dan unik karena teks tersebut menciptakan suatu dunia, suasana, dan peristiwa yang bisa ditafsirkan secara bebas (heterogen) oleh pembacanya dan lebih informatif ketimbang traktat sains.
Sementara pada tingkatan yang lebih ekstrem Jacques Derrida menyebutnya sebagai disseminasi, di mana makna tidak selalu berkaitan dengan referensi, nilai dan keyakinan metafisis, penanda transendental dan rujukan moral, tetapi oleh kumungkinan jalinan kata dan bahasa dalam teks itu sendiri.
Dengan demikian citra dalam sastra selalu bersifat simbolik, seringkali menerobos formalisme bahasa dan menjadikannya sebagai ekspressi yang personal. Milan Kundera akan menyebutnya dengan polifoni-teks. Mikhail Bakhtin akan menyebutnya dengan heteroglosia dan carnaval. Walter Benjamin dan Clifford Geertz akan menyebutnya sebagai teks yang bertumpuk dan berlapis.
Kemudian saya pun lagi-lagi bertanya:
- Tidakkah penamaan Sastra Islam hanya akan mengakibatkan penyempitan kerja kesenian pada umumnya dan kesusasteraan pada khususnya?
- Selanjutnya yang juga tak kalah penting, apakah seni atau karya-karya sastera yang menamakan diri sebagai Fiksi Islami itu merepresentasikan nilai-nilai, doktrin, dan semangat Islam?
- Atau malah sebaliknya?
Sebab banyak karya-karya budaya pop yang menyebut dirinya sebagai Fiksi Islami, malah terjebak simbol-simbol tanpa isi dan miskin bentuk, artifisial, dan hanya menjadikan kata Islam sebagai label semata. Yang lebih ironis malah banyak pembaca mendapatkan pemahaman yang sempit tentang Islam itu sendiri, ketika Islam hanya direduksi hanya menjadi slogan-slogan semata. Ketika teks-teks yang ditawarkannya cenderung miskin’gugahan dan renungan, dengan teknik ironi, pergulatan subjektif yang unik, pergolakan batin tokoh, dan bahkan gugatan. Ketika karya-karya tersebut cenderung monofonik (baca: miskin tekhnik dan bentuk), verbal (baca: menggurui), dan tertutup bagi kemungkinan heterogenitas (baca: kekayaan) dan polisemi penafsiran (baca: pembacaan dan pemaknaan) ketika karya tersebut dibaca.
Bilasaja kita sepakat bahwa bahwa sastra Islam adalah karya-karya yang ditulis para penulis muslim, maka akan banyak karya-karya penulis muslim yang menggugah dan berkualitas dibanding karya-karya budaya pop yang menyebut dirinya Fiksi Islami itu. Meski mereka tidak menyebut karya-karya mereka sebagai Fiksi Islami, namun faktanya karya-karya mereka menjadikan Islam sebagai khasanah dan arena pergulatan isu yang ditulisnya.
Dan bila kita sepakat bahwa apa yang kita maksud Fiksi atau sastra Islam adalah sebuah karya atau ikhtiar penulisan yang memfokuskan pencarian bentuk dan isi-nya pada spirit Islam –atau minimal yang dekat dengan nilai dan doktrin Islam, maka pada konteks ini yang paling pas disebut sastra Islam adalah sufisme atau karya-karya para penulis yang menjadikan sufisme sebagai khasanahnya.
Di sini kita bisa mengambil contohnya semisal Matsnawi-nya Jalaluddin Rumi, Diwan (Hafiz, Persia), The Conference of the Birds atau Manthiq al Thoyr (Attar, Persia), Rubayyat (Omar Khayyam, Persia), Qays Wa Layla dan Khusrau Wa Syirin (Nizami, Persia), Yusuf Wa Zulaikha (Jami, Persia), Tarjuman al Asywaq (Ibn Arabi, Andalusia-Cordoba), dan Asrar I Khudi dan Bang I Dara (Iqbal, Pakistan). Atau karya-karya yang sejenisnya semisal Tamhidat (Ayn al Qudat Hamadani), Rawh al Arwah (Sam’ani), dan lain sebagainya yang berada pada genre karya literasi sekaligus intelektual kaum sufi.
Dan akhirnya, seringkali karya karya budaya pop yang menyebut dirinya Fiksi Islami itu hanya melakukan category-mistake (salah berpikir) ketika mengangkat makna referensial seperti masalah-masalah sosial dan politik. Seringkali problem sosial dianggap sebagai problem moral dan keagamaan. Dan acapkali karya karya budaya pop yang mengaku diri sebagai Fiksi Islami itu melakukan moralisasi dan estetisasi. Yang pertama kegandrungan pada kecenderungan untuk melihat masalah-masalah sosial bukan dengan menggunakan konsep-konsep sosiologis, tetapi dengan klaim moral yang acapkali verbal dan tanpa pemeriksaan dan permenungan terlebih dahulu. Yang kedua adalah kegandrungan pada kecenderungan untuk mengaburkan dan mengganggap sesuatu yang tidak estetis sebagai sesuatu yang estetis.
Dalam hal demikian itu, bagi saya memang yang paling pas disebut Sastra Islam adalah karya kesusastraan sufisme, dan dalam khazanah peradaban dan intelektual Islam, sufisme dapat diumpamakan sebuah kotak berisi emas yang tak terkena karat. Karya-karya sastra dan intelektual kaum sufi merupakan perbendaharaan wawasan keagamaan Islam dan humanisme universal tanpa dibatasi oleh perbedaan etnis, agama, kebangsaan, dan entitas politik pada saat bersamaan. Ia merupakan taman ruhani yang senantiasa menghadirkan bunga-bunga indah dan segar bagi kita yang mengunjunginya. Karya-karya sastra mereka menyediakan katarsis (penyembuhan dan refleksi) bagi kita yang membacanya, jika saya meminjam istilahnya Aristoteles, tentang salah-satu fungsi seni dan sastra yang dapat menjadi cerminan tentang diri kita sendiri sekaligus menjadi semacam “penyembuhan” bagi hati, jiwa, dan kesadaran kita sebagai pembaca, semisal dapat merasakan rasa senang, terhibur, dan hilangnya rasa derita yang tengah kita tanggung ketika membaca karya-karya sastra atau menikmati pentas seni. Maka, sastra dan seni, ternyata, memiliki dampak sangat positif bagi sisi ruhani kita, selain menghadirkan keindahan.
Secara pedagogik, banyak kandungan-kandungan reflektif tentang pengajaran akhlaq dalam sastra kaum sufi, utamanya tercermin dalam puisi-puisi mereka. Bahkan dengan cukup bagus, Muhammad Ja’far Mahjub mengatakan bahwa aspek pengajaran akhlaq ini merupakan salah-satu ruh sastra sufisme. Seringkali ajaran dan nilai-nilai akhlaq ini disampaikan dan dinarasikan lewat fabel seperti yang dilakukan Fariduddin Attar dengan karya mashurnya Mantiq at Thayr dan Firdausi dengan Shahnameh-nya itu. Sementara itu, James Winston Morris, menyatakan bahwa salah-satu aspek khazanah para penulis dan pemikir klasik Islam tak ubahnya para pembangun dan penyingkap kesadaran ruhani kita sebagai manusia yang berada dalam dunia dan kosmik, di mana manusia merupakan bagian tak terpisahkan dengan kosmik dan dunia tersebut. Begitulah!
[18.42, 7/4/2023] Sulaiman Djaya: Sains, Imajinasi, Sastra
Oleh: Sulaiman Djaya, pengurus Majelis Kebudayaan Banten
Dalam Fisika Star Trek-nya, Lawrence M. Krauss menulis: “Ilmu fisika maju bukan karena revolusi yang segala-segalanya serba baru, tetapi lebih bersifat evolusi yang memanfaatkan hal-hal terbaik yang sudah diketahui sebelumnya”.
Tentu saja yang ditulis Krauss tersebut tentang kesinambungan sains modern saat ini setelah sains Barat bercerai dengan dogma gereja –yang menurut para fisikawan dan ilmuwan kala itu lebih mirip dengan takhayul. Sebab, haruslah diakui, pernah ada suatu jaman di Barat sana (Eropa), yang lazim dikenal sebagai Era Kegelapan atau Jaman Inkuisisi, di mana para filsuf dan ilmuwan yang kebetulan meragukan dogma gereja, dapat dikatakan telah membangun fondasi …
Sulaiman Djaya, Pengurus Majelis Kebudayaan Banten