Jakarta, Liputan9 – Saya ingin meramaikan wacana tentang fenomena SCBD alias CFW (Citayam Fashion Week) yang lagi tren saat ini. Pro kontra muncul terkait keberadaan kaum muda “pinggiran” yang masuk ke “tengah” itu.
Kaum menengah atas yang selama ini diidentikkan dengan kawasan perkantoran paling elit itu awalnya bersuara minor karena keberadaan mereka yang nongkrong disana tidak kenal waktu menimbulkan kekumuhan akibat sampah dimana-mana, lalu ada ketakutan jika mereka menjelma jadi kriminal dadakan yang menyasar kaum elit yang lalu lalang disana.
Biasalah kelas elit selalu terganggu berdekatan dengan kelas miskin. Bukankah Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam sendiri pernah dipojokkan oleh segelintir elit Quraisy yang ingin masuk Islam, namun sifat Jahiliah mereka tidak ingin berdekatan dengan kaum budak dan miskin yang selalu bersama Sang Rasul. Turunlah ayat-ayat yang menegur beliau agar tetap bersama kaum beriman meskipun miskin papa. Sudah 15 abad sifat itu masih ada ternyata.
Sementara itu sebagian masyarakat yang relijius menyatakan keprihatinannya melihat bagaimana muda mudi bercampur baur bahkan memperlihatkan auratnya, ditambah sebagian kalangan homoseksual yang memanfaatkannya untuk eksis dan mencari pasangan. Ada bahkan yang menyatakan dukungan karena dapat mengikis kecenderungan Arabisasi kaum kadrun, kata mereka.
Bagaimana kita melihat fenomena SCBD dengan obyektif dan adil?
Sisi Positif
1. Kaum muda yang berkumpul dan mengekspresikan diri disana seakan menemukan ruang ekspresi yang keren disaat mereka tidak menemukannya di kampung mereka sendiri.
2. Sadar bahwa nuansa fashion yang nampak, maka masing-masing berlomba tampil dengan busana dan gaya terbaiknya, meski harganya cuma 70 ribu, 30 ribu, bahkan ada yang terang-terangan mengaku pinjam kepada teman. Sebuah anti mainstream, pembalikan logika yang tajam, dimana biasanya yang berani bergaya di kawasan itu mengenakan outfit yang harganya jutaan rupiah. Belum mobil mewah yang menyertainya. Nah ini pemuda-pemudi berkulit dekil, datang dengan naik KRL, cuma bawa uang cukup buat ongkos saja, berani tampil di pusat glamor ibukota.
3. Keinginan kuat tampil flamboyan memaksa mereka kreatif mencari model yang tidak biasa, out of the box, sehingga kreatifitas bermunculan disana. Mereka pun belajar padu padan pakaian, berjalan di catwalk, dan berpose di depan kamera. Jadilah bibit-bibit model muncul secara masif. Media Jepang bahkan sudah meliputnya dan menyatakan kekagumannya.
4. Dari sisi keadilan, kaum marjinal yang diberi ruang “menduduki” ruang kaum elit dapat menghapus jurang kesenjangan yang dalam diantara mereka. Toleransi penghuni kawasan terhadap kehadiran model dari kampung itu merupakan sebuah kemajuan dalam relasi sosial masyarakat kita. Belakangan kita saksikan kaum elit dan selebriti ikut meramaikan disana, bahkan memberikan kesempatan mereka pekerjaan yang menghasilkan uang. Para pemuda/di itu mendadak jadi selebritis baru yang menghiasi layar televisi dan media sosial.
Lalu bagaimana sisi negatifnya?
1. Munculnya fenomena CFW tanpa desain konsep yang matang lama kelamaan membuat banyak pihak bingung mau dibawa kemana situasi tersebut. Belakangan muncul statemen pentolan CFW yang akan memindahkan CFW ke wilayah Pantai Indah Kapuk, sebuah kawasan super elit namun jauh dari akses transportasi umum. Apa sebenarnya motif pencetus CFW?
2. Seperti disebut diatas, outfit yang ditampilkan dalam CFW bisa sebebas-bebasnya. Pakaian super minim untuk anak usia sekolah menengah, make up yang mencolok, dandanan ala orang dewasa, apalagi interaksi yang juga seperti tanpa batas, membuat banyak orang tua prihatin bagaimana masa depan anak bangsa yang seperti itu. Sentuhan bahkan rangkulan mesra yang dipertontonkan secara terang-terangan membuat banyak kalangan risih dan bertanya-tanya sebegitu bebaskah pergaulan mereka? Bahkan mereka yang menginap dengan memanfaatkan ruang apa saja yang ada, banyak yang bertanya, dimana orang tua mereka? Ini patut dipikirkan kita bersama.
2. Perkumpulan yang tanpa kenal waktu sampai larut malam memang seakan tidak ada aturan. Aparat satpol PP sampai turun dan menertibkan mereka. Bahkan ada yang diliput media tidur di “passade” menuju stasiun di pagi hari karena ketinggalan kereta malam sebelumnya. Pihak berwenang perlu merumuskan konsep yang lebih baik.
3. Ketika semua anak muda itu berlomba eksis, muncul juga kaum homoseksual remaja dengan dandanan wanita yang mencoreng citra positif CFW. Mereka terang-terangan bilang cari cowok, padahal mereka cowok juga, untuk dijadikan pacar. Nampaknya hal ini sudah sampai batas toleransi nilai-nilai masyarakat. Perlu ada sikap yang jelas dan tegas dari para tokoh agama.
4. Kebebasan yang diekspresikan dalam CFW itu perlu diarahkan karena bagaimanapun mereka generasi bangsa yang perlu mengenyam pendidikan yang cukup yang tidak boleh dikorbankan untuk kesenangan semata.
Nampaknya ini yang mampu saya potret dari fenomena CFW tanpa ada tendensi menghakimi namun kepedulian kepada masa depan bangsa yang patut kita renungkan bersama. Tidak perlu bersikap menolak dengan kasar dan sarkastis, bagaimanapun mereka anak muda yang butuh didengar dan dibimbing oleh para senior agar dapat tumbuh menjadi kebanggaan bangsa. Itu saja.
Oleh: KH. Jamaluddin F. Hasyim, Ketua KODI DKI Jakarta dan Ketua Majelis Dakwah Islam Nusantara (MADINA)