Jakarta, Liputan9.id – Islam Nusantara bukanlah istilah baru, melainkan telah dikenal cukup lama, termasuk yang diperkenalkan oleh Azyumardi Azra (2015) dengan bukunya yang berjudul Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal dan Nor Huda (2013) dengan judul Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia.
Islam Nusantara sebuah model pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam dengan mempertimbangkan tradisi atau budaya lokal, sehingga dalam hal-hal di luar substansi, mampu mengekpresikan model berislam yang khas Nusantara dan membedakan dengan model berislam lainnya baik di Timur Tengah, India, Turki dan sebagainya.
KH. Zulfa Musthofa menjawab petanyaan 200 lebih akademisi se-eropa di French – University of Amsterdam tentang apa itu Islam Nusantara dalam acara”Internasional Convrence on Islam Nusantara”.
“Islam Nusantara ialah Islam Alhlussunnah wal jama’ah yang bangsa NU,” ungkap Wakil Ketua Umum PBNU.
Dalam pemaparannya beliau juga menyinggung kenapa memakai kata NU. Menurutnya banyak orang mengaku Aswaja tapi beda dengan NU.
“Saudara kita Wahabi itu ngaku Aswaja tapi ziarah kubur haram, tawasul haram, Maulid Nabi haram, Rajaban, Isra’ Mi’raj Haram, Haul Haram tapi NU tidak,” lanjutnya.
Apa lagi yang membedakannya?
“Salah satunya karena Ulama’nya sejak zaman Syaikh Nawawi itu Ulamanya punya kemampuan untuk mengkontekstualisasikan nilai-nilai yang ada dalam nash Qur’an, Hadits disesuaikan dengan realitas budaya dan adat masyarakat,” tambahnya.
Kiai Zulfa mengatakan NU itu tidak kaku, misal dikampung ada orang meninggal selametan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, yang isinya do’a. Jadi itu tidak masalah ada orang suka budaya tersebut, karena budaya itu indah. Karena yang dinamakan budaya merupakan sunnatullah yang Allah ciptakan.
“Orang Lombok tidak bisa disuruh persis sama orang jawa, orang jawa disuruh persis sama orang suda tidak bisa, orang suda tidak sama dengan orang Sumatera Barat, begitupun juga Indonesia tidak bisa sama dengan orang China, India dan lain sebagainya. Indonesia, sholawat saja kalau di Sunda lagunya Sunda. Kalau di Sumatera Barat sholawat lagunya berubah menjadi ayam den lapeh, tapi kalau ke China lagu sholawat menjadi lagu jet li,”jelasnya mencontohkan budaya di Nusantara dan di luar.
Beliau Juga menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke China yang memiliki chiri khas dalam keagamaannya.
“Saya lihat China itu Islamnya unik juga punya kekhasan ala China. Saya dibawa sama teman yang orang asli China, muslim dari suku Hui. Muslim di China sekitar 77 juta. Sholat jum’at di Lanzhou, saya lihat jemaahnya sekitar 100.000 orang, banyak sekali. Begitu saya saya dengar adzannya, heran saya adzannya lagu mandarin,” ceritanya.
Menurutnya, kalau di Indonesia pasti sudah dibilang sesat, dibilang Islam Nusantara. Kalau NU melihat ini tidak heran, karena dalam NU berislam itu yang penting isinya bukan casingnya.
“Dulu Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengundang Qori’ mengunnakan lagu Jawa. Kaget orang se Indonesia, Islam Nusantara sesat dan sebagainya. Kata Saya “kurang piknik”, kalau sering piknik, orang Sudan baca Qurannya mirip lagu dangdut, orang India baca sholawat lagunya Kuch Kuch Hota Hai,” pungkasnya. (MFA)