Pandangan dan perjuangan ulama NU itu selalu bermuara dan bernuansa pada fikih dan dakwah. Hampir tidak ditemukan kebijakan atau seruhan PBNU tidak mendasari pada nalar fikih.
Salah satu masterpiece dari terselenggaranya perhelatan Resepsi Puncak Resepsi Satu Abad NU, 16 Rajab 1444 H/7 Februari 2023 adalah Rekomendasi Muktamar Internasional Fikih Peradaban. Isi daripada Rekomendasi Muktamar Internasional Fikih Peradaban tidak saja menyoal dan memberikan solusi masalah keindonesiaan. Jauh lebih dalam dan luas NU memberikan tawaran pandangan dalam upaya menyeselesaikan masalah global tentang keumataan dan kemanusian. Jadi ‘style’ NU itu memang fikih banget dari dulu hingga sekarang.
Bertolak pada soal Bedug Digital Resepsi Puncak Satu Abad NU, dalam hitungan menit saya sempat tertegun, melihat denga mata, merasakan dengan hati atas peristiwa bersejarah puncak Resepsi Satu Abad NU.
Pembukaan Puncak Resepsi Satu Abad NU ditandai dengan selebrasi pemukulan Bedug Digital oleh presiden Indonesia, Ir. H. Joko Widodo ditemani KH. Makruf Amin, Wakil Presiden sekaligus Mustasyar PBNU, KH. Miftahul Achyar, Rais Aam PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf Ketua Umum PBNU dan disaksikan jutaan nahdliyin, dari dalam Gelora Delta Sidoarjo hingga pelosok-pelosok dunia. Subhanallah Allahu Akbar, begitulah mars lagu Satu Abad NU mengiringi peristiwa yang sangat bersejarah itu.
Bagi saya, selebrasi pemukulan bedug digital sangat menarik dan tentu penuh dengan makna tentang posisi dan perjuangan NU memasuki abad kedua.
Lalu fikih soal bedug bagaimana?
Ya, soal hukum penggunaan ‘bedug non digital’ sebagai penanda masuk waktu shalat pernah terjadi polemik yang dahsyat dan elegan antara Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dengan KH. Faqih Maskumambang, Gresik. Keduanya sama-sama alim, dan sama-sama membersamai berdirinya Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim sebagai Rais Akbar kala itu, dan Kiai Faqih Maskumambang sebagai wakilnya.
Dengan nalar fikihnya, seperti yang ia tulis dalam kitabnya, Risalah Al Jasus fi Bayani Hukmi An Naqus, Kiai Hasyim Asy’ari mengatakan, menabuh bedug hukumnya tidak boleh karena ada unsur tasyabuh (menyerupai) non muslim.
Namun Kiai Faqih Maskumambang memilih pandangan dan pendapat yang berbeda dengan Kiai Hasyim. Dalam kitab risalahnya, Kiai Faqih mengatakan memukul bedug hukumya boleh-boleh saja. Tulisan dibalas dengan tulisan. Luar biasa. Tradisi saling sanggah dalam bentuk karya adalah tradisi ilmiah yang mulia dan biasa dilakukan oleh para ulama as-shalih terdahulu.
Menariknya, meski antara Kiai Hasyim dan Kiai Faqih berbeda pendapat tentang hukum bedug keduanya tetap saling hormat dan saling mencintai. Jauh dari sifat saling hasud apalagi saling membenci.
Suatu hari, ketika Kiai Hasyim ingin silaturahim ke rumah Kiai Faqih di Gresik. Kiai Faqih bergegas menyuruh santri dan masyarakat sekitar agar bedug yang terdapat di mushola atau masjid segera diturunkan untuk sementara waktu.
Hal ini Kiai Faqih lakukan sebagai bentuk penghormatan atas pandangan Kiai Hasyim Asy’ari. Konon hal yang sama dilakukan oleh Kiai Hasyim. Ketika Kiai Faqih datang ke pesantren Kiai Hasyim di Tebuireng, Kiai Hasyim menyuruh santrinya agar meletakan bedug di masjidnya. Subhanallah. Sungguh, kedua tokoh ulama ini seolah-olah sedang mengajari kita tentang kedalaman ilmu dan kemulian akhlak yang luhur.
Perbedaan pendapat antara Kiai Hasyim dan Kiai Faqih tidak mengurangi kehangatan hubungan antar pribadi keduanya, terlebih hubungan keduanya untuk kepentingan organisasi yang ia besarkan, yaitu jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Filosofi Bedug Digital Satu Abad NU
Keberadaan dan fungsi bedug di Indonesia
sudah dikenal sejak ratusan tahun. Selain berfungsi sebagai penanda masuknya waktu shalat, bedug juga bisa sebagai alat media untuk mengumpulkan masyarakat.
Bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan oleh penyebar agama Islam di Tanah Jawa, baik sejak generasi Walisongo hingga sampai sekarang.
Dalam nalar subjektif penulis, pembukaan Resepsi Puncak Satu Abad NU yang ditandai dengan pemukulan Bedug Digital tentu memiliki arti dan pesan yang sangat penting terkait posisi, peran dan fungsi perjuangan Nahdlatul Ulama kedepan.
Makna yang sederhana dan mudah saya tangkap dari selebrasi pemukulan Bedug Digital tersebut setidaknya memiliki dua makna yang sangat penting;
Pertama, posisi bedug secara digital adalah paduan media tradisional dan modern.
Makna dari paduan tersebut seperti sedang menyemangati jatidiri NU, meneguhkan posisi dan perinsip NU sebagai organisasi keagamaan yang lahir dari ulama tradisional, kiai-kiai pesantren yang teguh memegang perinsip ajaran luhurnya secara turun-temurun (al-muhafadzatu ala al-qadimi as-shalih). Namun demikian, pada saat yang sama, era digitalisasi seperti sekarang warga nahdliyin harus lebih bangkit, maju memanfaatkan platform digital sebagai sarana dakwah untuk bertujuan memperluas jangkauan amar makruf nahi mungkar (al-akhdzu biljadidi al-ashlah).
Selain merawat pola dan sistem dakwah tradisional, warga NU harus mampu mengembangkan pola dakwahnya secara dinamis, terus mengimbangi kemajuan teknologi, dan menjadi warna positif dalam sekat-sekat modernisasi.
Kedua, fungsi suara bedug yang dapat diperdengarkan kepada masyarakat, dapat memiliki arti lebih memperluas kiprah perjuangan NU secara global.
Pandangan dan sikap NU dikancah internasional sangat memiliki potensi untuk menyelesaikan persoalan keagamaan, keumataan atau kemanusiaan secara global. Baik penyelesaian yang dimaksud berhubungan dengan kemaslahatan kemanusiaan secara umum, atau terlebih secara khusus sikap dan pandangan NU dalam membela agama Islam dari segala bentuk penyimpangan akidah dan ibadah.
Refleksi ini ditulis saat dalam perjalanan pulang dari Sidoarjo menuju Jakarta selepas menghadiri acara Resepsi Puncak Satu Abad NU.
KH. Abdul Muiz Ali (Sekretaris Panitia Da’i Internasional Lembaga Dakwah PBNU)