Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
Salah satu bimbingan yang sangat terpuji dari agama Islam, kita diperintahkan agar mencintai sesama manusia bahkan makhluk lain, sehingga setiap orang akan mendatangkan kemaslahatan yang bersifat umum. Kemaslahatan itu mencakup dan meliputi segala aspek kehidupan, termasuk berusaha agar menjadi rahmat bagi kehidupan alam semesta. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantaramu, sehingga engkau mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirimu sendiri. (HR. Bukhari Muslim).
Dalam kehidupan Nabi, para sahabatnya dan kehidupan orang-orang shaleh para pendahulu kita, memberikan contoh dalam kehidupan mereka tentang hal itu. Bahkan dalam praktek kehidupan mereka, dijumpai kegiatan dan aktifitas dengan akhlak terpuji, sehingga dibentuk agar lebih mencintai orang lain dari dirinya sendiri. Rasulullah Muhammad s.a.w. Ketika melakukan perjalanan dengan para sahabatnya, mengarungi padang pasir dan bukit berbatu, sampailah pada suatu saat dimana air persediaannya habis. Dengan demikian Nabi dan para sahabatnya didera oleh kehausan yang sangat berat. Nabi s.a.w. kemudian berusaha masuk ke perkampungan untuk menemui satu keluarga yang memiliki beberapa ekor kambing. Nabi memohon kepada pemilik kambing itu untuk diperbolehkan memerah susunya, untuk diminum oleh para sahabatnya. Pemilik kambing itu mengatakan bahwa pada saat ini mengalami musim panas yang sangat berat, sehingga tidak didapati rumput untuk makanan bambing iu, kambing itu memakan rumput kering sehingga tidak ada air susunya. Nabi tetap memohon izin untuk memerahnya semoga bisa mengeluarkan air susu dari kambing tersebut. Ternyata setelah diperah oleh Nabi secara pelan-pelan, keluarlah air susunya sebanyak satu bejana.
Bejana itu kemudian dimasak dipanaskan lalu setelah air susu tersebut matang, Nabi mengambil gelas dan menciduk dari bejana itu, diberikan kepada sahabatnya satu persatu. Setelah semua sahabat kebagian, Nabi bertanya kepada mereka: “Apakah masih ada yg belum kebagian?” mereka menjawab: “Kami telah kebagian semua”. Semua sahabat Nabi tersebut telah meminum air susu yang disiapkan Nabi, dengan demikian hilanglah rasa hausnya, sementara Nabi sendiri belum meminumnya. Lalu Nabi mengangkat bejana itu, karena air susunya sudah habis, tinggal sisa sedikit, kemudian dituangkan ke dalam gelas, masih tersisa seperempat gelas. Kemudian Nabi mengangkat gelas itu dan masih ditawarkan kepada sahabat: “Apakah masih ada yang belum kebagian?”. Para sahabat banyak yang menitikan air mata melihat perilaku Nabi yang lebih mengutamakan sahabatnya dari dirinya sendiri. Nabi s.a.w. kemudian meminum susu yang tinggal seperempat gelas itu seraya bersabda: “Pemimpin suatu kaum, adalah yang paling terakhir meminumnya”.
Dari peristiwa ini kita dapat memahami dan menghayati secara sungguh-sungguh, betapa mulianya akhlak Rasulullah s.a.w, sehingga beliau lebih mengutamakan sahabatnya dari dirinya sendiri. Pemimpin suatu kaum atau suatu bangsa adalah haddam (pelayan) bagi rakyatnya.
Hudaifah Al Adawi seorang sahabi menginformasikan bahwa pada waktu terjadi perang Yarmuk, ia membawa segelas air putih, ia mencari anak pamannya sekiranya ia masih hidup, maka air itu akan diberikan kepadanya, dan akan diusapkan pada wajahnya. Ternyata anak pamannya telah terluka berat. Pada waktu ia menyerahkan air tersebut untuk diminum, tiba-tiba ada jeritan dari sahabatnya yang terluka juga dan dalam keadaan haus. Ia mengatakan:”air, air”. Keponakan Huzaifah tidak jadi minum, bahkan ia mengatakan: “A’thi, a’thi”, berikan air ini kepada saudaraku. Kemudian Huzaifah membawa air itu ketempat suara tadi. Waktu ia menyerahkan air itu untuk diminum, tiba-tiba ada suara yang sama di tempat lain. Sahabat itu tidak jadi meminumnya seraya berkata: “Berikan kepada saudaraku”. Ketika Huzaifah mendatangi orang yang ke tiga ternyata orang itu telah gugur. Segeralah ia Kembali kepada orang yang kedua, ternyata telah gugur juga, akhirnya ia Kembali kepada anak pamannya (orang yang pertama), ternyata telah gugur juga. Hudaifah menitikan air mata, sangat terharu dengan kasih sayang yang diberikan oleh sesama sahabatnya. Air itu lama tidak diminumnya sampai kemudian dihadiahkan kepada orang lain.
Dari kisah ini, bisa dipahami, betapa tingginya mencontoh perilaku Rasulullah s.a.w. mereka mengutaman orang lain dari dirinya sendiri. Keadaan seperti ini diikuti juga oleh para tabi’in dan orang-orang shaleh sesudahnya.
“Orang-orang Ansar yang telah menempati kota Madinah dan beriman sebelum kedatangan Muhajirin, mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Mereka tidak mendapatkan keinginan di dalam hatinya terhadap apa yang diberikan kepada Muhajirin. Mereka mengutamakan Muhajirin daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Ḥasyr 59:9)
Dr. KH. Zakky Mubarok Syamrakh, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)