Berita terakhir biaya naik haji (BIPIH) ditetapkan sebesar 49,8 juta. Biaya haji sendiri total sekitar 98 juta per jamaah, dan pemerintah menutupi sisanya dengan subsidi dari simpanan setoran calon jemaah haji (calhaj) yang mengantri. Dengan setoran awal 25 juta, maka biaya yang harus dibayar calhaj berkisar 25 juta juga. Cukup berat pastinya buat kebanyakan calhaj dari kalangan menengah bawah. Saat beberapa waktu lalu BIPH sekitar 35 jutaan, calhaj tidak terlalu kesulitan memenuhi sisanya untuk pelunasan. Apalagi banyak calhaj yang berangkat berpasangan suami istri, bahkan satu keluarga. Tentu margin 25 juta dikali sekian orang sangat sangat memberatkan.
Lalu bagaimana baiknya? Salahkah pemerintah yang menaikkan BIPIH segitu tinggi sebagaimana kritik kaum oposisi, padahal kebijakan BIPIH diputuskan bersama DPR yang mewakili rakyat dengan berbagai partainya.
Ibaratnya, situasi ini merupakan konsekuensi dari sistem pembiayaan haji yang diambil pemerintah sejak tahun 2000-an. Era sebelum itu, calhaj yang berangkat betul-betul mereka yang mampu membayar seluruh biaya haji. Jaman itu tidak ada antrian, asal lunas seluruh biaya haji langsung berangkat tahun itu juga. Begitu praktis dan betul-betul selektif berdasarkan asas kemampuan (istitho’ah) sesuai ajaran Islam. Betul-betul berkah karena tidak ada permainan pembiayaan disana.
Setelah di Malaysia sukses dengan Tabung Haji, pemerintah ingin mengadopsi sistem tersebut untuk memudahkan umat Islam berangkat haji. Alih-alih yang dipakai sepertinya skema Ponzi, alias sistem Piramida dimana orang cukup bayar Rp 25 juta diberikan nomor porsi. Yang menyetor dibawah itu tetap diterima namun belum diberikan nomor porsi. Dengan biaya awal semurah itu, apalagi pemerintah mensubsidi sisa biayanya, meledaklah jumlah calhaj di negeri ini. Konon antriannya sudah diatas 20 tahun, bahkan beberapa daerah diatas 30 tahun. Saya membandingkan dengan sistem kredit kendaraan bermotor, asal punya 1 juta bisa bawa motor pulang, dan sisanya kredit. Bahkan pernah dibawah itu DP-nya. Jadilah semua rumah tangga memiliki motor, bahkan lebih dari satu. Jalanan pun bagai lautan motor yang menyemut. Tidak beda dengan haji. Mereka yang secara ekonomi belum istitho’ah pun telanjur berangan-angan berangkat ke tanah suci. Pemerintah pun menginvestasikan dana calhaj yang mengendap, jumlahnya sekitar Rp 160 Triliun, ke beberapa varian investasi,dari mulai Sukuk (surat berharga Syari’ah), perbankan, dan usaha lainnya. Keuntungan dari investasi itu yang akan dipakai mensubsidi selisih biaya BIPIH dari yang disetor jamaah.
Disinilah masalahnya, makin lama subsidi makin naik seiring naiknya total biaya haji yang menembus Rp 100 juta. Ya naik karena tiket pesawat yang membengkak akibat krisis energi dunia yang terdampak perang Rusia-Ukraina, biaya hotel serta konsumsi selama 40 hari. Pemerintah pasti pusing tujuh keliling, bagaimana mensubsidi dengan resiko dana jamaah yang mengantri makin tergerus dan bisa terjadi defisit hingga tidak mampu mensubsid lagi.
Inilah dampak dari tergiurnya pemerintah mengelola dana calhaj yang mengantri, karena jumlah triliunan siapa yang tidak tergiur. Ketika Ketua Umum PBNU bilang jamaah yang tidak mampu tidak usah berangkat, hal itu terasa menyakitkan. Namun demikian seharusnya ajaran Islam. Jangan paksakan diri yang belum mampu. Istitho’ah adalah karunia Allah, dan bagi yang belum diberikan perlu lebih bersabar. Tapi umat Islam tidak bisa disalahkan karena peluang sistem Ponzi tadi dibuka oleh pemerintah. Sekarang semua harus bijaksana menyikapi kondisi ini.
Prinsipnya, jangan memberatkan mereka yang sudah harus berangkat, namun jangan korbankan mereka yang masih mengantri. Ini amanah. Dan pemerintah adalah pemegang amanah.
KH. Jamaluddin F Hasyim, Ketua Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Relasi Antar Lembaga, Ketua KODI DKI Jakarta.