Jakarta, Liputan9.id – Perombakan kabinet atau reshuffle yang santer dikabarkan akan dilakukan Presiden Joko Widodo pada Rabu Pon bertepatan 1 Februari 2023, nyatanya tidak terjadi dan semua hilang dalam sekejap.
Padahal, sudah tersiar di berbagai platform media, perombakan kabinet itu menyasar menteri yang mewakili Partai Nasdem, sebagai buntut partai besutan Surya Paloh itu mengumumkan dukungan pada bakal calon presiden Anies Baswedan dan dinilai minim prestasi beberapa menteri dari partai Nasdem.
Menyikapi hal itu Indonesian Good Governance Watch (IGW) mengomentari sikap presiden soal reshuffle yang ada.
” Ya isu reshuffle kabinet pada tanggal 1 atau tanggal 3 itu tidak terjadi, artinya presiden dilema dan Nasdem terlalu kuat,” ujar Direktur Litbang Indonesian Good Governance Watch (IGW) Sandri Rumanama kepada wartawan, Jumat (2/2/2023).
Dijelaskannya, bagi pria berdarah Ambon ini, perombakan kabinet yang gagal atau ditunda Presiden itu terjadi bisa diprediksi jauh-jauh hari. Apalagi, jika perombakan itu menyasar kader Nasdem, tak semudah yang diasumsikan.
Menurut Sandri, Presiden benar-benar dilema dalam persoalan ini, apalagi issu reshuffle dihembuskan oleh kader partai besutan Megawati Soekarnoputri (PDI-P), dan ditambah masifnya desakan dari relawan yang membuat Presiden sulit mengambil keputusan.
“Karena terlepas dari tekanan partai koalisi dan para relawan atas ketidaknyamanan mereka, karena dukungan Nasdem terhadap pencapresan Anies, tapi ada hal lain yang dimiliki Nasdem yang tak dimiliki oleh parpol lain sehingga sulit bagi Presiden Jokowi melepas Nasdem begitu saja,” terangnya.
Rumanama meyakini, Presiden Jokowi dalam situasi simalakama untuk merombak kader Nasdem di kabinet. Bahkan dilema itu jauh lebih berat dibandingkan mencopot menteri dari kader partai politik koalisi lainnya.
“Melepas Nasdem bagi Presiden Jokowi itu ibarat simalakama, jika salah mengambil keputusan maka bisa sangat fatal. Pilihan merombak Nasdem tidak semudah merombak partai lain,” tandasnya
Rumanama mengatakan, dalam situasi seperti ini Presiden butuh seorang figure yang bisa merangkul dan meminimalisir political interest (kepentingan politik) dan bukan dari kalangan partai politik.
“Presiden butuh figure pengimbang dan tidak terkooptasi pada sekte kepentingan politik yang ada, bisa merangkul, independent, dan bukan dari kalangan partai politik untuk meminimalisir potensi konflik kepentingan yang sedang berkembang,” paparnya.
Rumanama menyodorkan beberapa nama seperti, Ir. H. Haidar Alwi, Komjen. Pol. (Purn.) Drs. Ari Dono Sukmanto, Jenderal TNI (Purn.) Mulyono. Prof Benny Riyanto, Prof. Akhmaloka, Ph.D. dan masih banyak lagi.
Menurut Rumanama nama-nama yang disebutkannya bebas dari kepentingan praktis partai politik, sehingga bisa merangkul berbagai kepentingan yang akan muncul nantinya. (*)