Bondowoso | LIPUTAN9NEWS
Selama berada di kota Ketapang, saya tidak melulu berdakwah di atas podium melainkan juga kerapkali diajak diskusi ditempat saya tinggal, kafe dan saat berada didalam mobil oleh para analitis hukum Islam Burhanuddin, SE. KH. Faruq Adra’ie pengasuh pondok pesantren Baitul Atieq Kalimantan barat tentang hukum PEMINGSANAN SAPI sebelum disembelih.
Sejenak saya hanya mendengarkan saja dan menyerap aspirasi mereka semua. Sempat saya jawab secara diplomatis katena tempat tidak memungkinkan. Namun kali ini, saya mencoba menjawabnya secara komprehenship.
Pada proses penyembelihan hewan kurban di Hari Raya Idul Adha dan penjagalan sapi dibeberapa tempat sering kita jumpai, hewan yang akan disembelih mengamuk bahkan lepas sehingga sulit untuk disembelih. Tidak jarang hewan kurban yang mengamuk mengakibatkan luka pada manusia dan banyak terekam oleh warganet sehingga viral di media sosial.
Di antara metode untuk mempercepat proses penyembelihan adalah dengan pemingsanan atau dikenal dengan stunning. Bagaimana pandangan hukum fiqih terhadap metode yang juga digunakan bukan hanya untuk hewan kurban namun juga industri besar perdagingan?
Dalam artikel NU Online berjudul Hukum Stunning atau Pemingsanan Hewan Sebelum Disembelih, dijelaskan bahwa stunning adalah menghilangkan kesadaran hewan yang disembelih sehingga tidak melakukan perlawanan. Metode ini di antaranya dilakukan dengan cara mekanik, listrik, atau kimiawi.
Metode mekanik dilakukan dengan misalnya melakukan pukulan tertentu pada lokasi yang menyebabkan hewan melemah dan hilang kesadaran. Metode listrik, semisal dengan menempatkan elektroda dengan voltase tertentu, yang membuat hewan tak sadarkan diri. Dan metode kimiawi, misal dengan penggunaan kamar gas.
Bagaimana tindakan stunning ini dari sudut pandang fiqih?
Metode pemingsanan atau stunning ini termasuk dalam kategori penyembelihan modern. Syekh Wahbah az-Zuhaily dalam al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu menyebutkan bahwa tidak ada halangan untuk memperlemah gerakan hewan tanpa penyiksaan.
Terkait dengan metode ini, MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam fatwa nomor 12 tahun 2009 menyebutkan bahwa stunning diperbolehkan. Berikut beberapa ketentuan yakni:
Stunning hanya menyebabkan hewan pingsan sementara dan lemah, tidak menyebabkan kematian atau cedera permanen. Stunning bertujuan mempermudah penyembelihan. Tindakan penyembelihan pada hewan yang dipingsankan tetap menggunakan prinsip memotong khulqum (tenggorokan), mari’ (kerongkongan), serta pembuluh darah leher.
Pemingsanan tidak dengan bertujuan menyiksa dengan segera melakukan penyembelihan. Alat yang digunakan hendaknya tidak digunakan bersamaan dengan hewan non-halal, semata demi menjaga kesucian. Teknis perlakuannya mesti mendapat rekomendasi dan dipantau oleh ahli, sehingga syarat di atas terpenuhi, alat yang digunakan aman bagi penyembelih, hewan tetap aman dikonsumsi, serta dalam konteks industri, kualitasnya terjaga.
Ketentuan di atas mesti tanpa mengabaikan hewan yang disembelih adalah hewan yang halal, serta pelakunya terampil dan tahu tata cara penyembelihan yang sah sesuai fiqih,”jelas penulis para mereka. Semoga jawaban sederhana ini dapat mencerahkan mereka semua. Amin.
Salam akal sehat, Pesaguhan Ketapang, 26 September 2024
Dr. KH. Muhammad Saeful Kurniawan, MA, Penulis buku Desain Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Teori dan Praktik Penelitian