Di saat-saat senggang, bila ia tidak sibuk di sawah, dianyamnya daun-daun pandan di pagi hari hingga azan zuhur berkumandang dari sebuah mesjid yang dilantangkan dengan menggunakan speaker bertenaga accu, lalu setelah zuhur dan setelah menyiapkan makan siang bagi anak-anaknya, ia mulai menganyam lagi, dan daun-daun pandan kering yang dianyam dengan jari-jemari tangannya yang cekatan dan sabar itu telah menjelma tikar di saat senja.
Di hari yang lain ia akan mencari kayu-kayu kering yang jatuh dari pohon-pohon sepanjang pinggir jalan atau mematahkannya jika ranting-ranting dan dahan-dahan kering itu masih bertengger di pohon, dan adakalanya ia memotong sejumlah dahan pohon, yang kemudian ia potong-potong dan ia belah untuk dijemur dan dikeringkan. Kayu-kayu kering itu ia gunakan untuk menyalakan dapur bila ia memasak.
Di malam harinya, yang ia lakukan setiap malam selepas sholat magrib, ia akan mengajari anak lelakinya yang kala itu masih berusia lima tahun untuk menyebutkan dan mengeja huruf-huruf hijaiyyah dan membacakan surat-surat pendek dalam Al-Quran kepada anak lelakinya yang masih balita itu.
Sebagai seorang perempuan desa, ia hanya lulus sekolah dasar saja, yang di masanya disebut Sekolah Rakyat (SR). Meskipun ia hidup sederhana dan bersahaja, orang-orang di kampungnya menghormati dan mencintainya, orang-orang kampung tidak akan menghina karena kesederhanaan dan kesahajaannya, karena kakek dari anak-anaknya adalah lelaki terpandang, dan terbilang cukup kaya.
Ia juga perempuan berusia 30-an lebih yang setia dan akrab bersama pohon-pohon rosella yang ditanam dan dirawatnya, selain pohon-pohon lainnya yang ia tanam untuk kebutuhan makan sehari-hari keluarganya dan untuk dijual, seperti kangkung, tomat, kacang dan jenis tumbuh-tumbuhan sayur lainnya.
Setelah itu, selepas ia sholat isya, ia akan berdoa, yang terdengar seperti keluhan yang samar, seperti seseorang yang mengadu kepada malam yang sunyi, basah, dan senyap. Kesabaran dan ketabahan yang dimilikinya pastilah karena cintanya kepada anak-anaknya –selain rasa tanggungjawabnya sebagai seorang ibu.
Tapi, barangkali, bagi orang-orang desa yang terbiasa hidup sederhana dan bersahaja itu, sayur berkuah banyak, nasi, dan sambal saja sudah cukup bagi mereka sekedar untuk menghilangkan rasa lapar.
Anak perempuannya yang telah bersekolah di sekolah menengah pertama tampak kecewa ketika mendengar apa yang ia ucapkan, karena si anak perempuannya itu semula hendak meminta uang kepadanya untuk membeli buku bagi keperluan sekolahnya, sekedar buku catatan, di saat buku-buku catatan sekolah anak perempuannya itu memang sudah penuh dengan catatan-catatan pelajaran sekolahnya.
“Tunggulah sampai kakakmu mendapat gaji pertamanya sebagai karyawan,” demikian ia menghibur si anak perempuannya itu, “tinggal beberapa hari lagi kakakmu akan mendapat gaji pertamanya.”
Memang ia mengandalkan anak lelaki tertuanya yang telah bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik kertas yang baru beroperasi untuk membantunya menghidup anak-anaknya yang masih kanak-kanak dan yang sudah bersekolah di sekolah menengah pertama itu.
Haruslah ia akui, hasil penjualan dari sejumlah tanaman yang ditanam dan dirawatnya tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah, seperti untuk membeli buku-buku paket dan buku mata pelajaran wajib, setelah kebutuhan untuk makan sehari-hari, dan karena itu ia mengandalkan anak lelaki tertuanya yang telah bekerja di sebuah pabrik dengan gaji bulanan yang didapat anak lelaki tertuanya itu.
Namun, yang barangkali haruslah pembaca ketahui, sebelum anak lelakinya lulus sekolah menengah pertamanya dan kemudian bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik kertas itu, ia adalah perempuan yang harus berjuang dengan sabar untuk mempertahankan keluarganya, meski harus menjalani kehidupan yang sederhana dan bersahaja.
Barangkali, dapatlah dikatakan, ia adalah seorang perempuan yang haruslah diistilahkan sebagai ibu dalam segala hal bagi keluarganya yang dicintainya dan dipertahankannya dengan kesabaran dan ketabahan dalam kesederhanaan dan kesahajaan sebagai orang desa –orang yang sudah terbiasa akrab dengan keterbatasan.
Sulaiman Djaya, Pengurus Majelis Kebudayaan Banten