Lampung, LIPUTAN 9 NEWS
Kini banyak penceramah senang bercerita tentang keramat wali-wali di hadapan orang awam, entah apa motivasinya, mungkin agar ia disangka wali atau demi mencari pengaruh keuntungan dari orang awam agar selalu condong “tunduk” kepadanya, sebagaimana tersembunyi dalam alam bawah sadarnya. Padahal kalangan awam dalam beragama lebih membutuhkan ilmu agama yang fardlu ‘ain. Saya merasa ceramah umum tentang keramat wali itu tidaklah penting, relatif tidak dibutuhkan dan tentu saja saya tidak suka mendengarnya.
Di antara yang prinsip dalam ajaran Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah percaya dan membenarkan adanya keramat para wali (karamat al-auliya’). Karamah hanya terjadi dari seorang wali (kekasih Allah), sebagaimana mukjizat itu terjadinya suatu peristiwa di luar nalar dan di luar kebiasaan pada seorang Nabi untuk melemahkan para pengingkarnya.
Adapun wali adalah orang yang memiliki aqidah yang benar, membiasakan diri beramal shaleh dan senantiasa meneladani Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallama. Peristiwa tidak masuk akal di luar kebiasaan seperti menusuk tubuh dengan benda tajam, menyantap bara api, pecahan kaca, berjalan di permukaan air tanpa perahu atau kemampuan untuk terbang di udara tanpa sayap dari orang-orang yang terbiasa durhaka (maksiat) kepada Allah tidak bisa disebut karamah, melainkan dinamakan istidraj.
Seorang wali bukanlah orang yang merasa nyaman dan merasa hebat dengan karamah yang ada pada dirinya, sebaliknya penampakan karamah darinya menambah rasa takut yang teramat sangat kepada Allah ta’ala dan bahkan ia merasa khawatir jika itu terkategori sebagai istidraj. Sebaliknya, pendurhaka merasa nyaman hatinya bila peristiwa di luar nalar itu terjadi dari dirinya, sedangkan ia menduga bahwa peristiwa luar biasa tersebut justru sebagai karamah yang patut melekat padanya, sehingga karenanya ia mudah meremehkan orang lain dan menjadi sombong (takabbur).
Apabila seseorang merasa berhak atas karamah karena amal baiknya dan merasa karenanya telah merasa memperoleh karamah, maka hatinya telah diliputi dosa dan dapat dipastikan bahwa ia tergolong sebagai orang bodoh (jahil). Sebab, bila ia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya maka ia pasti menyadari bahwa setiap ketaatan makhluk di sisi keagungan Allah pasti sangatlah kurang, setiap rasa syukur mereka di hadapan banyaknya nikmat Allah yang tak terhingga adalah tiada apa-apanya, dan setiap ilmu pengetahuan yang dikuasainya dibandingkan keagungan Allah hanyalah menambah kebingungan dan ketidaktahuan belaka.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka kita tidak serta merta dapat memastikan bahwa seseorang yang berperilaku aneh di luar kebiasaan adalah wali (kekasih Allah) dan tidak pula bisa menyimpulkannya sebagai karamah, sehingga kita mengukur amal perbuatannya dengan ukuran kebenaran, yaitu sejalan atau tidak dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu, seorang shufi besar ternama, al-Imam al-Junaid mengatakan,
لو رأيتم الرجل يمشي على الماء أو يطير في الهواء فلا تغتروا به حتى تنظروا حاله عند الأمر والنهي ( الزواجر :٢ / ٢٨٥ )
“Andaikata kalian melihat seseorang yang berjalan di permukaan air atau terbang di awang-awang, maka kalian jangan dulu tertipu sehingga kalian melihat keadaannya dalam (mematuhi) perintah Allah dan (menjauhi) larangan-Nya.”
Menurut kalangan ulama ahli tashawwuf, sengaja menampakkan karamah hanya diperkenankan karena dua tujuan. Pertama, untuk maksud menolong berlakunya aturan Allah di hadapan para pengingkarnya, dan kedua untuk tujuan membatalkan sihir dari para pendosa yang menyesatkan manusia dari agamanya. Sedangkan menampakkan karamah tanpa sebab yang disyari’atkan merupakan perbuatan tercela.
Masih menurut kaum shufi, bahwa karamah teragung adalah istikamah menjalankan aturan-aturan agama. Abu al-Qasim al-Qusyairiy dalam Risalah al-Qusyairiyyah halaman 160 menyatakan,
واعلم أن من أجل الكرامات التي تكون للأولياء دوام التوفيق للطاعات والحفظ من المعاصي والمخالفات
“Ketahuilah bahwa karamah teragung yang ada pada para wali (kekasih Allah) adalah langgengnya pertolongan Allah untuk melakukan berbagai ketaatan, dan keterjagaan dari beragam kemaksiatan dan penyimpangan.”
Perlu juga diketahui bahwa tidak setiap orang yang mempunyai karamah itu selalu lebih utama dibandingkan orang yang tidak memilikinya. Adakalanya sebaliknya, sebagian orang yang tidak memiliki karamah justru ada yang lebih utama dibandingkan dengan sebagian orang yang memilikinya, karena kuatnya keimanan dan keyakinan itu lebih utama daripada karamah. Bahkan menurut kaum shufi, tidak tampaknya karamah pada seseorang tidak bisa dijadikan sebagai dalil bahwa seseorang itu pasti bukan seorang wali atau bukan kekasih Allah.
Dan yang terpenting betapa pun kita telah berupaya maksimal menaati Allah sepanjang hayat, jangan pernah mengaku telah menjadi wali Allah, jangan mengharapkan untuk memperoleh karamah dan mengaku punya karamah. Sungguh Allah Maha Dekat dengan setiap kita, namun karena memperturutkan hawa nafsu dan mematuhi godaan syetan yang terkutuk maka kita menjadi orang yang jauh dari-Nya. Semoga kita menjadi orang yang selalu rendah hati.
Artikel dengan judul “Jangan Mengaku Wali dan Merasa Punya Keramat” ini diambil dari akun medsos penulis. Isi dari karya tulis ini sama persis dengan teks aslinya tanpa penambahan dan pengurangan. Kecuali penambahan keterangan tentang penulis.
KH. Ahmad Ishomuddin, Penulis adalah Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, Rois Syuriyah PBNU Masa Khidmat (2010-2021)