Bekasi, Liputan9.id – Saya mendengar nama pesantren Babakan saat masih kecil tentu dari alumninya langsung, yang tak lain ayahku sendiri, H. Afandi Tahmid, almarhum ayahku adalah alumni tahun 1966, beliau tidak lama di mesantren di Babakan, hanya enam tahun saja, tepatnya sejak tahun 1960, tapi kebanggaannya dan militansinya tak diragukan lagi. Banyak kisah tentang para guru dan kyainya, juga sederetan kenangan saat mesantren di era perjuangan tersebut, dimana pada kurun itu rakyat Indonesia sedang mengalami masa sulit, baik perekonomian maupun situasi politik, dari peristiwa gerakan komunis, juga dinamika peralihan orde lama ke orde baru.
Alhasil kisah-kisah heroik tentang Babakan tersebut sengaja dikenalkan beliau kepada saya, tentu dengan harapan agar anak-anaknya kelak mengikuti jejak bapaknya, mesantren di Babakan juga. Salah satu yang menjadi kebanggan bahwa beliau satu kelas dengan anak gurunya, yaitu KH. Yahya bin KH. Masduqi Ali, saat belajar di Madrasah al-Hikamus Salafiyah (MHS).
https://twitter.com/Liputan9id/status/1576212790909366275?s=20&t=MV59FbAZn–8VaYSeR-dOw
Yang menarik saat ayahku mengantar saya ke Babakan, saya dititipkan kepada KH. Masduqi Ali pengasuh pesantren Miftahul Muta’allimin (PPMM), saat Itu beliau sebagai sesepuh Pesantren Babakan. Menariknya karena pada tanggal itu Mama Yai -panggilan untuk kyai Masduqi- sedang resepsi walimatul ‘arus putrinya mbak Hj. Hamidah, Lc. dengan saudaranya yang juga teman kuliahnya di Ummul Qurro’ Mekkah; Ustadz Muhaimin As’ad, Lc. Sementara aqad nikahnya sudah lebih dahulu dilaksanakan dihadapan Syekh Yasin al-Fadani di Mekkah al-Mukarromah.
Singkat cerita setelah ikut test, alhamdulillah saya diterima di MHS kelas 5 tingkat Ibtidaiyah. Saya tinggal di kamar di komplek B-7, namun setelah berjalan tiga bulan saya pindah di kamar A-11, kedua bilik tersebut dihuni para santri yang berasal dari desa Jagapura, asal kelahiranku. Namun kurang dari setahun saya pindah lagi ke asrama al-Kalsum, pesantren milik ibu Nyai; Hj. Sujinah, istri dari almarhum Ki Amin Sepuh, baik Ki Masduqi maupun Ki Amin Sepuh, keduanya adalah menantu dari Ki Madamin (KH. Muhammad Amin).
Di asrama al-Kalsum pun, saya bertahan sekitar setahun empat bulan, tepatnya pas menginjak tingkat Tsanawiyah, saya pindah lagi ke pesantren Assalafie hingga tamat Aliyah. Pesantren Assalafie ini diasuh oleh Mama KH. Syaerozi Abdurrahim, menantu dari KH. Abdul Hannan.
Saat mesantren di pondok Miftahul Muta’allimin ada beberapa kenangan menarik dengan pengasuhnya yaitu KH. Masduqi Ali, namun sebelumnya saya sedikit ingin menyampaikan sosok kiyai kharismatik tersebut, yang sebelumnya pernah saya tulis dalam artikel di NU Online pada tahun 2016 dengan judul KH Masduqi Ali Babakan, Sekretaris Pribadi Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, disitu dijelaskan bahwa kehadiran Kyai Maduqi Ali atas usul Kyai Solihin bin KH. Madamin agar dinikahkan dengan adiknya, walaupun konon sempat ada perdebatan dari keluarga, tapi demi kemajuan dan pengembangan pesantren Babakan akhirnya KH. Masduqi Ali diterima dengan baik dan menikah dengan Ny. Hj. Munjiah binti KH. Madamin.
Sebagai alumni Tebuireng dan sekretaris pribadi Mbah Hasyim Asy’ari, Kyai Masduqi dikenal seorang yang cerdas dan tegas, dengan memiliki keahlian menulis kaligrafi gaya naskh yang indah. Kealiman beliau pun diakui oleh Gus Dur, bahkan Gus Dur sempat meminta Mama Yai Msduqi untuk menjadi Rois Am menggantikan KH. Ali Yafie yang mundur, namun Allah punya kehendak lain, beliau keburu wafat pada tahun 1991, setahun sebelum pelaksanaan Munas Alim Ulama di Lampung (1992) yang mengagendakan penetapan Rois Am yang kosong tersebut dan akhirnya terpilih KH. Ilyas Rukhiyat sebagai Rois Am, Kyai Ilyas sebelumnya adalah Rois Syuriyah PWNU Jabar asal Cipasung Tasikmalaya tersebut.
Penguasaannya tentang ilmu mantiq (logika) tidak diragukan lagi, kadang beliau sering bercanda namun kadang tidak difahami oleh lawan bicaranya, karena mimik beliau sulit dibedakan antara serius dan bercanda, hal ini pernah terjadi saat saya pertama kali sowan sebagai santri baru, saat ayahku menitipkan kepada Mama Yai Masduqi, ayahku meminta doa agar anakku betah dan dapat ilmu yang manfaat, dan sebagai orang tua, minta diberikan “kesabaran” selama anak sulungnya tersebut mesantren.
Namun tanpa disangka, harapan agar didoakan oleh Kiyai, alih-alih beliau malah menjawab dengan nada tinggi, “Gak boleh minta doa sabar, sabar itu sifatnya Allah yaitu “ashshobur” akhirnya ayahku terdiam menunduk, rupanya Kiyai bercanda tapi dengan bahasa tubuh yang sulit dibaca, namun akhirnya Kiyai berdoa dan kami pun mengamininya dengan khusyuk.
Cerita terkait sowannya santri baru ini memang banyak kisahnya, salah seorang tamu lain juga sempat menceritakan pengalaman menariknya. Diceritakan suatu Ketika seorang wali santri sowan kepada Kiyai Masduqi, beliau menyampaikan keinginannya untk menitipkan anaknya di pesantren kepada Kiyai, tapi karena mau nitip anak, Kiyai dengan enteng menjawab; “kalau mau nitip anak, silahkan taruh dipojok tembok situ aja ya”. Sontak jawaban spontan Kiyai ini membuat wali santri ini tak berkutik dan minta maaf, tapi lagi-lagi Kiyai memakluminya dan menerima anaknya untuk belajar di pondoknya.
Saat saya sudah menjadi santri baru, ada kisah unik juga, suatu Ketika dalam pengajian rutin ba’da subuh yang diadakan di serambi selatan masjid Miftahul Muta’allimin, karena pengajian itu masih pagi buta, maka Ketika Kiyai menulis materi di papan tulis dengan kapur dan khat indahnya, saya yang duduk dibarisan depan, tanpa sadar saya terkantuk, melihat ada santrinya yang mengantuk, Kiyai langsung menegurnya, namun dengan bahasa sindiran kira-kira kalu diterjemahkan Bahasa Indonesia seperti ini; ”kalau sudah malas ikut ngaji kenapa ditunjukkan dengan isyarat ngantuk seperti itu…”, sontak sindiran beliau mengagetkan saya, dan tiba-tiba mata saya langsung melek, dan berkah, rasa kantuk pun jadi hilang seketika. Inilah sekelumit catatan kecil dari banyak kenangan saat menjadi santri kiyai yang alim dan berwibawa Allah yarham Mama Kiyai Masduqi Ali.
Bekasi, 01 Oktober 2022
Oleh: Dr. KH. Sa’dullah Affandy, M.Ag, Direktur Ekskutif SAS (Said aqil Siroj) Institute, Wakil Ketua Umum PP. MAKOM ALBAB (Majelis Komunikasi Alumni Babakan), Dosen Universitas Negeri Jakarta.