Menyambut Haul ke-23 KH. Syaerozie ada satu hal yang masih teringat oleh penulis, yaitu ketika suatu kesempatan saat menjadi santri beliau, sekitar tahun 1990. Tepatnya setelah mengimami jamaah sholat magrib, Mama Ozi (panggilan akrab KH. Syaerozi) rutin “transit” duduk di kursi teras belakang rumah yang menghadap musholla pondok dengan tanpa lampu penerang. Beliau di situ mudawamah dzikir sambil mengawasi kegiatan santri baik yang mengaji Al-Qur’an dan sorogan kitab kuning dengan para asatidz sambil menunggu azan isya tiba.
Karena hari itu hari Jumat, penulis baru ada kegiatan di luar dan dengan santainya masuk menuju pondok melewati lorong gerbang diantara musholla dan ndalem pengasuh tersebut, saat penulis lewat, penulis kaget melihat Mama kyai masih berada di situ, langsung saya mendekat untuk sungkem. Kyai kemudian bertanya: “Dari mana Dun?’”, Saya jawab; “Saya habis ada kegiatan rutin tiap jumat dan waktu luang yaitu dengan menulis kitab terjemah Alfiyah ibn Malik, Qothrotul Fikriyah, karya Ustadz Muhammad Nasir, santri senior pondok Kebon Melati asuhan KH. Muhammad”.
Sambil penulis menyodorkan naskah tulisan kitab, Kyai kemudian berpesan: “Santri itu harus belajar langsung dari kitab asli, jangan belajar dari kitab terjemahan”. Setelah itu penulis dipersilahkan untuk melanjutkan masuk pondok. Besok paginya, di kelas III Aliyah Madrasah Al-Hikamus Salafiyah (MHS) kebetulan jadwal Mama KH. Syarozie mengajar kitab Bidayatul Hidayah, beliau mengulang pesan semalam tentang pentingnya santri ketika belajar harus dari kitab asli. Begitu seriusnya beliau mewanti-wanti hal ini sehingga sampai mengulang kembali pernyataannya.
Dari sini penulis kemudian menyimpulkan bahwa pesan beliau ini benar dan sangat penting. Setidaknya jika belajar mengandalkan dari terjemahan, maka kita tidak bisa memahami pemikiran muallif (penyusun) kitab secara langsung, tapi sudah terdistorsi oleh bahasanya penerjemah, yang belum tentu sama dengan tujuan yang diharapkan penyusunnya langsung. Dan membaca lewat terjemahan juga tidak bisa mempraktekkan langsung kaidah gramatika nahwu-shorof saat membaca terjemahan tersebut. Jadi maksud “larangan” bagi para santri membaca terjemahan itu dikhawatirkan menjadi bacaan dan rujukan utama dengan mengenyampingkan kitab aslinya. Kitab terjemahan itu sifatnya hanya membantu dalam memahami isi buku, mirip seperti apsahan kitab, walaupun bisa jadi tidak utuh maksud yang dikehendaki penulisnya.
Itu sekelumit kenangan penulis dengan Mama KH. Syaerozie adalah Kyai yang sangat peduli dengan masa depan santri dan alumninya. Termasuk mensupport penulis ketika aktif di PP-IPNU yang sekretariatnya di PBNU. Beliau selalu mewanti-wanti setiap ada kejadian apapun di PBNU agar menghubunginya. Maka saat reformasi tahun 1998, dimana ada issu bahwa Gedung PBNU akan dikepung oleh massa liar, penulis turut berjaga-jaga disana, pada saat tengah malam penulis menelpon Mama Yai Syaerozie. Penulis meminta doa dan dukungan agar Gedung PBNU dan kami serta para Banser yang berjaga selamat dari ancaman dan serangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Akhirnya, kami berjaga sampai pagi dan Alhamdulillah, issu serangan itu tidak terjadi. Penulis sempat mondok pesantren Assalafie saat menginjak tingkat Tsanawiyah MHS pada tahun 1985. Setelah sebelumnya tinggal di pesantren Miftahul Muta’allimin asuhan KH. Masduqi Ali dan pesantren Al-Kalsum, keputusan pindah ke pesantren Assalafie, dengan alasan banyak teman sekelas yang tinggal disana. Sehingga memudahkan untuk diskusi tentang pelajaran juga musyawarah kelas. Termasuk Kang Yasif, putra KH. Syaerozie dan Kang Hasan Sofwan, sempat sekelas saat di Ibtidaiyah, sebelum mereka melanjutkan ke Lirboyo. Posisi pondok Assalafie sendiri lokasinya lebih dekat dengan MHS. Sehingga memudahkan untuk akses bahkan tidak harus pakai sandal, karena tersedia bancik (batu pijakan) penghubung pondok menuju madrasah.
KH. Syaerozie merupakan menantu dari KH. Abd. Hannan. Istri Kyai Hannan, Nyai Shulaha adalah kakak dari Nyai Munjiah Masduqi dan Nyai Sujinah Amin. Jadi kepindahan penulis ke ketiga asrama pondok tersebut, kesemuanya masih satu kerabat, yaitu anak dan cucu dari Kyai Madamin.
KH. Syaerozi, dikenal alim, penguasaannya dalam disiplin ilmu Fiqh, Nahwu-Shorof, Balaghoh dan ilmu agama lainnya. Tidak diragukan lagi, namun beliau sangat tawadhu’ dan rendah hati. Pendidikan beliau setelah belajar kepada orang tuanya KH. Abdurrohim di Kepuh Palimanan, beliau mesantren ke Babakan. Terus pindah ke Lasem, lanjut ke Pesantren Sarang dan kembali lagi ke Babakan untuk khidmah dan ngalap berkah.
Saat mengabdi di Babakan inilah kemudian beliau diambil sebagai menantu oleh gurunya, KH. Abdul Hannan, yang menikahkan putrinya yang bernama Ny. Hj. Tasmi’ah dengan KH. Syaerozi. Garis keturunan KH. Syaerozie, dari berbagai jalur menyambung sampai ke KH. Hasanuddin (Ki Jatira) pendiri Pesantren Babakan, Syekh Muhyi Pamijahan, bahkan hingga ke Syekh Syarif Hidayatullah.
Salah satu kealiman KH. Syaerozie walaupun tidak pernah mengenyam pendidikan di Timur-tengah, beliau memiliki beberapa karya tulisan berbahasa Arab. Seperti kitab Bad’ul Adib nadzom dari kitab Mughni Labib (ilmu gramatikal Arab), kitab Syarh Al-Luma’ (ilmu ushul fikih). Juga Khulashoh Fi Ilmi Al-Mustholah (Ilmu Hadits), Abyat As Salaf (gubahan sya’ir), Rasa’il Fil Adab Az Ziyaroh (Etika Ziarah Kubur).
Penguasaannya dalam berbagai disiplin ilmu tersebut, tak heran jika beliau selalu aktif dalam forum bahsul masail NU. Baik di tingkat cabang, provinsi hingga beberapa kali terlibat di forum nasional seperti Munas dan Muktamar NU. Setidaknya saat penulis menjadi panitia Munas NU di Lombok tahun 1997 dan Muktamar Lirboyo tahun 1999. Penulis menyaksikan langsung dan sempat mendampingi beliau yang sangat aktif dalam forum pertemuan para ulama nasional tersebut.
Dr. H. Sa’dullah Affandy, Direktur Ekskutif SAS Institute, Wakil Ketua Umum MAjelis Komunikasi Alumni Babakan (MAKOM ALBAB), Dosen Universitas Jakarta (UNJ)