ABSTRAK
Artikel ini menjelaskan konsep tabanni yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir dan keterkaitannya dengan tingkat penerimaan masyarakat terhadap ide, pendapat, dan cita-cita Hizbut Tahrir. Dengan menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan analisis isi (content analysis), observasi, wawancara dan studi pustaka, penulis menemukan bahwa aktivis HTI gagal mensosialisasikan ide, pendapat dan cita-cita mereka, karena kalah dalam uji di ruang publik dalam perspektif Habermas. Hal ini dibuktikan dengan dukungan masyarakat kepada pemerintah terhadap pencabutan badan hukum HTI. Kegagalan ini disebabkan oleh konsep tabanni yang mereka adopsi demi menjaga kesatuan internal, yang ternyata membawa dampak negatif terhadap interaksi dan komunikasi aktivis HTI dengan pihak eksternal. Konsep tabanni yang dilembagakan bersifat semu, tidak dapat mencegah perpecahan internal yang kerap terjadi dampak dari model organisasi kepartaian dan pola kepemimpinan tunggal yang bersifat semi militer.
Kata kunci: Ideologi, tabanni, kekuasaan-pengetahuan, khilafah, kepentingan kognitif.
PENDAHULUAN
Sudah lima tahun legalitas organisasi Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) dicabut oleh Menteri Hukum dan HAM pada hari Rabu, (19/08/2017). Pencabutan Surat Keterangan Organisasi HTI berdasarkan Perppu no. 2 tahun 2017 pasal 80A. (Hukum, 2017; Humas Kemenko Polhukam, 2017). Meskipun demikian, kegiatan para aktivis eks-HTI masih berjalan walau dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Sesekali mereka mengadakan aksi unjuk rasa dengan menggunakan nama-nama samaran di beberapa tempat. Hal ini bisa dipahami karena dorongan ideologi yang menggelora di dalam diri mereka, menuntut mereka untuk terus bergerak sampai khilafah berdiri. (an-Nabhani Taqiyuddin, 2001a, 2016).
Segaris dengan definisi organisasi mereka yang dibuat oleh pendirinya, yaitu Hizbut Tahrir adalah partai politik yang mengadopsi ideologi Islam yang berbentuk kepartaian dan semua aktivitasnya bersifat politik. Mereka bertujuan mengulang dan meneruskan lagi kehidupan ala Islam melalui pendirikan Khilafah yang menegakkan hukum Islam dan menyebarkan misi Islam ke penjuru dunia. (an-Nabhani Taqiyuddin, 2001, 81). Mereka menyebut organisasi mereka dengan kata Hizbut Tahrir yang artinya partai pembebasan, guna menegaskan bahwa Hizbut Tahrir bukan pesantren, bukan madrasah, bukan organisasi sosial kemasyarakatan, bukan tarekat yang menonjolkan aspek spiritualitas dalam Islam, bukan institusi akademis dan ilmiah, dan bukan organisasi kerahiban yang jauh dari realitas masyarakat. Menyampaikan dakwah dengan bimbingan dan nasihat merupakan salah satu kegiatan politik Hizbut Tahrir. (Zallum Abdul Qadim, 1985).
Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) menjalankan semua fungsi partai politik (rekrutmen, kaderisasi, edukasi, artikulasi, agregasi, komunikasi) kecuali fungsi legislasi karena HTI tidak mempunyai fraksi dan wakil di parlemen. (Darmawan Ikhsan, 2018; Hawari Muhammad, 2010; Maurice, 2014). Kumpulan ide, pendapat dan hukum fiqih yang diadopsi (tabanni) oleh Hizbut Tahrir, wajib di-tabanni oleh setiap anggota. Semua anggota wajib mengambil dan menjadikannya sebagai ide, pendapat dan hukum fiqih milik pribadi. Ide, pendapat dan hukum fiqih Hizbut Tahrir adalah ide, pendapat dan hukum fiqih anggotanya, tanpa memandang apakah ide, pendapat dan hukum fiqih yang di-tabanni tersebut benar atau salah, menyeluruh atau terperinci, kuat atau lemah dan banyak atau sedikit, karena keterikatan seorang anggota dengan Hizbut Tahrir terletak pada tabanni. (Hizbut Tahrir, 2001, Hizbut Tahrir, n.d.). Sedangkan bagi calon anggota (daris), para pendukung dan simpatisan serta masyarakan umum; Diarahkan, dianjurkan dan dikondisikan agar turut men-tabanni. (Hizbut Tahrir, n.d.-a, 2001; Radhi Muhsin, 2012).
Tabanni merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi seorang calon anggota supaya diterima menjadi anggota (hizbiyin). Untuk itu, maka, sebelum menjadi anggota, seorang calon anggota diminta mengucapkan sumpah (qassam), yang salah satu isinya berbunyi: mutabaniiyan ara a Hizbut Tahririt Tahrir hadza qaula wa ‘amalan, wa afkarahu wa dusturahu (men-tabanni pendapat-pendapat Hizbut Tahrir ini dengan perkataan dan perbuatan, ide-idenya dan konstitusinya). (Hizbut Tahrir, 1995; Hizbut Tahrir, n.d.-a; Za’rur, 2016).
Ide, pendapat dan hukum fiqih yang di-tabanni oleh Hizbut Tahrir tertuang di dalam 1) Kitab-kitab pembinaan yang menjadi materi pokok dalam halaqah yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir bagi anggota, pendukung, simpatisan dan masyarakat umum. 2) Selebaran-selebaran (nasyrah) yang berisi tentang pemikiran, analisis, opini politik, hukum-hukum fiqih, dan aturan-aturan adiminstrasi (idari) yang menggunakan stempel Hizbut Tahrir. 3) Selebaran Soal Jawab (Nasyrah Soal Jawab) yang dikeluarkan oleh Amir Hizbut Tahrir. (Hizbut Tahrir, 1995, 2001).
Pada hakikatnya, Hizbut Tahrir berjuang untuk merealisasi ide, pendapat, dan hukum fiqih yang mereka tabanni. Hizbut Tahrir telah mengerahkan segala daya upaya berjuang di tengah-tengah masyarakat demi menjaga aqidah dan syariah menurut apa yang mereka tabanni. Hizbut Tahrir berharap, masyarakat mengetahui dan memahami dengan rinci, lalu mengadopsi, mengamalkan dan memperjuangkannya bersama. Sehingga pada akhirnya, masyarakat sekuler akan berubah menjadi masyarakat Islam melalui khilafah yang juga akan mendakwahkan Islam ke negara-negara yang ada di dunia. (an-Nabhani Taqiyuddin, 2016).
Menurut Hizbut Tahrir, sebuah negara baru harus lahir dari ideologi baru yang menjadi dasarnya, yang akan mengubah kekuasaan pemerintahan mengikuti ideologi baru tersebut. Ideologi yang terbentuk dari ide-ide yang sistematis dan sistemis akan menjadi pemahaman yang menggerakkan perubahan setelah diamalkan oleh pengembannya. Tingkah laku masyarakat dan penguasa berubah apabila pandangan tentang alam dan kehidupan berubah (world view). Sebab, dengan pandangan tersebut, masyarakat dan penguasa mengatur urusan kemaslahatan mereka. Pada akhirnya, masyarakat akan memberi kekuasaan kepada orang yang memiliki pandangan hidup dan ideologi yang sama. (an-Nabhani Taqiyuddin, 2001b, 2001a, 2016, 28).
Penelitian terdahulu yang menelaah topik ini, pertama kali dilakukan oleh Muhammad Muhsin Rodhi dari Universitas Islam Baghdad (2007). Dalam penelitiannya, Muhammad Muhsin Rodhi menjelaskan apa yang dimaksud dengan tabanni di dalam kitab-kitab dan selebaran-selebaran resmi Hizbut Tahrir. Menurutnya, tabanni adalah pendapat tertentu yang diambil oleh seorang muslim dalam perkara yang masih diperselisihkan, dimana pendapat tersebut selanjutnya menjadi pendapatnya, mengikat untuk diamalkan, diajarkan kepada orang lain, dan didakwahkan ketika menyerukan hukum-hukum dan pemikiran Islam. (Radhi Muhsin, 2012, 39). Radhi hanya menampilkan apa adanya konsep tabanni Hizbut Tahrir, tanpa analisis dan kritik serta relevansinya bagi hubungan aktivis Hizbut Tahrir dengan masyarakat. Hal ini dimaklumi, karena beliau adalah seorang anggota Hizbut Tahrir di Irak.
Sedangkan Agustina Setianingrum dari Universitas Indonesia, memaparkan tentang perpecahan internal Hizbut Tahrir di tingkat dunia dan Indonesia saat kepemimpinan Amir Hizbut Tahrir yang kedua, yaitu Abdul Qadim Zallum. (Agustina, 2011). Penelitian ini tidak menyentuh aspek tabanni sebagai metode menjaga kesatuan internal, yang sebenarnya dianggap solusi bagi Hizbut Tahrir dalam meminimalisir potensi konflik dan perpecahan. Baru pada penelitian Arif Gunawan Santoso dari Badan Penelitan dan Pengembangan Departemen Agama, tabanni secara khusus dibahas. (Santoso, 2015). Akan tetapi, pembahasannya masih satu arah dari perspektif aktivis HTI, tanpa melihat pengaruh tabanni dan respon dari pihak luar.
Penelitian yang relatif baru dilakukan oleh Siti Mafrukhah dari UIN Sunan Ampel Suarabaya. Ia meneliti tentang kumpulan artikel Ayik Heriansyah yang mengkritisi ide, pendapat dan hukum fiqih yang di-tabanni oleh Hizbut Tahrir. (Siti, 2021). Namun, penelitian tersebut bukan secara spesifik membahas konsep tabanni Hizbut Tahrir, melainkan membahas kasus-kasus dari apa yang di-tabanni Hizbut Tahrir, yang dimuat di beberapa website dan di dalam buku Mengenal HTI Melalui Rasa Hati dan Dosakah Menjadi Indonesia. (Ayik H, 2020a, 2020b).
Artikel ini menutupi kekurangan para peneliti sebelumnya, yaitu dari aspek, bahwa sesungguhnya ada masalah atau dilema yang dialami Hizbut Tahrir dengan konsep tabanni yang mereka adopsi dan lembagakan.
METODE PENELITIAN
Penulis menggunakan beberapa teknik penggalian data dari metode kualitatif guna mendapatkan data yang valid dan handal. Penulis melakukan pengumpulan data primer dengan mewawancarai narasumber, melakukan observasi kepada kelompok-kelompok halaqah HTI. Lalu dilengkapi dengan data-data sekunder dari studi pustaka, arsip, dokumen, konten-konten media sosial dan media dalam jaringan (daring) yang berafiliasi dengan HTI serta literature dan publikasi ilmiah dari pakar dan peneliti tentang Hizbut Tahrir. Data diambil dari sejak 2017 sampai 2021, kemudian diolah, dianalisis dan dikritisi untuk diinterpretasi guna mendapatkan deskripsi yang valid dan handal terkait objek penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsep tabanni dilatarbelakangi oleh konflik-konflik internal Hizbut Tahrir yang mengarah kepada perpecahan sejak awal mula kelahirannya di al-Quds Yerussalem pada tahun 1948. Empat tahun kemudian baru didaftarkan ke Departemen Dalam Negeri Yordania, oleh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai pendiri, dimana Palestina secara administrasi masih di bawah Kerajaan Yordania. Pemerintah Yordania menolak permohonan izin Hizbut Tahrir, dan menyatakan Hizbut Tahrir organisasi ilegal pada 22 Maret 1953. (Radhi Muhsin, 2012).
Ghanim Abduh salah seorang anggota dewan pendiri Hizbut Tahrir yang tercatat di surat permohonan izin terdaftar sebagai bendahara, keluar dari Hizbut Tahrir tahun 1965 karena berbeda pendapat dengan Taqiyuddin an-Nabhani pada beberapa masalah. (Radhi Muhsin, 2012, 103). Kemudian Abdul Aziz al-Badri ulama Irak yang turut merintis Hizbut Tahrir Irak, keluar dari Hizbut Tahrir pada tahun 1958, karena berbeda sikap dengan Taqiyuddin an-Nabhani soal Revolusi 14 Juli 1958. (Radhi Muhsin, 2012, 134).
Di era kepemimpinan Abdul Qadim Zallum (Amir Hizbut Tahrir kedua 1977-2003), perpecahan internal makin meluas. Pada tahun 1996, Hizbut Tahrir pecah menjadi empat faksi, yaitu faksi pertama yang masih setia kepada Abdul Qadim Zallum, mayoritas dari Asia Tengah. Faksi kedua, dipimpin oleh Abu Rami yang diikuti aktivis Hizbut Tahrir Yordania. Faksi ketiga, dipimpin oleh Muhammad Showeiki dengan mendirikan partai baru yang bernama Hizbul Wa’ied. Faksi keempat, dipimpin oleh Taufiq Musthafa dari Jerman dan Iyad Hilal dari Amerika Serikat. Mereka disebut faksi reformis. (Agustina, 2011, 78-79).
Hizbut Tahrir Inggris yang dipimpin oleh Umar Bakri Muhammad, memisahkan diri dari kepemimpinan Abdul Qadim Zallum karena berbeda pendapat tentang tenpat pendirian khilafah. Menurut Abdul Qadim Zallum, khilafah didirikan di negeri-negeri Islam, yaitu negeri-negeri yang mayoritas berpenduduk muslim atau negeri-negeri-negeri yang dulu pernah menjadi wilayah khilafah, seperti Spanyol dan India. Akan tetapi menurut Umar Bakri Muhammad, khilafah boleh didirikan dimana saja, termasuk di negara-negara Barat, seperti Inggris, Perancis, Jerman, Amerika dan sebagainya. Umar Bakri Muhammad bersama pengikutnya lalu mendirikan jamaah baru yang bernama al-Muhajirun.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia dibawa oleh Abdurrahman al-Baghdadi pada masa kepemimpinan Abdul Qadim Zallum. Abdurrahman al-Baghdadi datang ke Indonesia (Bogor) sekitar tahun 1984. (Rahmat Imdadun, 2003; Mustofa, 2020). Dalam perjalanannya, Abdurrahman al-Baghdadi sering tidak sependapat dengan kebijakan Abdul Qadim Zallum terkait strategi pergerakan Hizbut Tahrir di Indonesia. Abdurrahman al-Baghdadi kerap mengkritik dan mengoreksi pendapat Abdul Qadim Zallum. Pada akhirnya, Abdurrahman al-Baghdadi dianggap tidak taat kepada Amir, lalu dikeluarkan dari Hizbut Tahrir. (Nuim Hidayat, 2021). Selain itu, Abdurrahman al-Baghdadi dicurigai membelot dengan mengikuti faksi reformis. (Agustina, 2011. 79).
Perpecahan internal Hizbut Tahrir berlanjut di era kepemimpinan Atha bin Khalil Abu Rusytah (Amir Hizbut Tahrir ketiga, 2003 – sekarang). Pada masa ini, anggota senior Hizbut Tahrir yang seangkatan dengan Atha bin Khalil Abu Rusytah, yaitu Mahmud Abdul Latif Uwaidhah atau Abu Iyad mengkritik keras Atha bin Khalil Abu Rusytah yang dianggap menyimpang dari metode perjuangan Hizbut Tahrir. Atha bin Khalil Abu Rusytah diketahui menerima bantuan dana dan senjata dari intelijen Turki yang digunakan untuk milisi-milisi yang berafiliasi kepada Hizbut Tahrir di kancah perang sipil Suriah (2012-2014). (Ayik H, 2020b).
Model organisasi politik semi militer dan menganut pola kepemimpinan tunggal yang adopsi Hizbut Tahrir, membuat Hizbut Tahrir sarat dengan konflik. Sebagaimana umumnya partai politik, Hizbut Tahrir bertujuan meraih kekuasaan-pemerintahan. Bagi Hizbut Tahrir, kekuasaan adalah metode baku (thariqah) dalam menegakkan sebuah ideologi (mabda’). Kekuasaan adalah tujuan praktis, dalam rangka merealisasikan tujuan normatif yakni, melanjutkan kehidupan islam (li isti’fi hayatil islamiyah). Secara sederhana, Hizbut Tahrir memaknai kehidupan islam dengan kekuasaan umat islam, yang dalam hal ini diwakili oleh kekuasaan Hizbut Tahrir. Seolah-olah tidak ada kehidupan islam tanpa kekuasaan Hizbut Tahrir. (Ayik H, 2020b).
“Hizbut Tahrir memaknai kehidupan islam dengan kekuasaan umat islam, yang dalam hal ini diwakili oleh kekuasaan Hizbut Tahrir. Seolah-olah tidak ada kehidupan islam tanpa kekuasaan Hizbut Tahrir. – (Ayik Heriansyah, 2020b)”
Oleh sebab itu, kekuasaan bukan demi kekuasaan semata. Jadi, Hizbut Tahrir tidak berhenti hanya pada persoalan merebut kekuasaan dengan menggulingkan penguasa status quo, melainkan juga berusaha agar ideologi Islam versi Hizbut Tahrir mendominasi masyarakat. Hizbut Tahrir ingin penguasa status quo jatuh oleh sebab cengkraman masyarakat (an-Nabhani Taqiyuddin, 2016, 27).
Hizbut Tahrir terjun ke masyarakat (dukhul mujtama’) dalam rangka melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai partai politik, di antaranya fungsi edukasi, berupa sosialisasi ide, pemikiran dan hukum fiqih yang mereka tabanni. Ide, pemikiran, dan hukum fiqih tersebut bersifat final dan tertutup, tidak boleh didiskusikan lagi. Masyarakat tinggal pilih, mau menerima atau menolak. (an-Nabhani Taqiyuddin, 2001a, 2001b; Abdurrahman Hafidz, 2017). Karena, ketika menyampaikannya kepada masyarakat, Hizbut Tahrir bukan dalam rangka menguji ide, pemikiran, dan hukum fiqih secara ilmiah, benar atau salah? Akan tetapi guna membingkai pemikiran (framing) masyarakat agar turut serta men-tabanni apa yanga di-tabanni oleh Hizbut Tahrir, apa adanya layaknya seorang anggota Hizbut Tahrir. Melalui ide, pemikiran dan hukum fiqih yang di-tabanni Hizbut Tahrir, sebelum meraih kekuasaan Hizbut Tahrir berperan sebagai penguasa sementara (pseudo-kuasi) yang menjadi sumber pengetahuan bagi masyarakat. Setelah berkuasa, pengetahuan tersebut akan diterapkan dan diajarkan melalui instrumen negara. (Hizbut Tahrir, 1989).
Realitas ini terkait erat dengan teori kuasa-pengetahuan (Power-Knowledge Theory) yang cetuskan oleh Michael Foucault, yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah sumber, metode dan tujuan pengetahuan. Pengetahuan diciptakan oleh penguasa. Oleh sebab itu, power is knowledge. (Foulcault, 2017). Dari kekuasaan lahirnya pengetahuan. Penguasalah yang memproduksi pengetahuan, bukan ilmuwan (J. Kiersey Nicholas dan Doug Stokes, 2014; Irawan, 2016; Hardiman F Budi, 2009).
Teori kuasa-pengetahuan bersinggungan dengan ideologi dan propaganda. Suatu ideologi, karena sifatnya sudah final, tertutup dan tidak ilmiah, maka, sulit diterima melalui proses dialog dan diskusi yang adil, jujur dan terbuka. (Hardiman F Budi, 2009; Heywood Andrew, 2016). Oleh sebab itu, metode penyebaran ideologi yang efektif adalah melalui propaganda. (Kunandar Alip Yog, 2017). Menurut Richard Laitinen dan Richard Rakos (1997), propaganda modern merupakan pengontrolan perilaku masyarakat melalui manipulasi media yg difasilitasi oleh tiga faktor, yakni: seorang khalayak yang terbelit dan dilanda gaya hidup yg mengganggu terus menerus, kurang melek informasi, dan tidak bergitu terlibat secara politik. Demokrasi yang kemudian membuat tidak adanya kontrol ketat dari pemerintah. (Febrina Poppy, 2017).
Teknik pembingkaian (framing) merupakan salah satu teknik propaganda yang sering digunakan oleh Hizbut Tahrir. A.G. Santoso dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama di dalam penelitiannya yang berjudul Tabanni sebagai Haluan Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (2015) mengatakan bahwa, studi tentang fenomena gerakan sosial khususnya fundamentalisme Islam yang agresif membuat narasi, ide dan opini, terkait erat dengan teori pembingkaian (framing process). Dengan teori pembingkaian, agresivitas kelompok fundamentalisme Islam dalam bernarasi, dikaji sebagai upaya untuk mengubah pemikiran, perasaan dan kebiasaan masyarakat agar sesuai dengan agenda mereka. (Rohlinger, 2009, 343). Transformasi masyarakat menjadi objek teori ini dengan perspektif kultural dari sebuah gerakan sosial. Dari sudut pandang frame process, kultur masyarakat menjadi arena pembingkaian oleh gerakan sosial, dalam hal ini kelompok fundamentalisme Islam seperti Hizbut Tahrir di Indonesia. (Santoso, 2015).
Sedangkan dari perspektif teori kritis yang dilontarkan oleh Habermas; tiga hal yang saling berkaitan dan berkelindan yaitu ideologi, ilmu pengetahuan, dan pengetahuan selalu bertautan dengan aspek praktis dari masyarakat. Ideologi dianggap bentuk baku dan beku dari ilmu pengetahuan (Wissenschaft) dan pengetahuan (Erkenntnis). Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang sistematis, metodis dan reflektif. Ideologi memberi kesadaran palsu yang dianggap ilmiah, sehingga menggiring masyarakat kepada kebahagiaan yang semu. (Hardiman F Budi, 2009, 210).
Ada beberapa definisi ideologi yang diinventaris oleh Geuss berdasarkan teori kritis, yaitu kesadaran atas sistem keyakinan terhadap ruang batin, yang mempengaruhi motivasi dan preferensi serta yang “palsu” yang secara epistemologi mendaku sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang shahih dan valid yang berfungsi mempertahankan, menstabilkan dan atau mengakui dominasi dari kepentingan suatu kekuasaan. (Geuss, 1981: 12-21 di dalam Hardiman F Budi, 2009, 210). Di balik ideologisasi ada kepentingan kognitif. Menurut Habermas kepentingan kognitif tersebut berupa dominasi yang menciptakan dan mengatur ilmu pengetahuan dan pengetahuan dalam masyarakat yakni kepentingan empiris analisis, hermeneutik sejarah dan kritis-emansipatoris. (Miller, 2002: 66 di dalam Tjahyadi Sindung, 2003, 184).
Ideologisasi yang berwujud dogamtisasi dan sakralisasi serta proses pembingkaian atas pemikiran masyarakat merupakan upaya pemaksaan klaim kebenaran (truth), ketepatan (rightness), autensitas, kejujuran (sincerety) dan konprehensibel (comprehensibility). Kegiatan berkomunikasi bertujuan kepada mengakuan yang benar, senyatanya berbeda, akan tetapi masih terkait dan bertaut, saling menyempurnakan . (Habermas, 1948 di dalam T.M. S. Poespowardoyo Jo dan A. Seran, 2016).
Agar diterima, dengan berdasarkan teori etika diskursus, maka, proses pembingkaian harus memenuhi beberapa syarat komunikasi, yakni: 1) Semua orang diizinkan berbicara dalam forum bersama asal mampu dan berhak menerima atau menolak isi pembicaraan. 2) Semua orang boleh berpendapat tentang apapun di forum bersama dan dipersilahkan menyampaikan sikap, dan mengungkapkan apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan. 3) Setiap orang tidak boleh dilarang mengemukakan pendapat terkait hak-hak pada dua syarat tadi, dengan baik tekanan dalam bentuk apapun di dalam dan di luar forum. (Habermas, 1979 di dalam Poespowardojo Soerjanto dan Alexander Seran, 2016; Poespowardojo T. M . S, 2016).
Bagi Hizbut Tahrir, tabanni sangat penting dan krusial demi menjaga kesatuan pemikiran, perasaan dan gerak aktivis Hizbut Tahrir. Sebagaimana kesimpulan dari penelitian A.G. Santoso (2015), melalui konsep tabanni, HTI dapat menjaga solidaritas dan solitidas internal. Tabanni, membuat jiwa korsa (korp satu rasa) aktivis HTI selalu terpelihara dan terlembagakan. Hal ini sesuai dengan doktrin kullun fikriyun syu’uriyun (semua satu pemikiran dan perasaan) yang diadopsi HTI. (Hizbut Tahrir, n.d.-a). Konsep tabanni juga menunjukkan bahwa Hizbut Tahrir di Indonesia adalah bagian integral dari HT internasional. Hizbut Tahrir di seluruh dunia mempunyai satu Amir. Amir Hizbut Tahrir merupakan otoritas tertinggi dan pemilik wewenang yang menetukan apa yang tabanni oleh Hizbut Tahrir. Adapun aktivis Hizbut Tahrir dimanapun mereka berada, bertindak selaku eksekutor atau pelaksana atas apa yang ditetapkan oleh Amir Hizbut Tahrir dalam bentuk apa-apa yang di-tabanni oleh Hizbut Tahrir. (Hizbut Tahrir, 1995).
Keterikatan anggota Hizbut Tahrir terhadap ide, pemikiran, dan hukum fiqih yang di-tabanni disebabkan oleh 3 faktor:
- Bahwa Hizbut Tahrir men-tabanni konsep tabanni;
- Tabanni merupakan tali pengikat antara anggota Hizbut Tahrir.;
- Seorang anggota Hizbut Tahrir mengucapkan sumpah (qassam) untuk men-tabanni ide, pemikiran dan hukum fiqih yang di-tabanni oleh Hizbut Tahrir. (Hizbut Tahrir, n.d.-c; Santoso, 2015).
Ide, pendapat dan hukum fiqih yang di-tabanni HTI sudah disistematiskan di dalam kitab-kitab halaqah yang wajib dipelajari oleh anggota Hizbu Tahrir pada halqah mingguan (usbu’iyah) dan halqah bulanan (syahriyyah). Adapun aturan-aturan per-halqah-an adalah sebagai berikut (Hizbut Tahrir, 2001):
- Halqah dibentuk oleh pimpinan teritorial HTI (mas’ul mahaliyah).
- Mas’ul mahaliyah menunjuk dan mengangkat seorang anggota senior, menguasai isi kitab halqah, loyal dan disiplin untuk menjadi mentor (musyrif) halqah.
- Peserta halqah adalah anggota atau calon anggota HTI.
- Satu kelompok halqah berisi 2 – 5 peserta.
- Halqah berlangsung selama 2 jam, seminggu sekali.
- Peserta dilarang terlambat dari waktu yang sudah ditetapkan.
- Setiap peserta wajib membawa kitab yang sedang di-halqah-kan.
- Peserta yang tidak membawa kitab dilarang ikut halqah pada saat itu.
- Peserta diminta membaca bab/halaman yang sedang dibahas per alinea dengan bersuara.
- Musyrif menjelaskan alinea yang sudah dibaca agar dipahami dan di-tabanni oleh peserta.
- Peserta boleh bertanya apabila belum paham. Akan tetapi dilarang menanyakan kebenaran, kevalidan dan keakuratan isi kitab tersebut.
- Peserta yang mempermasalahkan kebenaran, kevalidan dan keakuratan isi kitab akan dipisahkan dari halqah atau dikeluarkan.
Proses per-halqah-an bersifat satu arah, dari musyrif ke peserta. Peserta halqah dituntut untuk memahami isi kitab, akan tetapi dilarang mengkritisinya dan mendiskusikan kebenarannya, apalagi membantah dan menolak.
Aturan ini tidak sesuai dengan syarat-syarat komunikasi yang dalam teori etika diskursus yang dirumuskan oleh Habermas. Hal ini dapat dipahami karena Hizbut Tahrir adalah partai politik, dimana halqah dianggap bagian dari kegiatan politik, bukan kegiatan ilmiah. Musyrif berperan sebagai penguasa yang ingin membentuk pengetahuan kepada peserta halqah berdasarkan kepentingan kognitif dari Hizbut Tahrir. Realitas ini mempertemukan antara teori Kekuasaan-Pengetahuan Foulcalt dengan teori Kepentingan Kognisi Habermas.
Pola-pola ideologisasi yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir kepada anggota dan calon anggotanya, seperti yang terjadi diper-halqah-an sulit apabila diterapkan di tengah masyarakat yang demokratis dan informatif. Masyarakat yang demokratis dan informatif akan menerima dan mengadopsi (tabanni) sesuatu, apabila telah jelas kebenaran, keakuratan dan kevalidannya. Proses pembingkaian (framing process) terhadap pemikiran masyarakat akan berhasil jika syarat-syarat komunikasi dalam teori etika diskursus Habermas terpenuhi. Namun, hal ini tidak dapat dipenuhi Hizbut Tahrir karena posisi Hizbut Tahrir sebagai partai politik ideologis yang berorientasi kepada kekuasaan, bukan sebagai lembaga ilmiah yang berorientasi kepada kebenaran.
Di sisi lain, ideologisasi menyebabkan ide, pendapat dan hukum fiqih yang di-tabanni oleh Hizbut Tahrir menjadi dogma yang sakral. Hizbut Tahrir menolak diuji, dengan alibi bahwa Hizbut Tahrir adalah partai politik, bukan lembaga ilmiah, yang menuntut aktivis Hizbut Tahrir agar menerapkan apa yang di-tabanni, bukan mendiskusikannya. (Hizbut Tahrir, n.d.-a, 2001; Radhi Muhsin, 2012).
Dogmatisasi dan sakralisasi tabanni berdampak kepada terbentuknya mental blok di kalangan aktivis Hizbut Tahrir. Mereka menutup diri terhadap ide, pendapat, dan hukum fiqih lain yang bukan berasal dari Hizbut Tahrir. Mereka cenderung menghindar dari dialog dan diskusi ilmiah terkait hal tersebut. Tidak ada interaksi apalagi konfrontasi pemikiran antara aktivis Hizbut Tahrir dengan masyarakat di ruang publik. Yang terjadi adalah monolog di ruang-ruang publik milik Hizbut Tahrir. Meskipun mereka menghadirkan narasumber di luar, akan tetapi dapat dipastikan narasumber tersebut tidak menolak dan menentang ide, pendapat dan hukum fiqih di-tabanni oleh Hizbut Tahrir. Biasanya mereka orang-orang yang awam tentang rincian ide, pendapat dan hukum fiqih yang di-tabanni oleh Hizbut Tahrir, namun punya semangat dan bersikap oposisi terhadap pemerintah, yang notabene musuh politik Hizbut Tahrir.
Di samping itu, dogmatisasi dan sakralisasi tabanni, membawa aktivis Hizbut Tahrir kepada sikap eksklusif, baik sebagai sebuah organisasi maupun individu. Keterlibatan Hizbut Tahrir bersama komponen umat yang lain, cukup dilakukan oleh seorang Jurubicara. Sedangkan aktivis Hizbut Tahrir yang lain berperan menjadi influencer guna mempengaruhi opini publik untuk mendukung apa yang disampaikan oleh Jurubicara.
SIMPULAN
Satu sisi, konsep tabanni diharapkan dapat menjaga kesatuan internal melalui penyeragaman ide, pendapat dan hukum fiqih, namun di sisi lain, konsep tabanni membuat aktivis Hizbut Tahrir sulit berinteraksi dengan masyarakat yang berakibat pada masalah sosialisasi dan komunikasi serta penerimaan masyarakat, karena kemajemukan ide, pendapat dan hukum fiqih yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Di samping itu, kultur penyeragaman di internal Hizbut Tahrir, membuat aktivis Hizbut Tahrir tidak terbiasa dengan perbedaan-perbedaan yang ada di eksternal. Aktivis Hizbut Tahrir tidak terlatih mengkomunikasikan ide, pendapat dan pendapat fiqih secara ilmiah, yaitu rasional, terbuka, berbasis fakta dan data, serta siap diuji kebenaran dan kehandalannya. Hal ini membuat aktivis Hizbut Tahrir cenderung menghindar dari dialog dan diskusi ilmiah yang membuat mereka menjadi lamban beradaptasi dengan lingkungan sosial yang terus berubah. Padahal keberhasilan perjuangan Hizbut Tahrir mendirikan khilafah versi mereka, tergantung dukungan dari masyarakat.
Dengan kata lain, Hizbut Tahrir tidak dapat memenuhi syarat-syarat etika diskursus yang ajukan oleh Habermas dalam konteks demokrasi deliberatif di ruang publik. Satu sisi konsep tabanni menjadi faktor kesatuan internal, walaupun pada kenyataanya perpecahan tetap terjadi. Tabanni yang dilembagakan bersifat formalitas tanpa disertai kesadaran kritis dari para aktivisnya. Tabanni yang demikian, sebenarnya “palsu”, mudah goyah apabila menghadapi benturan-benturan pemikiran di masyarakat.
Di sisi lain konsep tabanni menjadi faktor penghambat bagi masyarakat yang demokratis dan informatif untuk menerima ide, pendapat dan hukum fiqih Hizbut Tahrir, karena Hizbut Tahrir menutup diri dari dialog/diskusi kritis guna menguji kebenaran, kevalidan dan keakuratan ide, pendapat dan hukum fiqih mereka. Hal ini berimplikasi kepada tertutupnya pintu masyarakat ketika mereka ingin terjun ke masyarakat guna menggalang simpati dan dukungan dalam rangka mewujudkan cita-cita mendirikan khilafah.
Proses pembingkaian (framing process) dapat diterapkan secara efektif di internal Hizbut Tahrir, akan tetapi sangat sulit diterapkan pada masyarakat yang demokratis, komunikatif dan informatif. Meskipun di internal, Hizbut Tahrir seolah-olah kelihatan solid, namun di eksternal, dukungan masyarakat sangat lemah. Semua ini akibat dari konsep tabanni yang mereka adopsi dan lembagakan.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrahman Hafidz. (2017). Mafahim Islamiyah Pokok-pokok Pemikiran Islam (Januar M. Iwan (ed.); 4th ed.). Al-Azhar Press.
- Agustina, S. (2011). Perkembangan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia = the development of Hizbut Tahrir in Indonesia. Universitas Indonesia.
- an-Nabhani Taqiyuddin. (2001a). At-Takattul Hizbi (Pembentukan Partai Politik) (4th ed.). HTI Press.
- an-Nabhani Taqiyuddin. (2001b). Mafahim Hizbut Tahrir (6 (ed.)). HTI Press.
- an-Nabhani Taqiyuddin. (2016). Dukhul Mujtama dan Nuqthatul Intilaq (3rd ed.). Pustaka Thariqul Izzah.
- Ayik H. (2020a). Dosakan Menjadi Indonesia (M. A’mal (ed.); 1st ed.). Sang Khalifah.
- Ayik H. (2020b). Mengenal HTI Melalui Rasa Hati (Ayik (ed.); 1st ed.). Pustaka Harakatuna.
- Darmawan Ikhsan. (2018). Sistem Politik Indonesia (Susanti (ed.); 2nd ed.). Universitas Terbuka.
- Febrina Poppy. (2017). Kemunculan Teori Media di Era Propaganda. In Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Prodi Ilmu Komunikasi Umsida. http://eprints.umsida.ac.id/689/1/SP – Kemunculan Teori Media di Era Propaganda.pdf
- Foulcault, M. (2017). Power/Knowlwdge Wacana Kuasa/Pengetahuan (Yudi Santosa (ed.)). Narasi.
- Hardiman F Budi. (2009). Kritik Ideologi Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas (Sitorus Fitzerald K (ed.); 1st ed.). Kanisius.
- Hawari Muhammad. (2010). Politik Partai Strategi Baru Perjuangan Partai Politik Islam (A. B. M (ed.); 1st ed.). Al-Azhar Fresh Zone Publishing.
- Heywood Andrew. (2016). Ideologi Politik Sebuah Pengantar (Santoso Yudi (ed.); 1st ed.). Pustaka Pelajar.
- Hizbut Tahrir. (n.d.-a). Bagaimana Menjadi Bagian Integral Hizbut Tahrir? Hizbut Tahrir.
- Hizbut Tahrir. (n.d.-b). Qassam. Hizbut Tahrir.
- Hizbut Tahrir. (n.d.-c). Tabanni. Hizbut Tahrir.
- Hizbut Tahrir. (1989). Manhaj Hizbut Tahrir fi Taghyir. Hizbut Tahrir.
- Hizbut Tahrir. (1995). Qanun Idari. Hizbut Tahrir.
- Hizbut Tahrir. (2001). Milaf Idari. Hizbut Tahrir.
- Hukum, dan K. B. H. (2017). Kewenagan Legal Administratif Sebagai Tindak Lanjut Perppu Nomor 2 Tahun 2017. https://www.kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/kewenangan-legal-administratif-kemenkumham-sebagai-tindak-lanjut-perppu-nomor-2-tahun-2017
- Humas Kemenko Polhukam. (2017). Pemerintah Bubarkan Ormas Hizbut Tahrir Indonesia. https://polkam.go.id/pemerintah-bubarkan-ormas-hizbut-tahrir-indonesia/
- Irawan, Y. A. dan. (2016). Filsafat Sosial (O. Boedhi (ed.); 6th ed.). Penerbit Universitas Terbuka.
- J. Kiersey Nicholas dan Doug Stokes. (2014). Michel Foucault (Noorhayati Siti Mahmudah (ed.); 1st ed.). Pustaka Pelajar.
- Kunandar Alip Yog. (2017). Memahami Propaganda Metode, Praktik dan Analisis (Sudibyo Ganjar (ed.); 1st ed.). Kanisius.
- Maurice, D. (2014). Sosiologi Politik (Dr. Alfian (ed.); 15th ed.). Rajafindo Persada dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
- Poespowardojo Soerjanto dan Alexander Seran. (2016). Diskursus Teori-teori Kritis (Parera Frans M (ed.); 1st ed.). Kompas.
- Poespowardojo T. M . S, dan A. S. (2016). Diskursus Teori-teori Kritis. Kritik atas Kapitalisme Klasik, Modern dan Kontemporer. Kompas.
- Radhi Muhsin. (2012). Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir Dalam Mendirikan Khilafah Islamiyah (Abdurrahman Hafidz (ed.); 1st ed.). Al-Azhar Fresh Zone Publishing.
- Rahmat Imdadun. (2003). Transmisi Gerakan Islam Timur Tengah ke Indonesia 1980 – 2002 (Studi atas Gerakan Tarbiyah dan Hizbut Tahrir Indonesia [Universitas Indonesia]. http://lib.ui.ac.id/bo/uibo/detail.jsp?id=73864&lokasi=lokal
- Rohlinger, D. A. dan J. Q. (2009). Framing Faith: Explaining Cooperation And Conflic in the US Conservative Christian Political Movement. Social Movement Studies, 18(3).
- Santoso, A. G. (2015). TABANNI SEBAGAI HALUAN GERAKAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA. Harmoni, 14(106–119). https://jurnalharmoni.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/view/77
- Siti, M. (2021). Analisis diskursus kritik Ayik Heriansyah terhadap propaganda Khilafah Hizbut Tahrir Indonesia pasca pembubaran perspektif Norman Fairclough [Universitas Islam Negeri Sunan Ampel]. http://digilib.uinsby.ac.id/49164/
- Tjahyadi Sindung. (2003). TEORI KRITIS JÜRGEN HABERMAS: ASUMSI-ASUMSI DASAR MENUJU METODOLOGI KRITIK SOSIAL. In Universitas Gajah Mada (pp. 180–197). Universitas Gajah Mada.
- Za’rur, A. (2016). Seputar Gerakan Islam (A. B. Iskandar (ed.); 5th ed.). Al-Azhar Press.
- Zallum Abdul Qadim. (1985). Ta’rif Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir.
Wawancara
- Mustofa 31/05/2020
- Nuim Hidayat 22/092021
KH. Ayik Heriansyah, M.Si, Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT, Penulis artikel produktif yang sering dijadikan rujukan di berbagai media massa, pemerhati pergerakkan Islam transnasional, khususnya HTI yang sempat bergabung dengannya sebelum kembali ke harakah Nahdlatul Ulama. Kini aktif sebagai anggota LTN di PCNU Kota Bandung dan LDNU PWNU Jawa Barat. Pernah menjadi Ketua HTI Bangka Belitung.
Editor: Yuzep Ahmad
Sumber: LTNU Jawa Barat