I. Pendahuluan
Menstruasi –Islam menyebutnya haid– ternyata bukan semata-mata peristiwa fisik biologis. Peristiwa khas yang dialami wanita ini, terutama dalam masyarakat tradisional dianggap sebagai simbol yang sarat dengan makna dan mitos. Tidak mengherankan jika hampir semua sistem budaya dan agama mengenal apa yang dalam khazanah Antropologi disebut menstrual taboo1. Ini berarti menstruasi mempunyai makna teologis yang sangat penting.
Dalam tradisi masyarakat Indonesia, menstruasi sering diistilahkan dengan datang bulan, sedang kotor, kedatangan tamu, dan lain-lain. Bahkan masyarakat di Kanada, Amerika, dan Eropa pada umumnya masih menggunakan istilah yang berbau mistik, misalnya; a crescent moon (bulan sabit), golden blood (darah emas), earth (tanah), snake (ular), dan sebagainya2.
Menstruasi dalam makna teologislah yang akan dikaji, dengan merujuk riwayat Hadis Nabi Muhammad saw., Al-Qur’an, opini ulama, dan kemudian secara kritis dikomparasikan dengan data Antropologis. Bagian terakhir ini perlu dikemukakan untuk menguji urgensi dan kontekstualisasinya pada masa sekarang.
II. Pembahasan
a. Tinjauan Semantik
Term menstruasi yang dalam bahasa Arab disebut al-haid terdiri dari bangunan huruf ha’ (ح), ya’ (ي), dan dad (ض), berarti mengalir3. Secara yurisprudensi (syar’i), definisi menstruasi adalah darah yang keluar dari vagina setelah berumur sembilan tahun Qamariyah, dalam keadaan sehat (normal) dan merupakan bagian dari kodrat wanita. Eksepsi dari terminologi ini, darah yang keluar karena sakit (disebut: istihadah), dan darah yang keluar pasca melahirkan (disebut: nifas).
Menstruasi merupakan bagian dari kodrat wanita. Nabi Muhammad saw. bersabda5,
حدّثنا عليّ بنُ عبدِ اللّهِ قال: حدّثَنا سُفيانُ قال: سَمعتُ عبدَ الرحمن بنَ القاسمِ قال: سَمعتُ القاسمَ يقولُ: سمعتُ عائشةَ تقولُ: خَرَجْنا لا نُرى إلاّ الحَجّ. فلمّا كُنَا بِسَرِفَ حِضْتُ, فدَخلَ عَليّ رسولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم وأنا أبكي, قال: «ما لَكِ, أَنُفِسْتِ»؟ قلتُ: نَعمْ. قالَ: «إنّ هذا أمرٌ كتبَهُ اللّهُ على بَناتِ آدمَ, فاقْضِي ما يَقضِي الحاجّ, غيرَ أَنْ لا تَطوفي بالبيت» قالت: وضَحّى رسولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم عن نِسائهِ بالبَقَر.
Dalam Al-Qur’an, term ini hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat. Sekali berbentuk fi’il Mudhari’ (present and future) dalam surat At-Talaq, 65:4, dan tiga kali dalam bentuk isim (kata benda) dalam surat At-Talaq, 65:4, dan Al-Baqarah, 2:2226.
Wanita normal akan menstruasi bila berumur 9 tahun (Qamariyah) atau kurang sedikit (tidak lebih 16 hari). Dengan ketentuan, darah yang keluar minimal 24 jam dan maksimal 15 hari7. Peristiwa ini dialami wanita secara rutin setiap bulan selama usia reproduksinya. Biasanya menstruasi terjadi selama enam atau tujuh hari. Darah yang keluar dalam satu daur menstruasi normal berkisar 20-50 cc. Hanya bagi wanita yang lebih tua, biasanya darah akan keluar lebih banyak8.
Menurut hadis riwayat Fatimah binti Jaiys, darah menstruasi berwarna hitam9, sbb.:
عن فَاطِمَةَ بِنْتِ أبي حُبَيْشٍ قال: «إنّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ, فقال لَها النّبيّ صلى الله عليه وسلم: إذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضَةِ فإنّهُ دَمٌ أسْوَدُ يُعْرَفُ, فإذَا كَانَ ذَلِكَ فَامْسِكِي عن الصّلاَةِ, فإذَا كَانَ الاَخَرُ فَتَوَضّئِي وَصَلّي فإنّمَا هُوَ عِرْق
Dalam kenyataannya darah tersebut bisa saja berwarna: 1. hitam (warna terkuat), 2. merah, 3. abu-abu (antara merah dan kuning), 4. kuning, dan 5. keruh10.
b. Larangan Di Saat Menstruasi
Wanita menstruasi dalam pandangan Islam dilarang (haram) melakukan;
1. Shalat
Dasar keharaman ini adalah hadits riwayat Imam Bukhari, sbb.11:
عن أبي سَعيد الخُدْرِي قال: «خَرَجَ رسولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم في أضحى ـ أو في فِطرٍ إِلى المصلّى, فمرّ عَلَى النساءِ فقال: يا مَعشرَ النساءِ تَصَدّقْنَ, فإني أُرِيتكُنّ أكثرَ أهلِ النارِ. فقُلنَ: وبمَ يا رسولَ اللّهِ؟ قال: تُكثرْنَ اللّعْنَ, وَتَكفُرْنَ العَشيرَ, ما رأيتُ من ناقِصاتِ عَقلٍ ودِينٍ أَذْهَبَ لِلُبّ الرّجُلِ الحازِم مِن إِحداكنّ. قلنَ وما نُقصانُ دِينِنا وعَقلِنا يا رسولَ اللّهِ؟ قال: أَلَيسَ شَهادةُ المرأةِ مِثلُ نِصفِ شَهادةِ الرجُل؟ قلن: بَلى. قال: فذلِكَ من نُقصان عَقلِها. أليسَ إِذا حاضَتْ لم تُصَلّ ولم تَصُمْ؟ قلن: بَلى. قال: فذلِك من نُقصانِ دِينِها
Apabila menstruasi keluar dan shalat belum sempat dikerjakan, padahal cukup waktu untuk mengerjakannya, maka setelah suci (menstruasi berhenti) shalat wajib diqada’. Sebaliknya, jika menstruasi selesai dan masih ada toleransi waktu shalat, maka segera bersuci dan shalat (ada’), sekaligus dengan mengqada’ shalat fardu sebelumnya (bila bisa dijama’). Ilustrasinya, waktu shalat Magrib dimulai jam 18.00 WIB. Jam 17.40 WIB (dua puluh menit sebelum Maghrib) menstruasi selesai. Maka harus segera bersuci dan shalat ‘Asar (ada’) sekaligus mengqada’ shalat Dzuhur (karena dapat dijama’ dengan shalat ‘Asar). Kasusnya akan berbeda bila menstruasi itu selesai pada waktu Dzuhur, misalnya. Maka hanya wajib shalat Dzuhur dan tidak perlu mengqada’ shalat Subuh (karena tidak bisa dijama’ dengan shalat Dzuhur). Demikian pula apabila menstruasi selesai tepat ketika waktu shalat habis, maka tidak wajib mengerjakan shalat tersebut, kecuali bila bisa dijama’ (digabung) dengan shalat sesudahnya. Ilustrasinya, apabila menstruasi selesai pada penghabisan waktu shalat Dzuhur atau kurang sedikit, maka shalat Dzuhur dikerjakan (qada’) bersama shalat ‘Asar (ada’). Demikian halnya, apabila menstruasi berhenti pada penghabisan waktu shalat Maghrib atau kurang sedikit (waktu tidak cukup untuk bersuci dan shalat), maka shalat Maghrib wajib dikerjakan (qada’) bersama shalat Isya’ (ada’)12.
2. Puasa.
Sesuai dengan hadis riwayat Aisyah, sbb.13:
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصّوْمَ وَلاَ تَقْضِي الصّلاَةَ؟ فَقالَتْ: أَحَرُورِيّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرْورِيّةٍ. وَلَكِنّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصّلاَةِ
Wanita menstruasi haram berpuasa. Ia juga wajib iftar (berbuka) bila kedatangan menstruasi sebelum masuk waktu Maghrib, walaupun hanya kurang lima menit, misalnya. Puasanya itu wajib diqada’ di hari yang lain.
3. Membaca Al-Qur’an.
Hal ini sesuai hadis riwayat Ibn Umar, sbb.14:
عَن ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: «لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ شَيْئاً مِنَ الْقُرْآنِ
Apabila memori ayat Al-Qur’an yang telah dihafal dikuatirkan akan hilang (baca: lupa), maka diperbolehkan mengulang-ulang hafalannya dalam hati dengan niat zikir atau berdo’a15.
4. Menyentuh atau membawa mushaf Al-Qur’an.
Sesuai riwayat Malik, sbb.16:
عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ, أَنّ فِي الْكِتَابِ الّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنْ لاَ يَمَسّ الْقُرْآنَ اِلاّ طَاهِرٌ. .قَالَ مَالِكٌ: وَلاَ يَحْمِلُ أَحَدٌ الْمُصْحَفَ بِعِلاَقَتِهِ, وَلاَ عَلَىَ وِسَادَةٍ اِلاّ وَهُوَ طَاهِرٌ, وَلَوْ جَازَ ذَلِكَ لَحُمِلَ فِي خَبِيئَتِهِ, وَلَمْ يُكْرَهْ ذَلِكَ لأَنْ يَكُونَ فِي يَدَيِ الّذِي يَحْمِلُهُ شَيْءٌ يُدَنّسُ بِهِ الْمُصْحَفَ, وَلَكِنْ اِنّمَا كُرِهَ ذَلِكَ لِمَنْ يَحْمِلُهُ, وَهُوَ غَيْرُ طَاهِرٍ اِكْرَاماً لِلْقُرْآنِ وَتَعْظِيماً لَه
Kecuali apabila disertai tafsi (lebih banyak), maka boleh (tidak haram) membawanya17.
5. Bersebadan (coitus).
Sesuai hadis riwayat Abi Dawud, sbb.18:
عن حِزَامِ بنِ حَكِيمٍ عن عَمّهِ أنّهُ سَألَ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم: مَا يَحِلّ من امْرَأتِي وَهِيَ حَائِضٌ؟ قال: لَكَ مَا فَوْقَ الإزَارِ
6. Tawaf.
Sesuai hadis riwayat Ibn Abbas, sbb.19:
عن ابنِ عَبّاسٍ «أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم قالَ: الطّوافُ حَوْلَ البَيْتِ مِثْلُ الصّلاَةِ إلاّ أنكُمْ تَتَكَلّمُونَ فيهِ فَمنْ تَكَلّمَ فِيهِ فَلاَ يَتَكَلّمنّ إلاّ بِخَيْرٍ
Tawaf merupakan salah satu rukun haji. Ibadah Haji, di samping membutuhkan waktu yang relatif lama juga membutuhkan kesiapan fisik dan biaya yang cukup besar. Terlebih bagi calon Haji yang datang dari luar Arab. Persoalannya adalah bagaimana cara menyiasati agar rangkaian ritual (ibadah) haji bisa dilaksanakan sesuai jadual, khususnya bagi calon haji wanita yang datang dari luar Arab?20 Problem ini tentu tidak bisa dianggap sepele, asal bisa mengganti dam atau mengqada’nya di hari yang lain, atau dengan mencari badal (seorang pengganti) sebagaimana dilakukan Aisyah yang terekam dalam riwayat hadits sebagai berikut21:
عن عائشةَ قالت: خرَجْنا معَ النبيّ صلى الله عليه وسلم في حَجّةِ الوَداعِ. فمنّا مَنْ أَهَلّ بعُمرةٍ ومنّا مَن أهلّ بحَجّ. فقَدِمنْا مكةَ, فقال رسولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم «مَن أَحرَمَ بعُمرةٍ ولم يُهْدِ فَليُحْلِلْ, وَمَن أحرمَ بعُمرةٍ وأهدَى فلا يُحِلّ حتّى يُحِلّ بنَحْرِ هَدْيهِ. وَمَن أهلّ بحجّ فلْيُتِمّ حجّه». قالت: فحِضْتُ, فلم أزَلْ حائضاً حتّى كانَ يومُ عَرَفةَ, ولم أُهْلِلْ إِلا بعمرة, فأَمَرَني النبيّ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَنقُضَ رأسي وَأَمْتَشِطَ وَأُهِلّ بحَجّ وأَتْرُكَ العُمرةَ, ففَعَلْتُ ذلك حتّى قَضَيتُ حَجّي, فبعثَ معي عبدَ الرّحمنِ بنَ أَبي بكرٍ وَأَمَرَني أن أَعْتَمِرَ مَكانَ عُمرَتي مِنَ التّنْعِيم
Siapapun akan merasa lebih puas bila seluruh rangkaian ibadah haji bisa dikerjakan sendiri. Walaupun karena alasan kelebihan finansial –misalnya–, calon haji bisa saja mencari badal atau menggantinya dengan membayar dam (denda).
Apabila wanita dihadapkan problema semacam ini, pada gilirannya penundaan daur menstruasi merupakan alternatif pilihan terbaik. Dan dalam realitasnya, Ulama telah mengeluarkan fatwa yang mentoleransi pengkonsumsian obat-obatan atau dengan terapi medis lainnya. Sebatas, rekayasa itu tidak membahayakan fisiknya atau menyebabkan kemandulan22.
Ritual haji –sebagaimana diterangkan dalam literatur fiqih–harus dilaksanakan di beberapa lokasi, antara lain; Makkah, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan ziarah ke Madinah. Seluruh jama’ah calon haji telah diatur jadual perjalanannya; mulai persiapan tinggal di asrama, pemberangkatan, sampai pemulangannya ke tanah air sesuai kloter masing-masing. Bagi wanita usia subur (produktif), perlu menyiasati agar daur menstruasinya tidak bertepatan dengan waktu tawaf Umrah, Ifadah, dan Wada’, serta ziarah ke masjid Nabawi di Madinah.
Banyak beredar di pasaran, jenis dan merek obat pengatur menstruasi yang terbukti efektif. Salah satunya, tablet Noretisteron 5 Mg. R. Primolut N. Apa kontra indikasinya, efek samping (side effect), cara pengkonsumsiannya, dan hal lain yang terkait tentunya bisa dikonsultasikan kepada tim medis haji23.
c. Bersuci (Taharah) Setelah Selesai Menstruasi
Salah satu dari enam perkara yang mewajibkan mandi adalah menstruasi. Apabila menstruasi telah usai, maka secepatnya bersuci (mandi atau Tayamum), terutama ketika akan melakukan ibadah. Aturan formal mandi akibat menstruasi tidak berbeda dengan mandi wajib lainnya, baik dalam syarat maupun rukunnya24.
Bagaimana cara wanita mengetahui, menstruasinya benar-benar telah selesai ? Menurut Fuqaha’ (pakar Fiqh), wanita dianggap telah selesai menstruasi bila tidak ada darah yang tertinggal di kapas, ketika dimasukkan (diusapkan) ke dalam vagina. Jadi, walaupun darah menstruasi (haid) dirasakan tidak keluar, tetapi apabila (kapas) dioleskan masih ada bekas darah –walaupun sedikit–, maka dalam keadaan semacam ini, menstruasi belum dihukumi selesai. Apabila dalam kondisi seperti ini ia mandi wajib, maka dihukumi tidak sah. Konsekwensinya, semua ritual (ibadah) yang terlanjur dikerjakannya juga tidak sah. Bisa dibayangkan, betapa banyak ibadah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah karena keteledoran (baca: kebodohan) ini25?
d. Taboo (Pantangan) Bagi Wanita Menstruasi, Sebuah Perbandingan
Sepanjang sejarahnya, menstruasi mempengaruhi perilaku dan etos kerja wanita. Mulai masalah seksual, masak-memasak, bersolek, memilih mode pakaian, cara berjalan, posisi duduk, tidur, dll. Semuanya harus diatur, bukan saja untuk mengantisipasi darah agar tidak tercemar, tetapi sebagai upaya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap yang tabu.
Mayoritas agama, kepercayaan, dan adat istiadat di pelbagai belahan bumi tidak mentolelir hubungan seksual (coitus) pada saat menstruasi. Di kalangan agama Yahudi dan Kristen bahkan mempercayai adanya beberapa jenis makanan tidak boleh disentuh saat menstruasi, terutama yang mengandung alkohol.
Kepercayaan terhadap menstrual taboo ini pada gilirannya menuntut wanita menstruasi untuk menggunakan pelbagai atribut atau aksesoris di bagian tubuhnya, agar komunitas masyarakat terhindar dari malapetaka menstrual taboo26.
Pada awalnya, tidak semua manusia bisa menggunakan kosmetik kecuali terbatas bagi wanita menstruasi. Anak-anak dan wanita manupouse, apalagi kaum laki-laki tidak diperbolehkan memakai kosmetik. Tetapi apa yang terjadi di era milenium baru ini, wanita –walaupun tidak sedang menstruasi— merasa belum percaya diri tanpa polesan kosmetik.
Dalam menggunakan kosmetik, masing-masing daerah di belahan bumi ini mempunyai corak dan tata cara tersendiri. Penduduk asli Australia mengoleskan darah menstruasi atau zat berwarna merah ke bibir dan keningnya dengan melakukan ritual tertentu. Di Cina dan India, mencat warna merah di antara kedua keningnya. Wanita menstruasi di Asia Tengah, Eropa, dan Afrika Utara mencelup rambutnya dengan zat warna-warni, dan mewarnai jari tangan dan kaki dengan daun pacar.
Di pedalaman Eropa, Asia Tengah, dan Afrika Utara masih mempercayai, tatapan wanita menstruasi (menstruant’s gaze) dapat menimbulkan petaka. Tatapan mata itu –biasanyanya disebut mata iblis (the evil eye)– bisa menyebabkan makanan basi, panen menjadi gagal, bayi sakit, dan sebagainya. Untuk menawarkan bisa (racun) tatapan si mata iblis itu, mereka memberi bayang-bayang mata (eye shadows), atau memberi celak. Dari sini bisa dipahami, mengapa penduduk asli Amerika dan sebagian masyarakat Timur Tengah pada zaman dahulu selalu mengisolasi wanita menstruasi di dalam gubug pengasingan (menstrual hut) atau disembunyikan di gua terpencil, sebagaimana dilakukan penduduk pegunungan di Kaukasus Rusia.
Munculnya kreasi slop, sendal, dan sepatu konon juga berangkat dari sebuah keyakinan, wanita menstruasi tidak boleh menginjakkan kakinya di atas tanah untuk menolak malapetaka. Di Mesir, Cina, Zaire, dan pedalaman Eropa bahkan tidak cukup dengan alas kaki semacam itu, tetapi harus menggunakan gelang di kaki yang terbuat dari bahan tertentu –asal dianggap bertuah—untuk mencegah polusi (menstrual pollutions)27.
e. Respon Islam, Sangat Manusiawi
Bagaimana sikap Islam terhadap wanita menstruasi? Ternyata, Islam memberi respon yang sangat manusiawi sebagaimana diilustrasikan dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi saw.. Jika diperhatikan secara teliti, Islam begitu revolusioner dalam mengikis tradisi dan mitos dalam agama dan kepercayaan lain, yang selama ini dianggap tabu dan memberikan beban berat kepada wanita menstruasi.
Menstruasi diungkapkan Al-Qur’an empat kali dalam dua ayat. Pertama, diketemukan dalam surat At-Talaq ayat 4, sbb.:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Artinya: Dan perempuan yang tidak haid lagi (manopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddahnya sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Kedua, diketemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 222:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Latar historis turunnya ayat ini, apabila wanita Yahudi sedang menstruasi, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga. Salah satu sahabat –Tsabit bin Ad-Dahdah—menanyakan hal itu kepada Nabi Muhammad sawa, dan turunlah ayat di atas. Kemudian Nabi bersabda; “Lakukanlah apa yang pantas diperbuat dalam pergaulan suami isteri kecuali bersetubuh”28.
Statemen Nabi Muhammad saw. di atas didengar orang Yahudi. Mereka kaget mendengar pernyataan semacam itu. Sebab, apa yang selama ini dianggap tabu, dan fungsi sosial wanita menstruasi dipangkas habis, tiba-tiba dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan alamiah. Mereka spontan bereaksi dengan menyatakan, “Apa yang dinyatakan laki-laki itu –Nabi Muhammad saw.– adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita”. Kasus ini diilustrasikan dalam riwayat sbb.29:
عن أَنَسٍ أَنّ الْيَهُودَ كَانُوا, إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ, لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنّ فِي الْبُيُوتِ, فَسَأَلَ أَصْحَابُ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم النّبِيّ صلى الله عليه وسلم. فَأَنْزَلَ الله تَعَالَى: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إِلَى آخِرِ الاَيَةِ (البقرة الاَية: 222) فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: «اصْنَعُوا كُلّ شَيْءٍ إِلاّ النّكَاحَ» فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ فَقَالُوا: مَا يُرِيدُ هَذَا الرّجُلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئاً إِلاّ خَالَفَنَا فِيهِ, فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَعَبّادُ بْنُ بِشْرٍ فَقَالاَ: يَا رَسُولَ اللّهِ! إِنّ الْيَهُودَ تَقُولُ: كَذَا وَكَذَا. فَلاَ نُجَامِعُهُنّ؟ فَتَغَيّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم حَتّى ظَنَنّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا, فَخَرَجَا فَاسْتَقْبَلَهُمَا هَدِيّةٌ مِنْ لَبَنٍ إِلَى النّبِيّ صلى الله عليه وسلم. فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمَا, فَسَقَاهُمَا, فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجِدْ عَلَيْهِمَا
Dalam banyak kesempatan, Nabi Muhammad saw. sering menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita menstruasi dan mendemonstrasikan kebolehan itu dengan minum satu gelas bergantian, sebagaimana diriwayatkan Aisyah sbb.30:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ. ثُمّ أُنَاوِلُهُ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم. فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيّ. فَيَشْرَبُ. وَأَتَعَرّقُ الْعَرْقَ وَأَنَا حَائِضٌ. ثُمّ أُنَاوِلُهُ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم. فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيّ.
Bahkan Nabi saw. pernah mandi bersama isterinya yang sedang menstruasi dalam satu bak, sebagaimana diriwayatkan Aisyah sbb.31;
عن عائشةَ قالت: كنتُ أغتَسِلُ أنا والنبيّ صلى الله عليه وسلم من إِناءٍ واحدٍ كلانا جُنب
Dalam kesempatan lain, Nabi saw. bersama slaah satu isterinya yang sedang menstruasi makan daging yang tersisa di tulang bergantian, bersandar di paha isterinya sambil membaca Al-Qur’an, dll., sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini32,
عَنْ عَائِشَةَ أَنّهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم يَتّكِىءُ فِي حِجْرِي وَأَنَا حَائِضٌ. فَيَقْرَأُ الْقُرْآن
III. Penutup
Menstruasi memang peristiwa alamiah bagi wanita. Tetapi pemahaman tentang diskursus ini bukan menjadi monopoli kaum hawa. Pada gilirannya, pertanyaan atau rasionalisasi; untuk apa kaum laki-laki yang secara kodrati tidak pernah mengalaminya, repot-repot mendiskusikan diskursus ini, menjadi tidak relevan? Hal itu karena mereka mendapatkan tanggung jawab yang tidak kecil dalam urusan domestik keluarga; untuk mendidik dan mengajarkan masalah ini kepada isteri dan anak wanitanya, kaitannya dengan ibadah shalat, puasa, haji, dll., sebagaimana diilustrasikan Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Prof. Dr. KH. Fuad Thohari, MA., adalah Ketua Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan seorang pendakwah juga akademisi yang bergelut dalam bidang Tafisr dan Hadist. Setelah menimba ilmu di Ponpes Salaf Al – Falah, Ploso, Kediri, Jawa Timur, beliau kemudian menempuh pendidikan perguruan tinggi hingga s3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang Tafsir Hadist.
Alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI ini merupakan dosen di Sekolah Pascasarjana almamaternya dan mengisi berbagai kajian keagamaan di masjid, majlis taklim, seminar ilmiah, stasiun televisi dan radio di wilayah Jabodetabek. Di tengah padatnya kegiatan tersebut, beliau juga aktif terlibat dalam organisasi keagamaan Majelis Ulama’ Indonesia wilayah DKI Jakarta dalam bidang fatwa, dan aktif di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ PBNU.
Memiliki sejumlah karya yang dapat dilihat di http://penerbitbukudeepublish.com/penulis/fuad-thohari/ dan beberapa judul di bawah ini; 1. Hadis ahkam; kajian hukum pidana islam 2. Kumpulan Fatwa MUI DKI jkt 2000 sd 2018…(5 buku). 3. Manasik Haji dan Umroh 4. Metode Penetapan Fatwa bagi Da’i 5. Artikel jurnal nasional (puluhan judul) 6. Deradikalisasi Pemahaman al Qur”an dan Hadis 7. Khutbah Islam tentang Terorisme 8. talkshow di TV nasional, Radio, dll. Selain itu, beliau pernah melakukan penelitian di berbagai negara, antara lain; Malaysia, Singapore, Thailand, India, China, Mesir, Palestina, Yordania, Iran , Turki, Saudi Arabia, Tunisia, dll. Beliau bisa dihubungi langsung via WA (081387309950)
END NOTE
1Franz Steiner, Taboo, (London: Penguin, 1965), halaman 32. Lihat juga, Evelyn Red, Woman’s Evolotion, (New York: London, 1993).
2Lara Owen, Her Blood is Gold, Celebrating the Power of Menstruation, (San Fransisco: Harper San Fransisco, 1992), hal. 29.
3Abi Zakariya Husain Ahmad, Mu’jam Maqayis fi al-Lughah, (Beirut: Dar al Fiqr, 1994), hal. 291. Lihat juga, Abi Yahya Zakaria, Fath al ‘Alam, (Beirut: Dar al Fiqr, 1990), hal. 132. Lihat juga, Al-Jarjani, At-Ta’rifat, (Jeddah: Al-Haramain, tth.), hal. 132.
4Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, (Semarang: Dar al-Kutub al-‘Arabiah, tth.), jilid ke-1, hal. 107.
5Al-Bukhari, Al-Bukhari Bi Hasyiah As-Sindy, (Beirut: Dar al Fiqr, 1995), jilid ke-1, hal. 77.
6M. Fuad ‘Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Al-Fadz al-Qur’an Al-Karim, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1994), hal. 282.
7Jamal, Hasyiah al-Jamal, (Beirut: Dar al Fiqr, tth.), jilid ke-1, hal. 236.
8Tiem Kesehatan Haji, Haid dan Ibadah Haji, (Jakarta: R.S. Haji, 1997), halaman 1.
9Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fiqr, tth.), jilid ke-1, hal. 75.
10Jamal, op. cit., hal. 242.
11Al-Bukhori, op. cit. , hal. 78.
12Muhammad Ardani, Risalah Al-Haidl, (Kediri: P.P. Al-Falah, 1992), hal. 32-33.
13Al-Hajjaj, Abi al-Husain Muslim, Shahih Muslim, (Dar al-Fiqr, 1993), jilid ke-1, hal. 164.
14Al-Hafiz Abi Abdillah, Sunan Ibn Majah, (Makah: Dar at-Turas al-‘Arabi, tth.), jil. I, hal. 107.
15Bahauddin Ibn Syadad, Dalail Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1991), juz ke-1, hal. 104. Lihat juga, Imam Nawawi, At-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an, (Damsyiq: Maktabah Dar al-Bayan, 1983), hal. 58.
16Imam Malik, Al-Muwattha’, (Beirut: Dar al-Fiqr, tth.), jilid ke-1, hal. 199. Lihat juga Mustafa Daib al-Bagha, At-Tahdzib fi Adillati Matan al-Ghayah wa Taqrib, (Blitar: Mu’assasah al-Qur’an, tth.), hal. 36-37.
17Abi Bakar Syatha’, ‘I’anah at-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fiqr, tth.), juz ke-1, hal. 66.
18Abi Dawud Sulaiman, op. cit., hal. 55.
19Al-Hakim, Al-Mustadrak ala as-Shahihaini, Tt.: At-Tib’ah al-Hindiyah, tth.), jilid I, hal. 450.
20Ibrahim Muhammad Jamal, Jami’ al-Masanid an-Nisa’, (Kairo: Al-Dar al-Masriyah al-Lubnaniyah, 1992), juz ke-1, hal. 58.
21Al-Bukhari, op. cit., hal. 76.
22Lihat, Masalah Agama, Hasil Keputusan Musyawarah Bahsul Masail MMPP seri ke-1 yang di terbitkan P.P. Al-Falah Ploso Mojo Kediri Jawa Timur, hal. 181-183.
23Tiem Kesehatan Haji, op. cit., 2-7.
24Mustafa Daib al-Bagha, loc. cit..
25Muhammad Ardani, op. cit., hal. 25.
26Nasaruddin Umar, Teologi Menstruasi, (Jakarta: Ulum al-Qur’an, No 2, Vol. VI, ‘95), h. 70-6.
27Ibid..
28Qomaruddin Shaleh dkk., Asbab Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), hal. 74.
29Al-Hajjaj, Abi al-Husain Muslim, op. cit., hal 151.
30Ibid.,
31Al-Bukhari, op. cit., hal. 77.
32Al-Hajjaj, Abi al-Husain Muslim, loc. cit..