Bandung | LIPUTAN9NEWS
Akhirnya nahdliyin merasa perlu menambah kata an-nahdliyah setelah kata aswaja. Nyebut kata “Aswaja” saja dirasa belum cukup untuk menunjukkan identitas NU.
Memang ada beberapa organisasi lain yang berpaham Aswaja seperti Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Sumatera, Rabithah ‘Alawiyah (RA), Nahdlatul Wathan (NW) di Nusa Tenggara Barat, Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) di Sulawesi, dll. Namun demikian sampai awal tahun 2000-an, Aswaja masih identik dengan NU.
Belakangan ini kelompok Salafi-Wahabi juga mengaku Aswaja. Apa karena kata Salafi kurang membumi sehingga ada jarak psikologis dengan masyarakat muslim khususnya di basis-basis NU agar diterima.
Padahal masyarakat sejak dulu mengenal Aswaja sebagai golongan yang menganut paham Asy’ariyah-Maturidiyah dalam teologi, fiqih empat madzhab, dan menerima tasawuf serta mengamalkan tarekat. Tidak terbayang dalam benak masyarakat manakala ada kelompok yang mengaku Aswaja tapi menganut teologi Wahabiyah, anti tasawuf dan tarekat.
Kelompok Wahabi menjustifikasi keaswajaan mereka dengan alasan generasi Aswaja yang pertama adalah generasi salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Masalahnya, pendiri kelompok wahabi Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir abad 18 beserta para penerusnya bukan termasuk generasi salaf. Mereka semua khalaf.
Di aspek ini, Wahabi tidak amanah dan tidak jujur dengan keaswajaannya. Sedangkan pada aspek atribut dan penampilan mayoritas mereka tetap berdandan ala Wahabi.
Mengenakan gamis, baju koko polos, celana cingkrang, kopiah putih, dan berjenggot tipis/lebat. Ada beberapa ustadz Salafi-Wahabi mulai beradaptasi dengan berkopiah hitam, baju batik dan celana. Tapi tetap cingkrang.
Lain halnya dengan HTI. HTI punya lajnah khos ulama (LKU). LKU dibentuk menjelang Konferensi Khilafah Internasional 2007 yang bertujuan untuk merekrut ulama dan kiai-kiai pesantren. HTI aktif mengadakan multaqa-multaqa ulama yang mereka namanya Multaqa Ulama Aswaja. Mereka beratribut, berdandan dan berpenampilan persis kiai-kiai NU agar kelihatan lebih mesantren, lebih nyantri dan lebih nge-NU.
Aswaja dan HTI sama sekali tidak nyambung. HTI partai politik yang tujuan akhirnya merebut kekuasaan atas nama penegakan syariah dan khilafah dengan cara-cara yang mengarah kepada kekerasan atas nama thalabun nushrah. Sedangkan aswaja berpendapat, haram hukumnya merebut kekuasaan dari pemerintah yang sah (bughat) apalagi dengan kekerasan.
Aswaja mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar, memberi nasehat dan koreksi apabila pemerintah menyimpang, supaya pemerintah kembali ke jalan yang benar. Aswaja tidak berpretensi ingin mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah ketika melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.
Kelompok terakhir adalah PKS. PKS juga ingin identik dengan Aswaja. PKS mengadakan tahlilan atas wafatnya Ust. Hilmi Aminudidin (muassis PKS). PKS setiap tahun menyelenggarakan lomba baca kitab kuning yang diikuti oleh santri-santri pondok pesantren. Ini upaya-upaya PKS mendekati nahdliyin.
Memang tidak ada UU yang melarang kelompok-kelompok islam yang ingin beratribut Aswaja dan merebut identitas Aswaja dari NU. Toh, sampai saat ini Aswaja masih identik dengan NU.
Apakah identitas Aswaja akan pindah ke kelompok lain? Tergantung seberapa konsisten nahdliyin memegang identitas Aswaja mereka.
Ayik Heriansyah, Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat, Aktivis kontra terorisme dan radikalisme, Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT, Penulis artikel produktif yang sering dijadikan rujukan di berbagai media massa, pemerhati pergerakkan Islam transnasional, khususnya HTI yang sempat bergabung dengannya sebelum kembali ke harakah Nahdlatul Ulama. Kini aktif sebagai anggota LTN di PCNU Kota Bandung.