LIPUTAN9.ID – Sebagaimana ditulis Suwendi (Anggota Pokja Moderasi Beragama Kementerian Agama RI dan Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Jenderal Pendidikan Islam) di situs resmi Kemenag, moderasi beragama merupakan fondasi untuk memperkuat masyarakat kewargaan yang sehat. Kita simak uraiannya:
“RPJMN yang dikukuhkan pada 17 Januari 2020 melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 telah menempatkan moderasi beragama sebagai modal sosial mendasar untuk pembangunan bangsa. Pasalnya, moderasi beragama pada hakikatnya menciptakan kesadaran kolektif semua komponen bangsa untuk mengharmoniskan relasi keagamaan dan kebangsaan dalam konstruk positif. Pemahaman keagamaan tidak ditempatkan untuk memperhadapkan dengan ideologi dan entitas keindonesiaan. Moderasi beragama justeru memperkuat ideologi Pancasila dan aturan hukum turunannya sebagai perekat kebangsaan yang mampu meneguhkan spirit kebersamaan di tengah fakta pluralitas keindonesiaan, baik aspek agama, suku, ras, budaya, bahasa, teritori, maupun lainnya, yang sekaligus menjadi landasan norma sosial.
Kementerian Agama RI, sebagai infrastruktur negara di bidang urusan agama, telah melahirkan rumusan penting apa dan bagaimana moderasi beragama itu dipahami dan diselenggarakan. Dalam buku Peta Jalan (Roadmap) Penguatan Moderasi Beragama Tahun 2020-2024, moderasi beragama didefinisikan dengan “Cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejewantahkan esensi ajaran agama–yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum—berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa”.
Apa yang dinyatakannya itu sesuai pula dengan nilai dan spirit filantropi (kedermawanan) yang juga salah satunya dimaksudkan untuk menciptakan keberdayaan masyarakat secara ekonomi dan sosial melalui penguatan dan penyehatan struktur dalam masyarakat kita. Lebih lanjut, ia juga menulis:
“Definisi (moderasi beragama) ini mengandung makna strategis untuk menempatkan faham keagamaan sebagai daya pengungkit terhadap supremasi martabat kemanusiaan dan kepentingan bersama berdasarkan konsitusi sebagai manifestasi esensi ajaran agama. Agama ditempatkan pada fungsi yang semestinya, yakni “memanusiakan manusia”. Sebab, agama dihadirkan oleh Tuhan sejatinya untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia itu sendiri.
Moderasi beragama menuntun kita untuk saling menghargai antar sesama manusia, terlepas dari jenis kelamin, agama, ras, suku dan golongan apapun. Penghargaan terhadap kemanusiaan didasarkan atas prestasi, bukan prestise seperti suku, agama, keturunan dan lain-lain. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW, disebutkan “khairun-naas anfa’uhum lin-naas”, yakni kemuliaan seseorang didasarkan atas seberapa jauh tingkat partisipasi kita dalam menebarkan kemanfaatan dan membangun peradaban. Dalam perspektif moderasi beragama, agama menjadi inspirasi bagi umatnya untuk berkontribusi dalam membangun peradaban dan pembangunan bangsanya.”
Dengan demikian, dapat kita simpulkan, nilai dan spirit etika sosial dan filantropi Islam modern berkeadilan sosial bagi bagi masyarakat Indonesia mutakhir karena keduanya mendasarkan lakunya dari nilai dan spirit welas asih Islam itu sendiri. Sehingga, karena dasar dan nilai itu pula, lahirlah sikap toleran dan inklusif ummat beragama, seperti yang ia nyatakan selanjutnya:
“Definisi ini mengandung makna strategis untuk menempatkan faham keagamaan sebagai daya pengungkit terhadap supremasi martabat kemanusiaan dan kepentingan bersama berdasarkan konsitusi sebagai manivestasi esensi ajaran agama. Agama ditempatkan pada fungsi yang semestinya, yakni “memanusiakan manusia”. Sebab, agama dihadirkan oleh Tuhan sejatinya untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia itu sendiri.
Moderasi beragama menuntun kita untuk saling menghargai antar sesama manusia, terlepas dari jenis kelamin, agama, ras, suku dan golongan apapun. Penghargaan terhadap kemanusiaan didasarkan atas prestasi, bukan prestise seperti suku, agama, keturunan dan lain-lain. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW, disebutkan “khairun-naas anfa’uhum lin-naas”, yakni kemuliaan seseorang didasarkan atas seberapa jauh tingkat partisipasi kita dalam menebarkan kemanfaatan dan membangun peradaban. Dalam perspektif moderasi beragama, agama menjadi inspirasi bagi umatnya untuk berkontribusi dalam membangun peradaban dan pembangunan bangsanya.
Supremasi atas nilai kemanusiaan ini juga melahirkan sikap inklusif, terbuka dan menghargai perbedaan. Inklusivisme merupakan sikap rendah hati untuk tidak merasa selalu benar, bersedia mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim Indonesia kenamaan, menyatakan bahwa inklusivisme adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, model suatu pandangan yang melihat secara positif dan optimis yaitu pandangan manusia pada dasarnya adalah baik (QS. 7:172 dan QS. 30:30), sebelum terbukti sebaliknya. (Nurcholis Madjid, 1999). Berdasarkan pandangan ini, kita harus bersikap bahwa semua orang memiliki potensi untuk benar dan baik, setiap orang punya potensi untuk menyatakan pendapat dan didengar. Sedangkan, pihak yang mendengar itu sendiri memerlukan sikap rendah hati, kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri yang berpotensi keliru.
Demikian juga, moderasi beragama mengharuskan seluruh masyarakat untuk mampu mengimplementasikan nilai-nilai keadilan. Keadilan yang tidak hanya pada tataran idealitas tetapi juga realitas, terutama dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan bersama maupun dalam perilaku kehidupan individu masing-masing. Sikap adil, di antaranya, bagaikan perilaku wasit dalam sebuah perlombaan. Ia tetap teguh pada kebenaran dan berada di tengah-tengah, tidak boleh memihak pada salah satu kubu, dan mampu mendamaikan serta memutuskan dengan bijak jika ada perselisihan.”
Spirit welas asih dan keadilan itu sendiri memang satu kesatuan atau kepaduan dalam doktrin dan ajaran Islam, sehingga “moderasi beragama akan melahirkan komitmen dan sikap batin yang kuat untuk menjadi fondasi bersama dalam membangun peradaban dan cita-cita bangsa ini. Masa depan bangsa yang baik sungguh sangat tergantung dari perspektif dan kemampuan kita, di antaranya, dalam memperlakukan komitmen beragama dan berbangsa itu pada tempat yang semestinya.”
Sulaiman Djaya, Penulis di Kubah Budaya