Jakarta, Liputan9 – Tidak terasa, bulan Ramadhan 1441 H. datang kembali. Bulan ini begitu agung dan istimewa. Salah satu keistimewaannya, selain di dalamnya ada kewajiban menjalankan ritus puasa, lailat al-qadar yang didamba, dan pahala amal ibadah dilipat- gandakan, pada malam 17 Ramadhan merupakan awal diturunkannya Al-Qur’an. Entah sejak kapan, setiap malam 17 Ramadhan umat Islam di Indonesia berbondong-bondong memperingati Nuzul Al-Qur’an itu?
Satu aksioma yang tidak terbantahkan, tidak ada satu kitab di kolong langit ini yang paling banyak dibaca dan dihafal manusia kecuali Al-Qur’an. Hanya saja, tidak satupun yang berani memastikan, seluruh umat Islam yang membaca dan menghafal Al-Qur’an sekaligus memahami artinya. Siapa berani bertaruh, 90% penduduk muslim di Indonesia mampu membaca Al-Qur’an dengan benar sekaligus mengerti substansi ayat yang dibacanya? Bukankah lebih gampang untuk menyatakan, mayoritas umat Islam belum mampu membaca Al-Qur’an dengan benar; atau –kalaupun sudah bisa— mayoritas belum memahami kandungannya? Kalau asumsi ini benar, tentu ini merupakan ironi dari sebuah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang mengklaim paling religius. Mengapa bisa terjadi?
Meragukan Otentisitas Al-Qur’an
Problematika mendasar tidak adanya sinkronisasi antara kemampuan umat Islam membaca Al-Qur’an dengan pemahaman dan pengamalannya, bisa jadi karena mereka masih skeptis terhadap otentisitas Al-Qur’an. Semenjak 14 abad lalu, Allah menantang siapa saja yang merasa skeptis terhadap otentisitas Al-Qur’an, atau menganggapnya bukan wahyu tetapi buatan Nabi Muhammad saw yang ummi. Tantangan itu diajukan tiga kali selama periode Makah; mulai tantangan membuat semisal Al-Qur’an (Q.S. Al-Thur, 52:33-34), tantangan membuat 10 surat (Hud, 11:13), dan terakhir tantangan hanya satu (1) surat terpendek (Yunus, 10:38). Setelah Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah, tantangan itu diajukan kembali (Al-Baqarah, 2:23). Ternyata tidak satupun yang sanggup memenuhi tantangan, padahal saat itu banyak sastrawan handal.
Memang, keseluruhan Al-Qur’an merupakan mukjizat Allah. Tidak satupun informasi, statemen, dan komentarnya yang menyimpang dari fakta sosiologis-historis, medis, maupun seintifik. Belum lagi keindahan dan keseimbangan redaksinya yang begitu mengagumkan.
Dari segi sosiologis-historis, otentisitas informasi Al-Qur’an pernah diuji dengan memberikan informasi mendahului zamannya. Yakni ketika terjadi perang dua negara adi kuasa pada tahun 614 M, antara Persia –penyembah api– versus Rumawi yang
beragama Nasrani, dan berakhir tragis dengan kemenangan Persia. Ketika itu kaum musyrik Makah mengejek umat Islam yang cenderung mengharapkan kemenangan Rumawi karena sama-sama beragama samawi. Kekecewaan umat Islam bertambah dengan ejekan itu. Tidak lama kemudian turunlah surat Al-Rum, 30:1-5 menghibur umat Islam dengan menginformasikan dua hal. Pertama, dalam jeda 3-9 tahun kemudian –diredaksikan Al-Qur’an; bidh’i sinin— perang akan terulang dan dimenangkan Rumawi; kedua, saat kemengan itu umat Islam akan bergembira –bukan saja karena kemenangan Rumawi— tetapi kemenangan dalam satu peperangan umat Islam melawan kaum Kuffar yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Di sinilah otentisitas informasi Al-Qur’an diuji dan terbukti akurat dengan menetapkan angka pasti kemenangan Romawi di saat kekalahannya, 8 tahun berikutnya tepatnya 622 M. Suatu hal yang absurd dan tidak mungkin diinformasikan kecuali atas kuasa Allah yang Maha Mengetahui. Apa yang terjadi jika dalam jeda 3-9 tahun tidak ada peperangan, atau terjadi perang dan Romawi kalah lagi? Pasti sejak hari itu Al-Qur’an dicampakkan, karena validitas informasinya dianggap tidak akurat.
Di bidang medis misalnya, bagaimana Al-Qur’an menginformasikan tahap penciptaan manusia begitu detail, Q.S. Al-Mukminun, 23:12-14) sbb.:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Prof. E. Keith Moore –ilmuan terkemuka di bidang anatomi dan embriologi, penerima Grant Award (JCB) tahun 1984 di bidang anatomi, dan Dekan luar biasa di Universitas Toronto Kanada– heran dan kagum luar biasa, bagaimana Nabi Muhammad saw. 14 abad lalu dapat menerangkan embrio dan fase perkembangannya begitu detail dan akurat, padahal ilmuan baru mengetahuinya 50 tahun lalu? Informasi ini pasti sampai kepada Nabi Muhammad saw. dari Allah, karena hampir semua pengetahuan tersebut belum diketahui sampai berabad-abad sesudahnya. Pendapat senada dikemukakan Dr.G.C. Goeringer, profesor embriologi medis universitas Georgetown, Washington D.C.. Dan masih banyak lagi temuan ilmiah kontemporer yang terbukti tidak berseberangan dengan Al-Qur’an. (Lihat, Thi Is The Truth, Compiled By Dr. A.M. Rehaili, p. 13-24).
Tidak kalah menariknya, keserasian dan keindahan redaksi Al-Qur’an bisa dilacak secara sistematis dengan perangkat komputer. Rasyad Khalifah, Ph.D. (alm.)
–imam masjid Tucson Amerika dan pakar Biokimia dari Arizona– adalah penemu rahasia keteraturan bilangan dalam Al-Qur’an ketika akan menterjemahkannya dalam bahasa Inggris tahun 1968. Berawal dari rasa penasaran untuk menemukan makna konkret setiap penggalan inisial (ahruf al-muqattha’ah) di awal 29 surat Al-Qur’an. Pelacakan di mulai dari huruf: Qaf, Shad, dan Nun sampai akhirnya penelitian itu bermuara pada angka 19 sebagai common denominatort. Ilustrasinya, Basmalah terdiri 19 huruf, dan setiap penggalan katanya merupakan perkalian 19. Kata ism terulang 19 (19 x 1), Allah disebut 2698 (19 x 142), rahman terulang 57 (19 x 3), rahim disebut
114 (19 x 6), dan masih ratusan fakta keajaiban lain. Mengapa angka 19 yang menjadi kunci? Tidak lain, tema sentral Al-Qur’an adalah keesaan Allah, wahid. Kalau rahasia angka 19 ini dikembalikan kepada huruf arab yang dipakai untuk menunjukkan bilangan (sebelum mereka memakai angka arab yang dikenal dalam ilmu hitung sekarang dengan rumus: huruf alif = angka 1, ba’ = 2, jim = 3, dal = 4, ha’ = 5, wau = 6, zai = 7, ha’ = 8, tha = 9, ya’ = 10, kaf = 11, dst.), ternyata angka 19 ditulis dengan rangkain akronim wahid (harf wau = angka 6, alif= 1, ha’= 8. dan dal= 4). Dengan demikian, misteri angka 19 dalam Al-Qur’an yang baru diketemukan dengan komputer itu berarti wahid, keesaan Allah swt.
Temuan rahasia angka 19 dalam Al-Qur’an ini telah dipublikasikan dalam majalah Scientific American bulan September 1980 dan dalam bukunya, The Computer Speaks: God’s Message to the World (1981) dan Qur’an: Visual Presentation of the Miracle (1982).
Selain itu, Abd. al-Razaq Naufal mendapatkan temuan lain kaitannya dengan keseimbangan redaksi Al-Qur’an, antara lain; a) keseimbangan kuantitas kata dengan antonimnya, b) keseimbangan kuantitas kata dengan sinonim atau makna yang dikandungnya, c) keseimbangan kuantitas kata dengan kata yang menunjuk akibatnya, dll. Ilustrasinya, lihat Tabel I berikut.
Tabel I
Di samping itu, ada keseimbangan khusus lainnya dalam Al-Qur’an, misalnya: kata as-sa’ah yang didahului harf disebut 24 kali, sebanyak hitungan jam dalam sehari-semalam; kata yaum (singular) terulang 365 kali, persis jumlah hari dalam tahun syamsiah; kata yaumani (tatsniah / double) dan ayam (jama’ / plural) disebut 30 kali, sejumlah hari dalam satu bulan; kata syahrun terulang dua belas kali persis jumlah bulan dalam setahun, dsb. Temuan Naufal ini telah dipublikasikan dalam karyanya, Al-I’jaz al-‘Adadi li Al-Qur’an al-Karim (Kemukjizatan dari Segi Bilangan dalam Al-Qur’an) terdiri 3 jilid.
Walaupun masih menyisakan polemik, antara pro dan kontra, temuan investigasi Rasyad Khalifah dan Abd. Razaq Naufal ini tentu bukan kebetulan semata dan bahkan semakin mengukuhkan bukti otentisitas Al-Qur’an yang validitasnya dijamin Allah sampai akhir nanti, sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Hijr, 15:9; sbb.: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
Persepsi Bahasa Arab Sulit
Problematika ke dua penyebab tidak adanya sinkronisasi antara kemampuan umat Islam membaca Al-Qur’an dengan kualitas pemahamannya, bisa jadi karena persepsi mereka, “Bahasa Arab sulit dipelajari, demikian halnya mangkaji Al-Qur’an yang berbahasa Arab”
Dalam konteks keindonesiaan, dalih semacam ini bisa jadi benar karena mereka dilahirkan dengan latar budaya, etnis, dan bahasa ibu yang berbeda. Sejak lahir sampai usia sekolah, umumnya mereka lebih banyak berkomunikasi dengan bahasa daerahnya. Misalnya, saudara kita yang lahir di Aceh, berkomunikasi dengan bahasa Aceh; dari Sulawesi berbahasa Makasar; dari Kalimantan berbahasa Banjar; dari Jawa berbahasa Jawa, dan begitu seterusnya. Di bangku sekolah dan dalam transaksi publik lainnya, tentu saja bahasa Indonesia yang dominan dijadikan sebagai bahasa pengantar. Bahasa Arab hanya digunakan kelompok minoritas; kaum santri dan elitis mahasiswa di fakultas tertentu. Jadilah bahasa Arab sebagai barang langka dan hanya menjadi media komunikasi kelompok kecil, sehingga timbul persepsi: bahasa Arab sulit.
Hanya perlu diingat, Allah menurunkan Al-Qur’an berbahasa Arab sebagai kitab petunjuk agar dipahami (Q.S. Yusuf,12:2; Az-Zukhruf, 43:3). Dengan nada serius Allah menjamin Al-Qur’an mudah dikaji tanpa diskriminatif. Semua orang tanpa pandang suku, ras, dan bahasa pasti bisa menyerap Al-Qur’an. Hal ini sudah diperhitungkan Allah, sebagaimana dinyatakan empat (4) kali dalam firmannya (Q.S. Al-Qomar, 54:17, 22, 32, 40) sbb.:
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran”?
Sekali lagi, kemudahan yang dijanjikan Allah swt. tidak diskriminatif; diberikan kepada siapapun dan di manapun. Pada dasarnya, makhluk yang bernama manusia pasti mampu berbahasa Arab. Sebab pedoman dan juklak hidupnya adalah Al-Qur’an yang berbahasa Arab, bukan kitab lain (Q.S. Al-Baqarah, 2:185). Pertanyaannya, mau nggak mengkaji Al-Qur’an, fahal min muddakir?
Melecehkan Al-Qur’an?
Alternatif ke tiga penyebab tidak adanya sinkronisasi antara kemampuan umat Islam membaca Al-Qur’an dengan kualitas pemahamannya, mungkin karena alasan tidak ada waktu atau tidak sempat karena seabrek kesibukannya. Inilah alasan klasik yang seringkali dilontarkan oknum pejabat, pengusaha, birokrat, dsb.
Kalau ada yang mengklaim tidak ada waktu untuk mengkaji Al-Qur’an, tidak sempat, dan waktu sudah habis untuk bekerja, padahal sebelum makan pagi sudah khatam membaca setumpuk koran, tengah hari masih sempat melihat telenovela, sorenya melalap habis beberapa judul komik, habis maghrib nongkrong di depan TV sampai
larurt malam, bahkan siaran langsung pertandingan bola menjelang subuhpun ditunggu. Itu artinya terang-terangan mengingkari nikmat Allah. Bagaimana tidak, mengapa giliran Al-Qur’an yang sejak lahir diklaim sebagai juklak kehidupannya malah tidak disentuh, dibaca, dikaji, dan disepelekan sedemikian rupa? Ini sama saja melecehkan Al-Qur’an dan tanpa sadar telah menyulut api azab dan sanksi dunia-akhirat: pertama, diberikan kehidupan yang sempit; rizki dicabut, hati menjadi ciut; stres, tidak tentram, dsb., dan kedua, di akhirat nanti digiring dalam kondisi buta (Q.S. Thoha, 20:124-126).
Menimbang Kajian Al-Qur’an: Tawaran Metode Efektif
Dewasa ini fenomena religiositas masyarakat Indonesia semakin mengemuka. Kajian Al-Qur’an tidak sekedar menarik perhatian akademisi atau elitis tertentu, tetapi juga menyita perhatian masyarakat awam (populis) yang akhir-akhir ini merasa terbelenggu pelbagai kecenderungan materialisme dan nihilisme modern. Mereka membutuhkan siraman Al-Qur’an yang bisa memuaskan akal budinya, menentramkan jiwanya, memulihkan kepercayaan dirinya yang nyaris punah akibat dorongan kehidupan materialistis dalam pelbagai konflik idiologis.
Dalam realitasnya, banyak metode mengkaji Al-Qur’an yang ditawarkan, mulai metode: Iqra’, Al-Barqi, Buraq, Qiraati, dll. Bagi pemula, metode di atas cukup mudah dan teruji efektifitasnya terutama untuk target lancar membaca Al-Qur’an.
Hanya saja, rasa-rasanya fenomena antusiasme masyarakat tersebut perlu ditingkatkan; dari sekedar mengejar target lancar membaca Al-Qur’an ke arah substansi pemahaman yang baik dan memadai. Karena komitmen untuk merealisasikan ajaran Al-Qur’an dalam perilaku keseharian sulit (baca: mustahil) terwujud tanpa itu. Ada beberapa lembaga Islam yang menawarkan program pemahaman Al-Qur’an yang terbukti efektif dan efisien, misalnya: Terjemah Al-Qur’an Sistem 40 Jam Masjid Istiqlal Jakarta, Sistem Granada, dsb.
Peringatan Nuzul Al-Qur’an tahun 1441 H. kali ini jangan sekedar seremonial kosong, tetapi harus dijadikan komitmen bersama untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas bacaan Al-Qur’an, pemahaman, dan merealisasikannya dalam perilaku keseharian, baik sebagai individu, bermasyarakat, maupun bernegara. Selain upaya mengamalkan pesan al-Qur’an untuk segera membayarkan ZIS di tengah pandemic Covid-19, untuk membantu umat Islam yang terdampak dan sekarang menghadapi kehidupan sehari-hari yang semakin berat dan sulit.
Dr. KH. Fuad Thohari, MA., adalah seorang pendakwah juga akademisi yang bergelut dalam bidang Tafisr dan Hadist. Setelah menimba ilmu di Ponpes Salaf Al – Falah, Ploso, Kediri, Jawa Timur, beliau kemudian menempuh pendidikan perguruan tinggi hingga s3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang Tafsir Hadist. Alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI ini merupakan dosen di Sekolah Pascasarjana almamaternya dan mengisi berbagai kajian keagamaan di masjid, majlis taklim, seminar ilmiah, stasiun televisi dan radio di wilayah Jabodetabek. Di tengah padatnya kegiatan tersebut, beliau juga aktif terlibat dalam organisasi keagamaan Majelis Ulama’ Indonesia wilayah DKI Jakarta dalam bidang fatwa, dan aktif di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ PBNU. Memiliki sejumlah karya yang dapat dilihat di http://penerbitbukudeepublish.com/penulis/fuad-thohari/ dan beberapa judul di bawah ini; 1.Hadis ahkam; kajian hukum pidana islam 2.Kumpulan Fatwa MUI DKI jkt 2000 sd 2018…(5 buku). 3.Manasik Haji dan Umroh 4.Metode Penetapan Fatwa bagi Da’i 5.Artikel jurnal nasional (puluhan judul) 6.Deradikalisasi Pemahaman al Qur”an dan Hadis 7.Khutbah Islam tentang Terorisme 8.talkshow di TV nasional, Radio, dll. Selain itu, beliau pernah melakukan penelitian di berbagai negara, antara lain; Malaysia, Singapore, Thailand, India, China, Mesir, Palestina, Yordania, Iran , Turki, Saudi Arabia, Tunisia, dll. Beliau bisa dihubungi langsung via WA (081387309950)