Satu ungkapan yang sering didengar, bangsa Arab berada dalam titik terendah; bobrok, tidak bermoral, dan bengis, sampai Allah kirim Nabi terakhir Nabi Muhammad saw untuk melempengkan akhlak mereka.
Sebenarnya sejak zaman jahiliyah jauh sebelum Nabi Muhammad saw dikirim ke Mekah, tidak semua kerusakan dan dekadensi moral ada pada orang-orang Makah, yang menjadi bagian penting Bangsa Arab. Ada sifat baik dan mulia yang tersebar di bangsa Arab, khususnya di Mekah yaitu: ⑴ Ringan tangan untuk membantu dan ⑵ Memuliakan tamu.
Banyak disebutkan dalam kisah yang menjadi bagian dari cerita turun temurun, jika salah seorang di antara mereka hanya memiliki 1 ekor unta dan itu satu-satunya aset yang menjadi sumber penghasilannya (diambil susu atau air kencingnya), ketika ada tamu datang dari jauh dan tidak ada yang bisa dihidangkan untuk memuliakan tamunya, satu-satunya onta yang menjadi asetnya akan disembelih untuk disuguhkan kepada tamunya.
Di antara orang jahiliyyah yang terkenal mulia dan dermawan adalah ‘Amr bin Luhay Al-Khuzā’i, dia pernah menyembelih 10 ribu unta untuk jamuan jama’ah haji. Menyembelih 10 ribu unta merupakan suatu kedermawanan yang luar biasa, walaupun amalannya bisa jadi sia-sia karena dia seorang musyrik belum masuk Islam, bahkan ^Amr bin Luhay ini menjadi dedengkotnya kesyirikan di Mekah. Jika 1 ekor onta diharga 50 juta, berarti dia berkurban senilai 500 M. tentu jumlah sedekah yang sangat besar.
Ada juga orang jahiliyah bernama ‘Abdullāh bin Jud’an, dia sering berbagi sedekah, sangat dermawan, dan terkenal kedermawanannya. Abdullāh bin Jud’an, meninggal sebelum Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus menjadi Nabi, tetapi Nabi Muhammad saw mendapati periode ‘Abdullāh bin Jud’an ini. Di antara kebaikan Abdullāh bin Jud’an,, tatkala Syuhaib Al-Rūmi mendatanginya (ketika masih budak), Syuhaib malah dibeli dan dibebaskan ‘Abdullah bin Jud’an. Syuhaib lalu tinggal bersama sampai ‘Abdullāh bin Jud’an meninggal. Syuhaib kemudian dikenal sebagai Maula Ibnu Jud’an, karena yang membebaskannya adalah ‘Abdullāh bin Jud’an.
Kebiasaan lain, Abdullāh bin Jud’an sering menyambung silaturahim dan mengundang tamu. Jika ada permasalahan, tetangganya akan berkumpul di rumah Abdullāh bin Jud’an, bahkan ada persekutuan (perkumpulan) yang dinamakan dengan Al-Hilful Fudhul, yaitu jika terjadi kezhaliman di Mekkah, misalnya ada orang yang menjual barang lalu barangnya diambil orang Quraisy tanpa dibayar, orang ini berteriak dan didengar orang-orang Quraisy yang lain. Mereka kemudian berkumpul di rumah ‘Abdullah bin Jud’an untuk menyelesaikan masalah ini, sampai-sampai Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sendiri pun mengingatkan dengan mengatakan:
لَقَدْ شَهِدْتُ فِى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِى بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ وَلَوِ أُدْعَى بِهِ فِى الإِسْلاَمِ لأَجَبْتُ
“Sungguh aku telah menghadiri rumah Abdullah bin Jud’an suatu perjanjian yang aku tidak suka jika kehadiranku tersebut ditukar dengan onta merah. Seandainya dalam Islam (setelah saya sudah diutus menjadi Nabi) diajak pertemuan seperti itu, saya akan penuhi.” (HR Al-Baihaqi dalam Al-Sunan Al-Kubro, no 13461).
Ibnu Katsir menyebutkan suatu riwayat dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, saat terjadi perang Badr, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyuruh para shāhabat untuk mencari mayat Abū Jahl. Kemudian kata Beliau kepada para sahabat:
تَطْلُبُوْهُ بَيْنَ الْقَتْلَى، وَتَعْرِفُوْهُ بِشَجَّةٍ فِي رُكْبَتِهِ فَإِنِّي تَزَاحَمْتُ أَنَا وَهُوَ عَلَى مَأْدُبَةٍ لابْنِ جُدْعَانَ فَدَفَعْتُهُ فَسَقَطَ عَلَى رُكْبَتِهِ فَانْهَشَمَتْ فَأَثَرُهَا بَاقٍ فِي رُكْبَتِهِ
“Carilah mayat Abu Jahl di antara mayat-mayat, kalian akan mengetahuinya dengan bekas luka yang ada di lututnya, karena aku dan dia (tatkala masih kecil) saling dorong di santapan jamuan undangan Abdullah bin Jud’an. Aku mendorongnya dan ia pun terjatuh di atas lututnya, lalu lututnya terluka dan bekasnya masih ada lututnya” (Al-Bidayah wa Al-Nihaayah, 3/266).
Namun kebaikan Abdullah bin Ju’dan ini tidaklah bermanfaat bagi dirinya. ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā pernah bertanya kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ، ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ، وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ، فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ؟
“Yā Rasūlullāh, bagaimana dengan ‘Abdullāh bin Jud’an? Waktu di zaman jahiliyah ia menyambung silaturahim dan memberi makan kepada orang miskin, apakah kebaikannya bermanfaat? Nabi saw berkata:
لَا يَنْفَعُهُ، إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا: رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
“Tidak bermanfaat, dia sama sekali tidak pernah berdo’a kepada Allāh: Yā Allāh ampunilah dosa-dosaku pada hari Kiamat kelak.” (HR Muslim, no 214).
Dia mati dalam keadaan musyrik sama seperti ‘Amr bin Luhay, meskipun mereka berdua orang yang sangat dermawan.
Di antara pembesar Arab jahiliyah lainnya yang sangat dermawan adalah Al-Hātim, ayahnya Adi bin Hātim. Hātim seorang yang sangat dermawan bahkan sering disebutkan kedermawannya dalam syi’ir jahiiyah, sampai-sampai kedermawanan dijadikan contoh orang Arab. Anaknya, Adi bin Hātim masuk Islam dan menjadi salah satu shāhabat Nabi ﷺ. Anaknya pernah bertanya kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبِي كَانَ يَصِلُ الرَّحْمِ، وَيَفْعَلُ وَيَفْعَلُ، فَهَلْ لَهُ فِي ذَلِكَ يَعْنِي مِنْ أَجْرٍ؟
“Yā Rasūlullāh, ayahku dulu menyambung silaturahim dan dia melakukan ini dan itu, apakah dia dapat pahala?”
Nabi saw ternyata menjawab:
إِنَّ أَبَاكَ طَلَبَ أَمْرًا، فَأَصَابَهُ
“Sesungguhnya ayahmu melakukan itu semua karena dia mencari sesuatu dan dia telah mendapatkan sesuatu tersebut.” (HR Ahmad, no 19387).
Dalam riwayat lain,
يَعْنِي الذِّكْرَ
“Ayahmu ingin dipuji.” (HR Ahmad no 18262, Ibnu Hibban no 332, Al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubro, no 15019).
Inilah di antara contoh kebaikan orang Arab di zaman jahiliyyah. Di antara sifat baik dan mulia orang Arab jahiliyyah yang lain adalah menepati janji, keberanian, dan kejujuran (dusta merupakan perilaku yang dinilai menjatuhkan harga diri). Mereka menjunjung tinggi kejujuran meskipun menimbulkan kerusakan lain.
Karakter orang Arab jahiliah dari sisi moralitas sangat parah dan rusak, meskipun ada beberapa sisi akhlak baik. Oleh karena itu, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod no 273).
Mekah pra Islam sudah menjadi sebuah negeri yang sangat unik dan dikenal luas sejak kakek ke-4 Nabi Muhammad saw yang bernama Qushai bin Kilab. Saat beliau memegang tampuk kendali Mekah dan penguasa Ka’bah, beliau menciptakan beberapa sistem, antara lain: al-rifâdah (menyediakan logistik makanan gratis bagi jama’ah haji) dan al-Siqâyah (menyediakan logistik air minuman bagi para haji).
Kedua jabatan yang justru lekat dengan khidmat dan penghormatan kepada tamu ini justru bisa memicu perang antar suku jika ada yang berani mengambil alih. Padahal semuanya secara biaya dan tenaga, murni ditanggung para pejabat.
Pada era ini, sumur zam-zam sudah ditimbun klan Jurhum sebelum mereka diusir dari Mekkah. Itu berarti ketersediaan air yang banyak untuk kebutuhan jama’ah Haji, menjadi tanggung jawab dan harus dipikul beberapa suku dekat Mekah dan dibawa dekat Ka’bah. Semuanya demi menjamu Tamu-Tamu Allah. Tidak ada upah atau gaji, semuanya murni didedikasikan untuk tamu-tamu Allah, bukan untuk mencari pujian dan kebanggaan.
Setelah Islam di bawah komando Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Islam justru datang membawa misi rahmat bagi semesta alam dengan menciptakan keadilan ekonomi seadil-adilnya. Bagi penderma akan mendapat apresiasi dan legalitas formal dengan itungan pahala. Sementara bagi orang-orang kikir diedukasi bahkan dituntut (dipaksa} untuk mengeluarkan hartanya melalui institusi zakat, sedekah, dan infaq.
Bulan-bulan Haji di Makah dan Madinah adalah bulan di mana para dermawan menampakkan kedermawanannya. Maidat al-rahman (buka bersama gratis) digelar di masjid al haram Makah, masjid Nabawi Madinah, dan hampir masjid-masjid di negera Arab, menjamu para jama’ah dengan hidangan lezat yang berganti menu tiap hari, mulai dari daging (unta dan kambing), ayam, sup, kurma, roti, dan aneka buah-buahan.
Pada saat pesawat kami mendarat di Jeddah, turun di bandara jama’ah haji mendapatkan sebotol air zam-zam isi 330 ml, kurma, roti dan minuman kotak (ada rasa apel, jeruk, dan cokelat). Begitu rombongan sampai di hotel, panitia menyambut dengan gelaran seperti pesta ulang tahun. Ada balon, air kemasan, juz,, cokelat, permen, roti.
Setelah kita masuk hotel, tersedia kulkas berisi minuman dingin kemasan 330 ml yang jumlahnya unlimitted, selain dispenser untuk minuman air panas yang juga mudah diketemukan di setiap sudut ruangan hotel di setiap lantai.
Setiap jama’ah solat di masjid al-Haram, di dalam masjid kalau mujur selalu ada jamaah yang bagi-bagi kurma, cokelat, dan permen. Begitu selesai jama’ah keluar masjid, di bawah siraman sinar matahari yang terik (bisa sampai 45 derajat) ada saja yang bagi-bagi air kemasan dari mobil, minuman kotak dingin (rasa Apel, jeruk, cokelat).
Kadang-kadang di taman tidak jauh dari hotel, mereka mencegat para pengguna jalan yang bertemu senja magrib dan nyamperin jama’ah yang lagi duduk santai di taman dengan memberikan kurma, minuman kemasan botol, juz, roti atau nasi kotak.
Apalagi kalau di hari Senin atau Kamis atau ayyaam al-biidz. Banyak lagi orang-orag yang bagi-bagi makanan dan minuman; dari makanan ringan sampai makanan berat nasi Biryani yang sudah dikemas dalam nasi kotak atau nasi box.
Al-hamdulillah, kebiasaan di Arab ini sudah menular dan menjadi kebiasaan banyak masjid di Indonesia. Tidak saja masjid—masjid di kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya, Makasar, Padang, Aceh Babel, banyak masjid di kota kecil melakukan hal yang sama. Sekali lagi, tradisi bagi-bagi sedekah, iftar, ta’jil puasa, semacam ini saat ini makin mudah diketemukan di Indonesia.
Dr. KH. Fuad Thohari, MA, Wakil Ketua Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Wakil Rois Syuriah, PWNU DKI Jakarta.